Mohon tunggu...
Yoean Octarhaiezky Perdana
Yoean Octarhaiezky Perdana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Magister Akuntansi | NIM 55523110015 | Fakultas Ekonomi dan Bisnis | Universitas Mercu Buana | Pajak Internasional | Dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kuis 12 || Pajak Internasional || Diskursus Persamaan Math pada Controlled Foreign Corporation (CFC) || Prof. Apollo

3 Desember 2024   18:00 Diperbarui: 3 Desember 2024   18:15 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Controlled Foreign Company (CFC) adalah istilah yang merujuk pada perusahaan asing yang dikendalikan oleh pemegang saham atau entitas domestik dalam suatu negara tertentu. Perusahaan ini biasanya berbasis di yurisdiksi luar negeri, yang sering kali memiliki tarif pajak lebih rendah atau bahkan bebas pajak (tax haven). Tujuan utamanya adalah untuk mengelola kewajiban pajak secara lebih efisien bagi pemiliknya. Skema Controlled Foreign Company (CFC) dalam Penghindaran Pajak sering digunakan oleh perusahaan atau individu untuk mengurangi beban pajak melalui pengalihan pendapatan ke negara dengan tarif pajak rendah (tax haven). Strategi ini memanfaatkan perbedaan aturan perpajakan antarnegara untuk menghindari pembayaran pajak yang lebih tinggi di negara asal.

Dalam konteks hukum pajak internasional, konsep CFC digunakan untuk mencegah praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional atau individu dengan cara mengalihkan laba ke negara dengan tarif pajak lebih rendah. Oleh karena itu, banyak negara memiliki peraturan CFC yang bertujuan untuk mengenakan pajak terhadap pendapatan yang dihasilkan oleh perusahaan asing yang dikendalikan, seolah-olah pendapatan tersebut diterima langsung oleh pemilik domestiknya.

Secara umum, OECD (2023) mendefinisikan CFC sebagai perusahaan asing yang secara langsung maupun tidak langsung dikendalikan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri. Definisi lain menyebutkan bahwa CFC adalah sebuah entitas bisnis yang terdaftar dan menjalankan kegiatan operasi di jurisdiksi yang berbeda dari entitas yang mengontrolnya (Chen, 2022). Otoritas perpajakan mungkin menerapkan kriteria yang berbeda – beda untuk menentukan sifat dari pengendalian. Namun, OECD (2023) sendiri menyatakan bahwa CFC rules merupakan turunan dari BEPS action 3 report tentang Controlled Foreign Company.

Di Indonesia, pengaturan mengenai CFC diatur secara jelas dalam Undang – undang Pajak Penghasilan dan aturan turunannya. Pasal 18 ayat (2) Undang – undang PPh antara lain mengatur bahwa:

Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:

  • besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
  • secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.

CFC Rules (Controlled Foreign Company Rules) di Indonesia saat ini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 93/PMK.03/2019. Peraturan ini bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) yang memiliki kepemilikan di badan usaha asing (CFC). Melalui aturan ini, Indonesia berupaya mengenakan pajak atas penghasilan yang diperoleh dari perusahaan-perusahaan asing yang dikendalikan oleh WPDN. CFC dalam PMK 93 didefinisikan sebagai badan usaha di luar negeri yang sekurang-kurangnya 50% sahamnya dimiliki langsung atau tidak langsung oleh WPDN, baik secara individu maupun bersama-sama dan pendapatan pasif yang diperoleh oleh CFC dapat dikenakan pajak di Indonesia, meskipun pendapatan tersebut belum dibagikan kepada WPDN sebagai dividen. Pendapatan pasif yang dimaksud dapat berupa dividen, bunga, royalti, sewa dan keuntungan dari penjualan aset atau investasi.

Secara umum pengaturan Controlled Foreign Company bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak, menjaga basis pajak domestik dan mendorong transparansi. Begitu pula dengan adanya PMK Nomor 93/PMK.03/2019 yang bertujuan untuk m engurangi praktik pengalihan laba (profit shifting) melalui penahanan laba di luar negeri, m mastikan bahwa penghasilan yang dihasilkan oleh WPDN melalui entitas asing tetap dikenakan pajak di Indonesia, dan mewajibkan WPDN melaporkan kepemilikan mereka atas CFC secara jelas.

Penerapan PMK 93 mulai berlaku pada tahun pajak 2019 dimana terdapat perubahan fundamental dengan PMK sebelumnya yaitu PMK Nomor 107/PMK.03/2017 dalam Pasal 2 yang telah mengkategorikan jenis penghasilan CFC. Pemerintah Indonesia melalui ketentuan ini masih menggunakan pendekatan deemed dividend dalam upaya mengatribusi penghasilan ke yurisdiksi induk. Perubahan terdapat pada dasar pengenaan deemed dividend yang berubah dari laba setelah pajak menjadi jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu BULN Nonbursa terkendali langsung. Aturan baru memberikan penegasan penghasilan CFC yang disebut dalam peraturan dengan ‘penghasilan tertentu’ meliputi dividen, bunga, sewa, royalti dan capital gain. Klasifikasi terhadap substantial passive income dalam PMK 93 juga diikuti dengan pendefinisian pengecualian penghasilan CFC yang kemungkinan tidak menimbulkan risiko BEPS.

Deemed Dividend dalam konteks pajak Indonesia adalah konsep yang menganggap pendapatan tertentu sebagai dividen meskipun dividen tersebut belum secara fisik dibagikan kepada pemegang saham. Dalam pengaturan perpajakan, khususnya terkait Controlled Foreign Company (CFC) yang diatur dalam PMK Nomor 93/PMK.03/2019, deemed dividend diterapkan untuk mengenakan pajak atas penghasilan badan usaha asing yang dikendalikan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN), meskipun laba tersebut tidak ditarik atau dibagikan sebagai dividen.

Karakteristik dari Deemed Dividend:

  • Pendapatan Fiktif: Pendapatan dianggap sebagai dividen oleh otoritas pajak, meskipun belum dibayarkan secara aktual kepada pemegang saham.
  • Laba setelah pajak: Deemed dividend dihitung berdasarkan laba bersih setelah pajak yang diperoleh badan usaha asing.
  • Pajak atas laba CFC: Pajak dikenakan pada WPDN atas laba CFC di luar negeri, untuk mencegah penahanan laba di yurisdiksi pajak rendah atau bebas pajak (tax haven).

PMK Nomor 93/PMK.03/2019 mengatur mengenai ketentuan Deemed Dividend di Indonesia seperti:

  • Kriteria Penerapan:
  • Berlaku bagi WPDN yang memiliki sekurang-kurangnya 50% kepemilikan langsung atau tidak langsung di badan usaha luar negeri.
  • Penghasilan dari badan usaha asing dianggap sebagai dividen yang diterima WPDN pada akhir tahun pajak.
  • Jenis Pendapatan yang Termasuk:
  • Penghasilan pasif seperti bunga, royalti, dividen, sewa, atau keuntungan modal (capital gain).
  • Laba setelah pajak yang tidak segera dibagikan kepada pemilik saham.
  • Penghitungan Pajak:
  • Deemed dividend masuk ke dalam penghasilan kena pajak WPDN dan dikenakan pajak sesuai tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang berlaku.
  • Jika CFC telah membayar pajak di negara asal, WPDN dapat mengklaim tax credit untuk menghindari pajak berganda.

Sebagai contoh, PT ABC memiliki XYZ Ltd yang berada di negara X dengan kepemilikan 65%. Saham XYZ Ltd tidak diperdagangkan di bursa dan pada tahun pajak 2019, XYZ Ltd memperoleh penghasilan tertentu sebesar USD 100.000, biaya terkait penghasilan tertentu sebesar USD 30.000 dan pajak penghasilan sebesar USD 5.000. Nilai kurs yang berlaku pada tanggal 30 September adalah sebesar Rp 14.500/USD.

Berdasarkan contoh sebagaimana di atas, maka besarnya deemed dividend adalah sebesar 65%*(USD 100.000 – 30.000 – 5.000) = USD 42.250. Oleh karena kurs yang berlaku pada saat itu adalah sebesar Rp 14.500, maka PT ABC harus mengakui deemed dividen sebesar Rp 612.625.000 dalam SPT Tahunan 2019.

Persamaan Math Pada Controlled Foreign Company

Dokpri Yoean
Dokpri Yoean

Jika dilihat dari persamaan PT Petruk di atas, jika Pajak atas Dividen sebesar 10% maka hasilnya adalah 1,14815 x 0,1 =0,114815.

Dokpri Yoean
Dokpri Yoean

Jika dilihat dari persamaan PT Bagong di atas, jika Pajak atas Dividen sebesar 10% maka hasilnya adalah 9 x 0,1 =0,9.

Dokpri Yoean
Dokpri Yoean

Jika dilihat dari persamaan PT Gareng di atas, jika Pajak atas Dividen sebesar 10% maka hasilnya adalah 12 x 0,1 =1,2.

Dokpri Yoean
Dokpri Yoean

Jika dilihat dari persamaan PT Cawe-Cawe di atas, jika Pajak atas Bunga sebesar 10% maka hasilnya adalah 1/2 x 0,1 =0,05.

Dokpri Yoean
Dokpri Yoean

Jika dilihat dari persamaan PT Temanggung di atas, jika Pajak atas Royalti sebesar 10% maka hasilnya adalah 21,33333 x 0,1 =2,13333.

Dokpri Yoean
Dokpri Yoean

Jika dilihat dari persamaan PT Bawang Brebes di atas, jika Pajak atas Capital Gain sebesar 10% maka hasilnya adalah 21 x 0,1 =2,1.

Komentar terhadap PMK No. 93/PMK.03/2019

PMK No. 93/PMK.03/2019 merupakan peraturan yang menetapkan aturan tentang pengenaan pajak atas penghasilan dari Controlled Foreign Company (CFC) yang dimiliki oleh Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN). Peraturan ini bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak melalui penahanan laba di luar negeri dan menjaga basis pajak di Indonesia.

Kelebihan PMK No. 93/PMK.03/2019

  • Mencegah Penghindaran Pajak Internasional:
    PMK ini membantu mengurangi praktik penahanan laba (profit shifting) di negara dengan tarif pajak rendah atau nol (tax haven), yang merugikan potensi penerimaan pajak Indonesia.
    Melalui penerapan deemed dividend, laba setelah pajak dari badan usaha asing tetap dikenakan pajak di Indonesia, meskipun tidak dibagikan sebagai dividen.
  • Meningkatkan Penerimaan Pajak:
    Dengan memperluas cakupan pajak atas penghasilan pasif dari perusahaan asing, aturan ini berpotensi meningkatkan basis pajak dan penerimaan negara.
  • Meningkatkan Transparansi:
    PMK ini mewajibkan WPDN melaporkan kepemilikan saham dan penghasilan dari CFC dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Hal ini memudahkan otoritas pajak dalam melacak penghasilan lintas batas.
  • Harmonisasi dengan Standar Internasional:
    Aturan ini sejalan dengan inisiatif global seperti Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) dari OECD yang bertujuan mencegah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional.

Kelemahan dan Tantangan PMK No. 93/PMK.03/2019

  • Kompleksitas Kepatuhan:
    Aturan ini membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang pajak internasional. Banyak WPDN, terutama yang berskala kecil, mungkin mengalami kesulitan dalam memahami dan mematuhi aturan ini.
    Pelaporan tambahan dapat meningkatkan beban administrasi bagi WPDN.
  • Potensi Pajak Berganda:
    Meskipun aturan ini mengizinkan penggunaan tax credit untuk pajak yang telah dibayar di negara lain, perbedaan interpretasi aturan perpajakan antar negara dapat menyebabkan risiko pajak berganda bagi WPDN.
  • Pengawasan dan Penegakan:
    Efektivitas aturan ini sangat bergantung pada kemampuan otoritas pajak untuk mengawasi kepatuhan dan mengakses informasi mengenai aktivitas bisnis di luar negeri.
    Dalam beberapa kasus, struktur perusahaan yang kompleks di yurisdiksi tax haven dapat menyulitkan penegakan aturan.
  • Dampak pada Investasi Luar Negeri:
    Aturan ini dapat mengurangi insentif bagi WPDN untuk melakukan investasi luar negeri, terutama jika aturan dianggap terlalu ketat atau tidak memberikan kelonggaran pada jenis usaha tertentu yang memerlukan penahanan laba untuk reinvestasi.

Rekomendasi untuk Perbaikan

  • Sosialisasi dan Edukasi:
    Pemerintah perlu melakukan sosialisasi yang lebih luas dan memberikan panduan praktis bagi WPDN tentang cara memahami dan mematuhi aturan ini.
    Penjelasan terkait mekanisme deemed dividend harus dipaparkan secara rinci agar wajib pajak dapat menghitung kewajiban pajak mereka dengan benar.
  • Peningkatan Kapasitas Pengawasan:
    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu meningkatkan akses ke informasi lintas negara melalui kerja sama internasional, seperti pertukaran informasi otomatis (Automatic Exchange of Information).
    Penguatan pengawasan dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi digital untuk melacak aliran pendapatan lintas negara.
  • Pengecualian atau Relaksasi untuk Kegiatan Usaha Aktif:
    Pemerintah dapat mempertimbangkan pengecualian bagi CFC yang melakukan kegiatan usaha aktif (bukan hanya menghasilkan pendapatan pasif), terutama jika kegiatan tersebut mendukung strategi investasi global WPDN.
  • Harmonisasi dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (DTA):
    Pemerintah perlu memastikan bahwa aturan ini tidak bertentangan dengan perjanjian DTA yang telah ada, untuk menghindari risiko pajak berganda yang merugikan WPDN.

PMK No. 93/PMK.03/2019 adalah langkah yang tepat dalam mencegah penghindaran pajak dan menjaga basis pajak Indonesia. Namun, penerapannya harus diimbangi dengan dukungan teknis, penegakan yang efektif, dan pemberian insentif yang tepat bagi wajib pajak yang patuh. Dengan pendekatan yang seimbang, aturan ini dapat meningkatkan penerimaan pajak tanpa menghambat investasi luar negeri.

Referensi:

PMK No. 93/PMK.03/2019

https://ideatax.id/id/articles/mengenal-cfc-rules-di-indonesia

https://www.pajak.go.id/id/artikel/cfc-rules-revisi-regulasi-cegah-distorsi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun