Dalam dunia perpajakan internasional, penghindaran pajak (tax avoidance) dan treaty shopping menjadi isu penting yang mempengaruhi banyak negara. Treaty shopping mengacu pada praktik di mana perusahaan atau individu mengeksploitasi perjanjian penghindaran pajak berganda (Double Taxation Avoidance Agreement/DTA) untuk memperoleh keuntungan pajak yang seharusnya tidak menjadi hak mereka. Ini biasanya dilakukan melalui pendirian entitas di negara-negara dengan perjanjian pajak yang menguntungkan. Metode analisis wacana, baik Analisis Wacana Diskursif (AWD) maupun Analisis Wacana Kritis (AWK), menawarkan pendekatan untuk memahami fenomena ini tidak hanya dari aspek hukum dan ekonomi, tetapi juga dari dimensi sosial, politik, dan ideologis yang melingkupinya.
Michel Foucault adalah filsuf Prancis yang memberikan kontribusi besar dalam bidang analisis wacana melalui konsep kekuasaan, pengetahuan, dan praktik diskursif. Michel Foucault mengembangkan metode arkeologi dan metode genealogi untuk menganalisis wacana, kekuasaan, dan pengetahuan. Meskipun keduanya sering digunakan bersama, masing-masing memiliki pendekatan, tujuan, dan teknik analisis yang berbeda.
Metode arkeologi digunakan untuk mengungkap struktur historis dari wacana tertentu dengan mempelajari dokumen dan arsip masa lalu. Foucault tidak tertarik pada sejarah konvensional yang menyoroti peristiwa kronologis, melainkan pada pola-pola bahasa yang membentuk pengetahuan pada masa tertentu. Melalui metode ini, Foucault berniat untuk menyingkap unsur-unsur terdalam dan tersembunyi dari masing-masing episteme, sekaligus memperlihatkan perbandingan kebenaran yang diwacanakan dalam setiap periode sejarah.
Sedangkan metode genealogi digunakan untuk menelusuri asal-usul praktik sosial, nilai, dan konsep yang dianggap "normal" atau "benar." Genealogi menunjukkan bagaimana kekuasaan dan pengetahuan saling terkait dalam membentuk masyarakat. Foucault tidak hanya sebatas menyingkapkan unsur-unsur terdalam dari setiap episteme tetapi lebih jauh ia ingin menemukan variabel tersembunyi, motif dan sebab terjadinya perbedaan-perdaan tersebut.
Michel Foucault mendefinisikan wacana (discourse) sebagai seperangkat pernyataan, praktik, dan aturan yang membentuk cara kita berpikir, berbicara, dan bertindak dalam dunia sosial. Wacana tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga menciptakannya melalui proses pembentukan pengetahuan dan kekuasaan.
Komponen Utama Konsep Wacana Foucault
- Wacana sebagai Praktik Sosial: Wacana bukan sekadar bahasa, tetapi juga praktik sosial yang menciptakan dan mengatur pemikiran, perilaku, dan institusi. Misalnya, dalam dunia medis, wacana tentang "penyakit" dan "kesehatan" memengaruhi bagaimana pasien diperlakukan.
- Wacana dan Kekuasaan: Foucault melihat wacana sebagai instrumen kekuasaan. Siapa yang memiliki kontrol atas wacana dapat menentukan apa yang dianggap benar, normal, dan sah dalam masyarakat. Wacana menciptakan "rezim kebenaran," yang menetapkan batasan tentang apa yang bisa dikatakan dan diketahui.
- Wacana dan Pengetahuan: Pengetahuan tidak bersifat netral; ia terbentuk melalui wacana yang diatur oleh kekuasaan. Foucault berpendapat bahwa kekuasaan dan pengetahuan saling terkait—"Pengetahuan adalah kekuasaan." Misalnya, wacana ilmiah menentukan apa yang dianggap fakta dalam dunia akademik.
- Formasi Wacana: Wacana dibentuk melalui serangkaian aturan yang mengatur bagaimana ide atau konsep tertentu diproduksi, disebarkan, dan dipahami. Aturan-aturan ini tersembunyi dan sering kali diterima begitu saja sebagai hal yang "alamiah."
- Produksi Subjektivitas: Wacana membentuk identitas dan subjektivitas individu. Melalui wacana, individu belajar untuk melihat diri mereka sesuai dengan kategori sosial tertentu, seperti "normal" atau "abnormal," "sehat" atau "sakit," "baik" atau "buruk."
Michel Foucault mengembangkan dua pendekatan utama untuk analisis wacana, yaitu Analisis Wacana Diskursif (AWD) dan Analisis Wacana Kritis (AWK). Keduanya berakar pada konsep wacana sebagai konstruksi sosial yang membentuk dan mengatur pengetahuan, kekuasaan, dan identitas dalam masyarakat. Analisis Wacana Diskursif (AWD) meneliti bagaimana wacana dibentuk, diproduksi, dan diatur dalam konteks sosial tertentu. Pendekatan ini mempelajari bahasa, teks, dan komunikasi yang menciptakan makna dan memengaruhi cara orang berpikir dan bertindak. Asumsi utama yang mendasari adalah bahwa Foucault menilai bahwa wacana bukan sekadar bahasa, melainkan praktik sosial yang membentuk realitas. Foucault juga menilai bahwa makna-makna tersebut muncul dari interaksi sosial yang diatur oleh aturan budaya dan institusi. Lebih lanjut Foucault menilai bahwa wacana berkembang melalui sejarah dan berubah sesuai dengan konteks sosial tertentu. Seperti contoh dalam dunia kesehatan, istilah "penyakit mental" terbentuk melalui wacana medis yang mengatur bagaimana pasien diperlakukan dan didiagnosis.
Analisis Wacana Kritis (AWK) melibatkan analisis wacana dengan fokus pada hubungan kekuasaan, dominasi, dan ideologi. Pendekatan ini melihat bagaimana wacana digunakan untuk membentuk struktur sosial dan mempertahankan kontrol kekuasaan. Asumsi utama yang mendasari adalah bahwa wacana adalah alat kekuasaan yang menciptakan, memperkuat, dan melanggengkan ketimpangan sosial, tidak ada wacana yang netral; semua terhubung dengan kepentingan tertentu, dan kekuasaan dan pengetahuan saling terkait; pengetahuan menciptakan kekuasaan, dan kekuasaan membentuk pengetahuan. Sebagai contoh dalam kebijakan imigrasi, istilah seperti "keamanan perbatasan" digunakan untuk membenarkan pengawasan yang ketat dan kontrol sosial, sering kali dengan meminggirkan kelompok minoritas.
Treaty Shopping adalah praktik di mana perusahaan multinasional memanfaatkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara dua negara untuk menghindari pembayaran pajak yang tinggi. Perusahaan biasanya mendirikan perusahaan cangkang (shell company) di negara yang memiliki tarif pajak rendah dan jaringan perjanjian pajak yang luas. Penghindaran Pajak Berganda adalah mekanisme hukum yang dirancang untuk menghindari pembayaran pajak dua kali atas pendapatan yang sama di dua negara yang berbeda. Biasanya, ini diatur melalui Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang disepakati antarnegara. Treaty Shopping dan Penghindaran Pajak Berganda adalah praktik dalam perpajakan internasional yang sering dikaji melalui perspektif hukum, ekonomi, dan kebijakan. Namun, melalui pendekatan Analisis Wacana Diskursif (AWD) dan Analisis Wacana Kritis (AWK) dari Foucault, isu ini dapat dilihat sebagai konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh kekuasaan dan wacana global tentang keadilan pajak, ekonomi pasar bebas, dan regulasi internasional.
Analisis Wacana Diskursif (AWD) berfokus pada pembentukan makna melalui wacana yang tercipta dalam komunikasi sosial dan hukum terkait treaty shopping. Narasi utama dalam treaty shopping sering kali mencerminkan perbedaan pandangan antara aktor yang berbeda. Analisis Wacana Diskursif (AWD) mengungkap bagaimana narasi-narasi tersebut dikonstruksi untuk membentuk opini publik atau mendukung kebijakan tertentu:
- Narasi Kompetisi Pajak: Negara-negara dengan tarif pajak rendah sering membingkai diri mereka sebagai destinasi yang kompetitif untuk investasi, dengan menggunakan bahasa yang menekankan efisiensi ekonomi.
- Narasi Keadilan Pajak: Sebaliknya, organisasi seperti OECD sering menggunakan istilah seperti fair taxation (pajak yang adil) untuk menggambarkan bahaya treaty shopping bagi sistem perpajakan global.
Dilihat dari formasi wacana bahwa media sering kalo membingkai Treaty Shopping sebagai "penyalahgunaan sistem pajak" oleh perusahaan multinasional. Media sering kali menggambarkan perusahaan multinasional yang terlibat dalam treaty shopping sebagai "eksploitatif" atau "tidak bermoral". Di sisi lain, perusahaan multinasional menggunakan bahasa seperti "struktur pajak efisien" untuk membingkai strategi mereka sebagai sah dan legal. Pemerintah sering menggambarkan treaty shopping sebagai "penyalahgunaan" yang merugikan negara, tetapi perusahaan mungkin menyebutnya sebagai "optimalisasi pajak". Pilihan kata ini membentuk persepsi publik. Begitu pula dengan Organisasi seperti OECD menciptakan laporan dan panduan yang memperkuat definisi treaty shopping sebagai tindakan ilegal atau tidak etis.
Dalam aturan wacana, wacana treaty shopping diatur oleh perjanjian pajak internasional (P3B) dan inisiatif anti-penghindaran pajak seperti BEPS Action Plan yang menetapkan aturan untuk menilai legalitas praktik ini. Terdapat pula aturan-aturan atau Perjanjian Multilateral Instrument (MLI) OECD menjadi alat untuk menstandardisasi definisi treaty shopping dan membatasi penyalahgunaan perjanjian pajak, seperti memasukkan klausul seperti principal purpose test (PPT) dan limitation on benefits (LOB).
Metode Analisis Wacana Kritis (AWK) Foucault mempelajari bagaimana Treaty Shopping dalam sistem perpajakan internasional tidak hanya dipahami sebagai konsep hukum, tetapi juga sebagai praktik sosial yang terkait dengan kekuasaan, kontrol ekonomi, dan dominasi global. Pendekatan ini mengeksplorasi bagaimana wacana tentang treaty shopping diciptakan, dipertahankan, dan digunakan untuk melanggengkan kepentingan tertentu dalam arena perpajakan internasional.
Treaty shopping diproduksi melalui hubungan kekuasaan antara negara maju, lembaga global seperti OECD, IMF, dan World Bank, serta perusahaan multinasional. Negara-negara maju dengan daya tawar tinggi menetapkan standar global untuk mendefinisikan treaty shopping dan membuat regulasi pajak internasional yang cenderung melindungi kepentingan mereka. Dalam konteks treaty shopping, OECD melalui inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) menciptakan "rezim kebenaran" yang menyatakan bahwa treaty shopping adalah "penyalahgunaan perjanjian pajak." Negara berkembang sering kali terpaksa mematuhi standar ini meskipun mereka tidak memiliki peran signifikan dalam proses penyusunannya.
Selain itu dari sisi praktik eksklusi dan normalisasi, Negara-negara dengan tarif pajak rendah sering dilabeli sebagai "tax havens" oleh negara maju dan lembaga internasional, yang memposisikan mereka sebagai pelaku "kriminal ekonomi". Praktik treaty shopping distigmatisasi untuk menghalangi penggunaan tarif pajak rendah, meskipun perusahaan besar sering mendapat manfaat dari regulasi yang dirancang untuk mereka. Alhasil negara-negara berkembang kadang melakukan resistensi terhadap regulasi yang mereka anggap membatasi kedaulatan pajak mereka. Namun, dalam praktiknya, resistensi ini sering diabaikan karena dominasi regulasi pajak internasional yang ditetapkan oleh negara-negara kuat.
Metode Analisis Wacana Diskursif (AWD) Foucault digunakan untuk memahami bagaimana konsep Penghindaran Pajak Berganda dibentuk melalui wacana hukum, ekonomi, dan kebijakan perpajakan global. Penghindaran pajak berganda tidak hanya dipandang sebagai kebijakan teknis, tetapi juga sebagai konstruksi sosial yang diatur oleh lembaga internasional, negara, media, dan perusahaan multinasional melalui narasi yang membentuk definisi, legitimasi, dan penerapannya dalam sistem perpajakan global. Penghindaran Pajak Berganda didefinisikan sebagai mekanisme hukum yang bertujuan mencegah pengenaan pajak ganda atas pendapatan yang sama di dua yurisdiksi berbeda. Narasi ini muncul dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang dibuat antarnegara untuk menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif dan mengurangi beban pajak perusahaan multinasional.
Organisasi seperti OECD, IMF, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memainkan peran penting dalam membentuk wacana bahwa penghindaran pajak berganda adalah instrumen penting untuk menciptakan stabilitas ekonomi dan perdagangan internasional. Sementar itu Negara menggunakan wacana ini untuk menarik investasi asing dengan menjalin perjanjian pajak bilateral yang mengurangi tarif pajak atas penghasilan lintas batas. Aturan wacana muncul dari sisi legalitas dan kebijakan publik dimana penghindaran pajak berganda diatur oleh Model Tax Convention OECD dan Perjanjian Multilateral Instrument (MLI), yang mendefinisikan standar legal untuk penghindaran pajak yang sah. Serta adanya media-media global yang memperkuat wacana tersebut dengan menyebutkan bahwa sangat penting untuk membuat perjanjian pajak antarnegara dalam mengurangi konflik pajak internasional.
Metode Analisis Wacana Kritis (AWK) Foucault berfokus pada bagaimana wacana tentang penghindaran pajak berganda dibentuk dan dipertahankan oleh hubungan kekuasaan, serta bagaimana wacana ini digunakan untuk mengatur dan mengendalikan perilaku negara, perusahaan, dan individu dalam sistem perpajakan internasional. Dalam konteks ini, penghindaran pajak berganda tidak hanya dipahami sebagai kebijakan teknis, tetapi juga sebagai produk dari struktur kekuasaan global yang menciptakan ketimpangan dalam sistem ekonomi dan perpajakan.
Penghindaran pajak berganda sering kali melibatkan hubungan kekuasaan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Negara-negara maju yang memiliki peran dominan dalam pembentukan perjanjian pajak internasional sering menentukan aturan yang menguntungkan bagi mereka, sementara negara-negara berkembang sering kali terpaksa mengikuti perjanjian yang mungkin merugikan mereka dalam jangka panjang. Lembaga internasional seperti OECD dan IMF memainkan peran sentral dalam mengarahkan dan mempengaruhi wacana global mengenai pajak berganda. Negara-negara yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi cenderung mendominasi pembentukan kebijakan ini.
Dalam kerangka Foucault, rezim kebenaran mengacu pada cara-cara tertentu dalam mendefinisikan dan mengatur apa yang dianggap sebagai "kebenaran" dalam suatu masyarakat atau sistem. OECD melalui Model Tax Convention dan perjanjian multilateral lainnya menciptakan wacana bahwa penghindaran pajak berganda adalah masalah teknis yang harus diatur untuk mencegah pajak ganda atas pendapatan yang sama. Meskipun demikian, wacana ini sering kali mendukung sistem yang menguntungkan negara-negara kaya dan perusahaan multinasional, sementara negara-negara berkembang mendapatkan keuntungan yang lebih sedikit.
Dalam praktik eksklusi, wacana penghindaran pajak berganda dapat dilihat sebagai praktik yang eksklusif bagi negara-negara maju dan perusahaan multinasional. Negara-negara berkembang sering kali dikucilkan dari proses pembuatan perjanjian yang menguntungkan mereka, dan cenderung terjebak dalam posisi subordinasi dalam perjanjian pajak internasional. Sehingga muncul normalisasi berupa acana yang dibentuk oleh negara-negara maju dan lembaga internasional menganggap penghindaran pajak berganda sebagai hal yang sah dan wajar dalam konteks globalisasi ekonomi dan perdagangan internasional. Dalam hal ini, perjanjian penghindaran pajak berganda diartikan sebagai langkah yang diperlukan untuk menciptakan sistem pajak yang adil dan efisien. Alhasil negara-negara berkembang atau kelompok yang memperjuangkan keadilan pajak mungkin menantang wacana ini. Mereka berpendapat bahwa perjanjian pajak internasional sering kali lebih menguntungkan negara-negara kaya dan perusahaan besar, sementara negara-negara miskin tetap terjebak dalam ketimpangan ekonomi dan perpajakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI