Sampai saat ini Indonesia masih mencari bentuk ideal demokrasinya. Dalam catatan sejarahnya, demokrasi Indonesia mengalami beberapa kali perubahan, yang cukup sering dibahas diruang-ruang kelas di sekolah adalah demokrasi terpimpin dan demokrasi liberal. Untuk demokrasi pancasila, sepertinya sudah jarang untuk dibahas mengingat istilah 'demorasi pancasila' pertama kali dikenalkan oleh regim orde baru yang dalam pelaksanaannya cukup doktriner dan Jawasentris. Pemerintahan orde baru terlalu sering menggunakan pancasila sebagai topeng dalam penyelenggaraan pemerintahannya yang doktriner dan cederung militeristik tersebut.
Tidak heran jika demokrasi pacasila jadi jarang untuk dibicarakan lagi, paling tidak demokrasi pancasila tidak dicurigai sebagai upaya membangkitkan regim militerist. Menyandingkan pancasila dengan demokrasi rasanya juga kurang tepat, meskipun pada dasarnya demokrasi adalah sistem yang belum matang, ia masih perlu untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi negara yang mengadopsinya. Seperti halnya ketika demokrasi ini diadopsi dan dilaksanakan di Indonesia, pada era pemerintahan Sukarno tidak terdapat istilah demokrasi pancasila, istilah ini baru muncul di era orde baru. Pemerintahan Sukarno malah lebih sering dibicarakan tentang model demokrasi terpimpinya yang kontroversial.
Pada awal kemunculan demokrasipun sebenarnya sudah ada kritik terhadap demokrasi, kritik awal terhadap sistem demokrasi datang dari Socrates yang memandang demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang cacat, lebih lanjut Socrates berargumen bahwa memberikan kekuasaan kepada rakyat, tanpa memandang kapasitas intelektual dan moral mereka adalah sebuah kesalahan besar.
Bahkan satu generasi sesudah Socrates terdapat filsuf yang menyatakan bahwa demokrasi adalah bentuk penyimpangan dari salah satu bentuk pemerintahan yang ideal yang ia sebut politeia. Filsuf tersebut adalah Aristoteles yang merupakan murid Plato.
Politeia adalah sebuah kekuasaan tertinggi yang berada ditangan banyak orang yang tujuan pemerintahannya adalah kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pemerintahan demokrasi adalah buruk karena mempersilahkan semua orang untuk memasuki peluang memegang kekuasaan atau jabatan tanpa mempertimbangkan kompetensinya.
Demikian itulah kritik terhadap demokrasi, dan ternyata kita juga perlu untuk menyadari ketidakmatangan demokrasi dimana ia masih perlu untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi, bahkan terhadap tuntutan perkembangan jaman.
Akan tetapi kekhawatiran-kekhawatiran yang diungkap oleh Socrates dan Aristoteles ternyata mendapat validasi di jaman sekarang dengan bermunculan tokoh-tokoh panggung yang bermodal popularitas untuk memenangkan kontestasi pemilu. Parpol hanya sebagai kendaraan untuk mendapatkan jabatan publik, bukan fungsi parpol sebagai pendidikan politik, komunikasi politik, rekrutmen dan penyampaian aspirasi masyarakat. Parpol hanya menawarkan pilihan-pilihan yang pada dasarnya tidak dibutuhkan oleh masyarakat, misalnya caleg artis yang tidak cakap sebagai wakil rakyat. Katakanlah bahwa parpol sendiri telah gagal mengawal demokrasi, mereka malah sekedar memanfaatkan hak bersuara rakyat untuk menempatkan tokoh-tokoh panggung bahkan titipan para pemodal untuk mengisi jabatan publik dan parlemen.
Dengan semua itu, masihkah kita menyebut praktik demokrasi di Indonesia saat ini dengan istilah "demokrasi Pancasila"? Bukankah semua itu malah bertentangan dengan nilai-nilai pancasila itu sendiri?.
Bagi saya yang mungkin juga bagi beberapa orang yang punya pemikiran yang sama, pancasila itu sebenarnya sudah melampaui demokrasi, bahwa pancasila itu sudah melampaui spektrum kiri dan kanan. Bahwa pancasila itu menaungi segala bentuk ideologi dengan memberi batasan-batasan. Pancasila itu mengedepankan kebebasan dan menjunjung tinggi kemanusiaan, tapi kebebasan yang terbatas, bukan kebebasan tanpa batas yang pada akhirnya menistakan kemanusiaan itu sendiri
Sukarno pernah menawarkan konsep demokrasi Indonesia, meskipun dalam hal ini pada dasarnya Sukarno mencoba mengkritik praktek demokrasi barat. Bagi Sukarno demokrasi Indonesia yang ia sebut dengan istilah 'sosio-demokrasi' adalah tidak sama seperti demokrasi barat yang hanya dilaksanakan dalam kehidupan politik semata. Sosio-demokrasi adalah pelaksanaan demokrasi dalam segala bidang kehidupan, seperti halnya pandangan John Dewey terhadap  demokrasi. Dewey menganggap demokrasi sebagai pandangan hidup yang harus diwujudkan oleh setiap individu sebagai anggota masyarakat, dimana menurutnya, demokrasi adalah gagasan etis yang lebih dari sekedar wacana politik. Jadi harus menjiwai tata hidup bersama.
Dari pandangan Sukarno sendiri, sosio-demokrasi merupakan pelaksanaan demokrasi baik dalam bidang politik, ekonomi bahkan dalam bidang sosial-budaya. Kehidupan sosial masyarakat harus diatur dan dijiwai oleh demokrasi, dari partisipasi aktif masyarakat yang berlandaskan kesetaraan, kebebasan dan persaudaraan hingga terwujudnya nilai etis yang menegaskan bahwa individu adalah bagian dari proses kegotong royongan.