Dilihat dari formasi wacana bahwa media sering kalo membingkai Treaty Shopping sebagai "penyalahgunaan sistem pajak" oleh perusahaan multinasional. Media sering kali menggambarkan perusahaan multinasional yang terlibat dalam treaty shopping sebagai "eksploitatif" atau "tidak bermoral". Di sisi lain, perusahaan multinasional menggunakan bahasa seperti "struktur pajak efisien" untuk membingkai strategi mereka sebagai sah dan legal. Pemerintah sering menggambarkan treaty shopping sebagai "penyalahgunaan" yang merugikan negara, tetapi perusahaan mungkin menyebutnya sebagai "optimalisasi pajak". Pilihan kata ini membentuk persepsi publik. Begitu pula dengan Organisasi seperti OECD menciptakan laporan dan panduan yang memperkuat definisi treaty shopping sebagai tindakan ilegal atau tidak etis.
Dalam aturan wacana, wacana treaty shopping diatur oleh perjanjian pajak internasional (P3B) dan inisiatif anti-penghindaran pajak seperti BEPS Action Plan yang menetapkan aturan untuk menilai legalitas praktik ini. Terdapat pula aturan-aturan atau Perjanjian Multilateral Instrument (MLI) OECD menjadi alat untuk menstandardisasi definisi treaty shopping dan membatasi penyalahgunaan perjanjian pajak, seperti memasukkan klausul seperti principal purpose test (PPT) dan limitation on benefits (LOB).
Metode Analisis Wacana Kritis (AWK) Foucault mempelajari bagaimana Treaty Shopping dalam sistem perpajakan internasional tidak hanya dipahami sebagai konsep hukum, tetapi juga sebagai praktik sosial yang terkait dengan kekuasaan, kontrol ekonomi, dan dominasi global. Pendekatan ini mengeksplorasi bagaimana wacana tentang treaty shopping diciptakan, dipertahankan, dan digunakan untuk melanggengkan kepentingan tertentu dalam arena perpajakan internasional.
Treaty shopping diproduksi melalui hubungan kekuasaan antara negara maju, lembaga global seperti OECD, IMF, dan World Bank, serta perusahaan multinasional. Negara-negara maju dengan daya tawar tinggi menetapkan standar global untuk mendefinisikan treaty shopping dan membuat regulasi pajak internasional yang cenderung melindungi kepentingan mereka. Dalam konteks treaty shopping, OECD melalui inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) menciptakan "rezim kebenaran" yang menyatakan bahwa treaty shopping adalah "penyalahgunaan perjanjian pajak." Negara berkembang sering kali terpaksa mematuhi standar ini meskipun mereka tidak memiliki peran signifikan dalam proses penyusunannya.
Selain itu dari sisi praktik eksklusi dan normalisasi, Negara-negara dengan tarif pajak rendah sering dilabeli sebagai "tax havens" oleh negara maju dan lembaga internasional, yang memposisikan mereka sebagai pelaku "kriminal ekonomi". Praktik treaty shopping distigmatisasi untuk menghalangi penggunaan tarif pajak rendah, meskipun perusahaan besar sering mendapat manfaat dari regulasi yang dirancang untuk mereka. Alhasil negara-negara berkembang kadang melakukan resistensi terhadap regulasi yang mereka anggap membatasi kedaulatan pajak mereka. Namun, dalam praktiknya, resistensi ini sering diabaikan karena dominasi regulasi pajak internasional yang ditetapkan oleh negara-negara kuat.
Metode Analisis Wacana Diskursif (AWD) Foucault digunakan untuk memahami bagaimana konsep Penghindaran Pajak Berganda dibentuk melalui wacana hukum, ekonomi, dan kebijakan perpajakan global. Penghindaran pajak berganda tidak hanya dipandang sebagai kebijakan teknis, tetapi juga sebagai konstruksi sosial yang diatur oleh lembaga internasional, negara, media, dan perusahaan multinasional melalui narasi yang membentuk definisi, legitimasi, dan penerapannya dalam sistem perpajakan global. Penghindaran Pajak Berganda didefinisikan sebagai mekanisme hukum yang bertujuan mencegah pengenaan pajak ganda atas pendapatan yang sama di dua yurisdiksi berbeda. Narasi ini muncul dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang dibuat antarnegara untuk menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif dan mengurangi beban pajak perusahaan multinasional.
Organisasi seperti OECD, IMF, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memainkan peran penting dalam membentuk wacana bahwa penghindaran pajak berganda adalah instrumen penting untuk menciptakan stabilitas ekonomi dan perdagangan internasional. Sementar itu Negara menggunakan wacana ini untuk menarik investasi asing dengan menjalin perjanjian pajak bilateral yang mengurangi tarif pajak atas penghasilan lintas batas. Aturan wacana muncul dari sisi legalitas dan kebijakan publik dimana penghindaran pajak berganda diatur oleh Model Tax Convention OECD dan Perjanjian Multilateral Instrument (MLI), yang mendefinisikan standar legal untuk penghindaran pajak yang sah. Serta adanya media-media global yang memperkuat wacana tersebut dengan menyebutkan bahwa sangat penting untuk membuat perjanjian pajak antarnegara dalam mengurangi konflik pajak internasional.
Metode Analisis Wacana Kritis (AWK) Foucault berfokus pada bagaimana wacana tentang penghindaran pajak berganda dibentuk dan dipertahankan oleh hubungan kekuasaan, serta bagaimana wacana ini digunakan untuk mengatur dan mengendalikan perilaku negara, perusahaan, dan individu dalam sistem perpajakan internasional. Dalam konteks ini, penghindaran pajak berganda tidak hanya dipahami sebagai kebijakan teknis, tetapi juga sebagai produk dari struktur kekuasaan global yang menciptakan ketimpangan dalam sistem ekonomi dan perpajakan.
Penghindaran pajak berganda sering kali melibatkan hubungan kekuasaan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Negara-negara maju yang memiliki peran dominan dalam pembentukan perjanjian pajak internasional sering menentukan aturan yang menguntungkan bagi mereka, sementara negara-negara berkembang sering kali terpaksa mengikuti perjanjian yang mungkin merugikan mereka dalam jangka panjang. Lembaga internasional seperti OECD dan IMF memainkan peran sentral dalam mengarahkan dan mempengaruhi wacana global mengenai pajak berganda. Negara-negara yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi cenderung mendominasi pembentukan kebijakan ini.
Dalam kerangka Foucault, rezim kebenaran mengacu pada cara-cara tertentu dalam mendefinisikan dan mengatur apa yang dianggap sebagai "kebenaran" dalam suatu masyarakat atau sistem. OECD melalui Model Tax Convention dan perjanjian multilateral lainnya menciptakan wacana bahwa penghindaran pajak berganda adalah masalah teknis yang harus diatur untuk mencegah pajak ganda atas pendapatan yang sama. Meskipun demikian, wacana ini sering kali mendukung sistem yang menguntungkan negara-negara kaya dan perusahaan multinasional, sementara negara-negara berkembang mendapatkan keuntungan yang lebih sedikit.
Dalam praktik eksklusi, wacana penghindaran pajak berganda dapat dilihat sebagai praktik yang eksklusif bagi negara-negara maju dan perusahaan multinasional. Negara-negara berkembang sering kali dikucilkan dari proses pembuatan perjanjian yang menguntungkan mereka, dan cenderung terjebak dalam posisi subordinasi dalam perjanjian pajak internasional. Sehingga muncul normalisasi berupa acana yang dibentuk oleh negara-negara maju dan lembaga internasional menganggap penghindaran pajak berganda sebagai hal yang sah dan wajar dalam konteks globalisasi ekonomi dan perdagangan internasional. Dalam hal ini, perjanjian penghindaran pajak berganda diartikan sebagai langkah yang diperlukan untuk menciptakan sistem pajak yang adil dan efisien. Alhasil negara-negara berkembang atau kelompok yang memperjuangkan keadilan pajak mungkin menantang wacana ini. Mereka berpendapat bahwa perjanjian pajak internasional sering kali lebih menguntungkan negara-negara kaya dan perusahaan besar, sementara negara-negara miskin tetap terjebak dalam ketimpangan ekonomi dan perpajakan.