Mohon tunggu...
Yohan Rianto Prasetyo
Yohan Rianto Prasetyo Mohon Tunggu... Guru - Guru PPKn

diri, jadilah jiwa samudera yang menampung segala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merawat Empati: Pelajaran dari Kebijaksanaan Jawa

25 November 2024   11:13 Diperbarui: 25 November 2024   11:28 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam tradisi Jawa terdapat ungkapan "sawang sinawang" kurang lebih pengertiannya adalah melihat orang lain tidak dengan perasaan iri dan dengki, atau membandingkan pencapaian orang lain dengan kemalangan diri sendiri. Ungkapan ini mengajarkan cara pandang mendalam bagi individu untuk melihat dunia dengan apa adanya, bahwa ada kebaikan yang beriringan dengan keburukan nasib, bahwa tidak selalu apa yang terlihat baik dimiliki atau diperoleh orang lain itu terasa menyenangkan dan serba indah, tapi perlu juga untuk menyadari bahwa juga terdapat beban yang harus ditanggung.

Jadi berbeda dengan pandangan fatalistik yang lebih pesimis dalam menyikapi hidup, dengan pandangan bahwa kemalangan hidup tidak lagi dapat diupayakan alias pasrah dengan keadaan yang diterimanya.

Ungkapan "sawang sinawang" dalam tradisi Jawa menggambarkan peri kehidupan yang memanusiakan manusia, terlebih dalam memanusiakan diri sendiri, memperlakukan diri sendiri sebagai manusia untuk melihat dunia tampil apa adanya tanpa muatan kedengkian.

Lebih dari semua itu, ungkapan Jawa ini mengajarkan bahwa orang lain juga punya permasalahannya masing-masing yang belum tentu kita mampu menanggungnya. Maka jangan saling mengejek, menertawakan apalagi sampai merendahkan. Hal ini menuntun kita untuk dapat lebih berempati. Inilah yang tereduksi dalam kehidupan kita, empati.

Memang sudah menjadi ciri dari masyarakat industri yang kehilangan nilai-nilai sosialnya. Proses industrialisasi sangat mengutamakan efisiensi dan produktivitas yang pada akhirnya memicu perasaan terasing baik dari pekerjaannya sendiri, dari komunitas bahkan dari dirinya sendiri. Keterasingan ini dapat menghambat kemampuan seseorang untuk merasakan koneksi emosional dengan orang lain. Masyarakat industri cenderung menitik beratkan pada pencapaian individu dan kesuksesan pribadi yang pada akhirnya mengarah pada sikap egois. Pencapaian prestasi individu memang baik, tapi ternyata banyak faktor dalam masyarakat industri kita yang ternyata hampir tidak pernah memunculkan kualitas individualitas, malah kehidupan individualislah yang menguat.

Industrialisasi juga diwarnai dengan kemajuan teknologi, terutama sekali dalam hal teknologi komunikasi yang saat ini malah memunculkan permasalahan baru, yaitu interaksi online yang dangkal, menggantikan interaksi tatap muka yang lebih mendalam. Belum lagi kecenderungan masyarakat kita yang lebih gemar mengejar standar hidup yang memungkinkan untuk mengejek dan merendahkan kemalangan orang lain.

Sebenarnya empati merupakan jembatan bagi manusia menuju rasa kemanusiaannya, dan bukankah kita semua selalu ingin dimanusiakan? Sampai-sampai jargon pendidikan kita adalah pendidikan yang memanusiakan manusia. Untuk Hal ini, Saya jadikan kebiasaan diawal tahun ajaran, di pertemuan awal dalam ruang-ruang kelas, karena saya juga ingin anak didik saya memahami betul sila ke dua pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab.

Dari sila ke dua ini bisa kita pahami bahwa Bangsa Indonesia mencita-citakan adanya masyarakat dan individu dalam masyarakat tersebut yang mau dan mampu memanusiakan manusia: mengenal dan menyadari siapa dan bagaimana manusia, setelah itu memandang sekaligus memperlakukan orang lain dan dirinya sendiri sebagai manusia untuk mewujudkan manusia yang beradab. Bukan manusia yang biadab yang gampang memandang rendah orang lain. Intinya, lagi-lagi adalah berempati.

Salah satu tanda hilangnya atau katakan saja melemahnya empati adalah sering munculnya kasus perundungan atau sering dibilang bullying, terutama sekali terjadi dikalangan pelajar. Perilaku bullying ini cukup memprihatinkan, disamping masih maraknya aksi tawuran antar pelajar yang sering dikabarkan media massa. Bagaimana mungkin bangsa yang mengedepankan nilai-nilai persatuan dan kemanusiaan sebagai modal utamanya ini malah sering diresahkan oleh kemunculan perilaku-perilaku yang nir empati tersebut?

Dampak melemahnya empati memiliki implikasi serius. Apalagi jika hal ini terjadi dalam kalangan pelajar, pelajar yang tumbuh tanpa penguatan empati rentan untuk bersikap apatis terhadap permasalahan sosial, selanjutnya muncul perilaku kekerasan antar teman sebaya ataupun kurangnya solidaritas. Pada skala yang lebih besar, hal sedemikian itu dapat menghambat terbentuknya masyarakat yang peduli dan kohesif. Kalau sudah seperti itu, tentunya akan semakin jauh dari jati diri bangsa yang senantiasa diperkenalkan sebagai bangsa yang penuh kegotong royongan, gotong royong dasarnya juga kepedulian yang tinggi bukan?

Dari sini bisa dikatakan bahwa pendidikanlah yang punya peran penting dalam menumbuhkan dan memperkuat empati. Pendidikan memiliki peran penting dalam membangun karakter generasi penerus dan dalam skala luas membentuk masyarakat, yang mana sejalan dengan cita-cita bangsa yaitu terbentuknya masyarakat pancasila, masyarakat yang berpikir dan bertingkah laku sesuai nilai-nilai pancasila. Perlu diingat pula bahwasannya pendidikan bukan sekedar tanggung jawab sekolah dan keluarga, tapi terlebih juga merupakan tanggung jawab besar bagi masyarakat secara umum.

Dalam pendidikan di sekolah, hal ini sebenarnya sudah cukup disadari dan cukup sering dibahas dalam evaluasinya. Pendidikan mulai beranjak dari yang hanya berfokus pada hasil akademis menjadi pendidikan yang memperhatikan aspek-aspek emosional. Hanya saja, selain tidak siapnya infrastruktur politik, juga tidak terdapat dukungan dari masyarakat diluar sekolah, tidak adanya dukungan tersebut misalnya tidak terdapatnya figur-figur keteladanan serta sikap masa bodo masyarakat di luar sekolah terhadap perilaku negatif pelajar disekitarnya. Padahal pendidikan karakter sendiri membutuhkan kolaborasi antara sekolah-keluarga-dan masyarakat secara umum.

Mindset yang bertahan dalam masyarakat secara luas juga tidak mendukung pendidikan karakter pelajar, dimana anggapan sekolah yang penting mendapatkan ijazah pada akhirnya juga memunculkan perspektif bahwa fokus pendidikan itu adalah hasil akademis dengan mengabaikan aspek-aspek emosional dan sosial, maka akan sering munculah perilaku nir empati diantara para pelajar. Kalau pendidikan jaman orde baru, mungkin hal ini bukanlah suatu masalah karena pada masa itu pendidikan/sekolah memang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan industri, pada masa itu pulalah muncul gagasan "link and macth" antara pendidikan dengan dunia industri, meskipun juga gagal.

Dalam hal sistem pendidikan sekolah juga sudah tidak terlalu menerapkan pembelajaran tekstual yang melulu tentang hafalan, pembelajaran kini adalah pembelajaran kontekstual yang melibatkan siswa dalam proyek yang mereplikasi situasi nyata di masyarakat industri, sehingga siswa memahami tantangan dan perspektif yang ada. Di tingkat sekolah menengah pertama juga kerap didapati kegiatan pembelajaran yang memberikan miniatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara lewat kegiatan P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila). Hanya saja dalam prakteknya lebih terkesan menitik beratkan pada sisi entertainmentnya ketimbang pendidikan berbasis nilai sosial. Bukankah salah satu tujuan dari P5 adalah memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempelajari isu-isu penting di sekitar, yang mana sebenarnya dari salah satu tujuan ini dapat digunakan dalam menumbuhkan dan memperkuat empati dalam diri pelajar?

Cukup menarik pula ketika ramai dikabar tentang turunnya peringkat literasi masyarakat kita seiring dengan melemahnya empati dalam masyarakat, khususnya dalam hal ini adalah pelajar. Membaca fiksi sebenarnya memiliki nilai tersendiri, selain si pembaca akan terlatih untuk masuk dalam alur permasalahan, juga melatih si pembaca untuk menjadi orang lain atau minimal merasakan perasaan orang lain. Bukan mengajak untuk berhalusinasi atau bermain peran, akan tetapi membaca sebenarnya juga dapat membiasakan orang untuk berdialog dengan turut menggunakan hati nurani. Itu lebih baik daripada menjadi masyarakat netizen yang lebih banyak pengaruh negatifnya. Andaikata saya presiden sudah pasti akan saya beri pajak kepemilikan gadget pengakses internet setinggi-tingginya untuk membantu biaya percetakan buku-buku.

Selain ungkapan "sawang sinawang" dalam tradisi bahasa Jawa ada pula ungkapan "tepo sliro" yang memiliki makna yang dalam dan luas. Tepo sliro adalah tentang menempatkan diri pada posisi orang lain~seakan berandai-andai jika jadi orang lain, untuk turut merasakan atau memahami perasaan dan perspektif mereka. Ini berarti juga menghormati perbedaan atau menghargai nilai-nilai yang berbeda sekaligus menghindari tindakan dan perkataan yang dapat menyinggung orang lain. Ungkapan ini juga mengajak kita untuk menjadi orang yang peduli terhadap lingkungan sekitar dengan jalan menjaga hubungan baik dengan sesama, tidak tinggi hati apalagi sampai memandang rendah orang lain. Perilaku bullying terjadi karena ada pihak yang dianggap lemah, hal ini tidak akan terjadi jika individu mau dan mampu menghargai sesamanya.

Ungkapan "tepo sliro" dalam tradisi Jawa inipun merupakan contoh nyata dari bagaimana ajaran lokal dapat menumbuhkan semangat gotong royong dan toleransi yang menjadi pilar penting dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, ungkapan ini mengajarkan bahwa setiap individu harus mampu mengendalikan perilaku dan ucapan agar tidak melukai orang lain. Seseorang individu diharapkan dapat bertindak dengan bijaksana dan penuh penghormatan. Empati semacam ini tidak hanya melibatkan perasaan simpati belaka, tetapi juga mendorong untuk aktif menjaga kebersamaan dan mengurangi konflik.

"Tepo sliro" merupakan ungkapan yang mengingatkan kita untuk tidak hanya mempertimbangkan kepentingan pribadi, apalagi sampai bertindak egois, tetapi juga harus memikirkan dampak dari suatu tindakan dan ucapan terhadap orang lain. Dalam konteks yang lebih luas, ajaran Jawa lewat ungkapan "tepo sliro" ini juga menjadi landasan etika dalam mengambil keputusan, misalnya dalam musyawarah, dimana mendorong adanya pertimbangan dari berbagai sudut pandang sebelum mencapai konsensus. Dengan begitu, ajaran ini tidak hanya menjaga hubungan interpersonal yang baik, tetapi juga membangun kepercayaan dan solidaritas sosial.

Menilik dua ungkapan dari tradisi Jawa tersebut diatas dapatlah kita ambil pelajaran yang cukup berharga ditengah era industri saat ini, sebagai oase nilai moral yang dapat memperkuat jalinan sosial dan mendorong kehidupan yang lebih baik. Dua ungkapan tersebut merupakan contoh ajaran yang masih relevan dalam era modern dengan perubahan gaya hidup dan pola interaksi yang semakin individualistis seperti sekarang ini, ungkapan yang merupakan kebijaksanaan lokal yang mengajarkan betapa pentingnya memahami perasaan dan situasi orang lain.

Menumbuh kembangkan empati memanglah bukan hal yang mudah untuk diterapkan, tapi bukan pula hal yang sulit untuk dimulai. Akan lebih sulit rasanya jika kelak dikemudian hari kita hidup ditengah generasi masyarakat yang nir empati. Sayapun sangat yakin, tidak ada satupun orang tua yang menginginkan anak-cucunya kelak hidup ditengah masyarakat yang nir empati. Salam merdeka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun