Mohon tunggu...
Yoean Octarhaiezky Perdana
Yoean Octarhaiezky Perdana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Magister Akuntansi | NIM 55523110015 | Fakultas Ekonomi dan Bisnis | Universitas Mercu Buana | Pajak Internasional | Dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kuis 11 || Pajak Internasional || Geneaologi Transfer Pricing || Prof. Apollo

26 November 2024   21:30 Diperbarui: 26 November 2024   21:33 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Transfer Pricing dalam Perpajakan merujuk pada penetapan harga untuk transaksi antar perusahaan yang termasuk dalam satu kelompok usaha, misalnya antara anak perusahaan, cabang, atau afiliasi yang berada di negara yang berbeda. Praktik ini sangat penting dalam konteks perusahaan multinasional yang memiliki operasi di berbagai negara, karena harga yang digunakan untuk transaksi internal (seperti penjualan barang, pemberian jasa, atau pemindahan aset) akan mempengaruhi pendapatan yang dilaporkan dan, pada gilirannya, kewajiban pajak yang harus dibayar oleh perusahaan di setiap negara tempat mereka beroperasi.

Globalisasi dan perdagangan internasional menyebabkan munculnya konsep Transfer Pricing, khususnya bagi perusahaan multinasional. Perusahaan semakin mudah melakukan perpindahan barang, jasa, modal, hingga sumber daya manusia antarnegara. Dengan demikian, transaksi perdagangan internasional kini banyak melibatkan pihak-pihak dalam satu grup usaha maupun pihak-pihak yang saling berafiliasi. Perusahaan multinasional umum menerapkan pembagian tanggung jawab dalam suatu grup usaha. Misalnya, suatu perusahaan induk memiliki perusahaan subsidiary yang bertugas sebagai pusat riset dan pengembangan, pusat manufaktur atau cost center, revenue center yang berperan dalam penjualan dan distribusi.

Berikut adalah alasan-alasan utama mengapa transfer pricing sangat penting:

  • Salah satu alasan utama mengapa transfer pricing digunakan oleh perusahaan multinasional adalah untuk mengoptimalkan kewajiban pajak. Dalam struktur perusahaan yang beroperasi di berbagai negara, perusahaan dapat mengalihkan laba dari negara dengan pajak tinggi ke negara dengan pajak rendah atau negara yang menawarkan insentif pajak tertentu.
  • Transfer pricing memungkinkan perusahaan untuk mengelola keuntungan di antara afiliasi atau anak perusahaan yang terletak di berbagai negara. Dengan menetapkan harga transfer yang sesuai, perusahaan dapat memanage bagaimana keuntungan didistribusikan ke berbagai cabang atau entitas dalam grupnya.
  • Transfer pricing dapat membantu menetapkan harga yang wajar dalam transaksi antar perusahaan dalam grup. Melalui prinsip arm's length (jarak wajar), perusahaan diminta untuk menetapkan harga transfer yang mencerminkan harga yang seharusnya diterapkan dalam transaksi yang serupa antara perusahaan yang tidak terhubung. Hal ini memastikan bahwa transaksi antar afiliasi dijalankan dengan cara yang transparan dan sesuai dengan prinsip pasar.
  • Transfer pricing membantu untuk menghindari pajak berganda (double taxation), yaitu situasi di mana pendapatan yang sama dikenakan pajak di dua negara berbeda. Tanpa prinsip yang jelas mengenai bagaimana harga transfer harus dihitung, dua negara bisa saja mencoba mengenakan pajak pada transaksi yang sama. Dengan kepatuhan terhadap regulasi transfer pricing yang benar, perusahaan dapat mencegah atau menyelesaikan sengketa pajak yang mungkin muncul terkait dengan transaksi antar afiliasi.

Salahj satu konsep yang ada di transfer pricing adalah Arm's Length Principle (ALP) adalah konsep fundamental dalam transfer pricing yang digunakan untuk memastikan bahwa transaksi antara entitas yang berafiliasi (misalnya, antara anak perusahaan dalam grup multinasional) dilakukan dengan harga yang setara atau mirip dengan yang akan diterapkan dalam transaksi antara pihak independen di pasar terbuka. Dengan kata lain, transaksi antara entitas yang memiliki hubungan afiliasi (misalnya, perusahaan induk dan anak perusahaan) harus dilakukan seolah-olah mereka adalah pihak yang tidak saling terhubung, dengan harga yang tidak dipengaruhi oleh hubungan internal. Prinsip arm’s length bertujuan untuk mencegah praktik manipulasi harga transfer yang bisa digunakan untuk menghindari pajak atau memindahkan keuntungan antarnegara dengan tarif pajak yang lebih rendah (seperti pengalihan keuntungan ke negara surga pajak). ALP membantu memastikan bahwa harga transaksi antar-entitas dalam grup multinasional sesuai dengan harga pasar wajar, yang akan terjadi seandainya kedua belah pihak adalah pihak yang independen.

Genealogi Transfer Pricing merujuk pada perkembangan dan asal-usul konsep transfer pricing melalui sejarah dan berbagai dimensi ilmu pengetahuan. Transfer pricing, yang pada dasarnya adalah penetapan harga untuk transaksi antara entitas yang terkait dalam satu grup perusahaan (misalnya antar anak perusahaan atau cabang di berbagai negara), bukan hanya merupakan masalah perpajakan, tetapi juga melibatkan dinamika ekonomi, hukum, politik, dan sosial yang kompleks. Untuk memahami genealogi transfer pricing, kita perlu melihat bagaimana praktik ini berkembang dalam konteks sejarah, serta bagaimana teori dan kebijakan yang melatarbelakanginya berinteraksi dengan praktek bisnis dan sistem perpajakan global.

Serupa.id
Serupa.id

Teori psikoanalitik Jacques Lacan adalah salah satu yang paling berpengaruh dan kompleks dalam bidang psikoanalisis, yang berfokus pada hubungan antara subjek (individu), bahasa, dan alam bawah sadar. Lacan mengembangkan teori yang mendalam mengenai struktur psikis manusia dan menyoroti bagaimana identitas individu terbentuk melalui interaksi simbolik, serta bagaimana individu terhubung dengan dunia eksternal dan internal mereka. Jika kita melihat transfer pricing melalui lensa Lacanian, kita dapat memahami fenomena ini sebagai suatu bentuk "negosiasi" antara subjek (perusahaan) dengan Otoritas (negara) dalam sistem ekonomi global. Di sini, harga transfer bukan hanya sekadar angka yang menentukan biaya atau laba, tetapi juga berfungsi sebagai simbol yang dibentuk oleh aturan dan kebijakan global, serta sebagai alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar yaitu optimalisasi pajak dan laba. Sementara itu, keinginan perusahaan untuk membayar pajak sesedikit mungkin dapat dilihat sebagai refleksi dari konsep Lacan mengenai "keinginan yang tidak terpuaskan." Tidak peduli berapa banyak perusahaan mencoba mengoptimalkan strategi transfer pricing mereka, mereka tidak akan pernah sepenuhnya mencapai tujuan "sempurna" karena adanya regulasi, pemeriksaan otoritas pajak, dan peraturan internasional yang terus berubah.

Teori utilitarian dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill berfokus pada prinsip bahwa tindakan yang benar adalah yang menghasilkan kebahagiaan atau manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Dalam konteks transfer pricing, teori ini dapat digunakan untuk mengevaluasi apakah praktik tersebut memberikan manfaat yang merata atau justru menguntungkan sebagian pihak sambil merugikan yang lain. Menurut Bentham, kebahagiaan dapat diukur secara kuantitatif berdasarkan "kalkulus kebahagiaan”. Bentham menekankan aspek intensitas, durasi, kepastian dan luasnya dampak dari keputusan tersebut. Sedangkan Mill memperluas konsep Bentham dengan mempertimbangkan kualitas kebahagiaan, bukan hanya kuantitas. Ia menilai bahwa kebahagiaan intelektual atau moral lebih tinggi nilainya daripada kebahagiaan fisik. Hubungan teori utilitarian dengan transfer pricing pada pendekatan Benthams perusahaan yang memaksimalkan keuntungan melalui transfer pricing dapat dianggap sah secara utilitarian jika manfaat finansial tersebut diterjemahkan ke dalam investasi global, peningkatan lapangan kerja, atau inovasi produk namun sebenarnya itu dapat merugikan negara dari sumber pendapatan pajaknya. Hubungan teori utilitarian dengan transfer pricing bahwa kebijakan transfer pricing yang etis perlu menyeimbangkan antara keuntungan finansial perusahaan dan tanggung jawab sosial agar tidak ada pihak yang saling dirugikan baik dari sisi keuntungan perusahaan maupun pendapatan negara.

Teori Kebebasan Positif dan Negatif dalam konteks transfer pricing dapat digunakan untuk memahami cara pandang yang berbeda terhadap kebebasan ekonomi dan tanggung jawab sosial dalam praktik pengalokasian harga antar entitas dalam perusahaan multinasional. Kebebasan negatif mengacu pada kebebasan dari gangguan atau paksaan. Dalam konteks ini, kebebasan negatif berkaitan dengan hak perusahaan untuk menetapkan harga transfer tanpa campur tangan yang signifikan dari pihak luar (misalnya, pemerintah atau lembaga pengatur). Dari sudut pandang kebebasan negatif, perusahaan multinasional diharapkan memiliki kebebasan untuk menentukan harga transfer sesuai dengan kepentingan bisnis mereka, selama tidak ada paksaan atau hambatan eksternal yang menghalangi mereka untuk melakukannya. Sebaliknya, kebebasan positif berfokus pada kemampuan untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk menjadi siapa kita sesungguhnya, dan bukan hanya kebebasan dari paksaan eksternal. Dalam hal ini, kebebasan positif dalam transfer pricing akan berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu sejauh mana perusahaan multinasional harus mempertimbangkan kesejahteraan negara tempat mereka beroperasi, terutama dalam hal keadilan pajak dan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi.

Transfer pricing melalui perspektif teori Karl Marx memberikan sudut pandang kritis terhadap praktik ini, terutama dalam konteks kapitalisme global. Marx memandang kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang didorong oleh eksploitasi tenaga kerja dan akumulasi modal. Dalam teori Marx, akumulasi modal adalah inti dari kapitalisme. Transfer pricing memungkinkan perusahaan multinasional untuk memindahkan keuntungan antar-entitas mereka di berbagai negara, sering kali untuk menghindari pajak dan mengoptimalkan akumulasi modal. Marx menekankan bahwa eksploitasi tenaga kerja adalah sumber nilai surplus dalam kapitalisme. Dalam konteks transfer pricing adalah dengan eksploitasi tenaga kerja di negara berkembang di mana biaya tenaga kerja lebih rendah dan cara perusahaan untuk memanipulasi distribusi nilai surplus. Marx mengkritik kapitalisme karena memperparah ketimpangan antara kelas-kelas sosial dan negara-negara. Dalam konteks transfer pricing negara maju sering kali menjadi pusat keuntungan akibat manipulasi transfer pricing, sementara negara berkembang kehilangan pendapatan pajak dengan mengalihkan kekayaan dari negara-negara yang membutuhkan pajak untuk pembangunan sosial ke negara-negara surga pajak (tax haven), yang memperdalam kesenjangan ekonomi global. Dalam teori Marx, fetisisme komoditas mengacu pada bagaimana nilai sosial suatu barang tersembunyi di balik nilai tukarnya. Dalam perspektif transfer pricing harga yang ditetapkan sering kali tidak mencerminkan nilai sebenarnya dari barang atau jasa, melainkan manipulasi untuk tujuan akumulasi modal. Ini menciptakan ilusi bahwa transaksi antar-perusahaan adalah hubungan pasar bebas, padahal mereka dikendalikan oleh logika kapitalis.

Teori Imperialisme Ekonomi dapat digunakan untuk menganalisis transfer pricing sebagai mekanisme yang mendukung dominasi ekonomi oleh perusahaan multinasional (MNC) yang beroperasi dalam sistem kapitalisme global. Teori ini, yang terutama dipengaruhi oleh pemikiran Vladimir Lenin dan diperkuat oleh studi-studi tentang hubungan ekonomi global, menjelaskan bagaimana kekayaan dan sumber daya negara berkembang sering kali dieksploitasi dan dialihkan ke negara-negara maju melalui struktur ekonomi yang tidak setara. Lenin berpendapat bahwa kapitalisme dalam tahap lanjut (imperialisme) ditandai oleh ekspansi modal lintas batas negara untuk mencari keuntungan maksimum. Perusahaan multinasional memanfaatkan transfer pricing untuk mengalihkan keuntungan dari negara-negara berkembang (tempat produksi dan eksploitasi sumber daya berlangsung) ke negara maju atau tax haven (tempat mereka dapat meminimalkan pajak). Namun di sisi lain Negara berkembang kehilangan pendapatan pajak yang seharusnya dapat digunakan untuk pembangunan, sementara negara maju terus memperkuat dominasinya dalam ekonomi global. Transfer pricing adalah alat modern yang memungkinkan perusahaan multinasional melanjutkan praktik dominasi ekonomi yang sebelumnya dilakukan melalui kolonialisme. Praktik ini memperkuat ketimpangan global, merugikan negara-negara berkembang, dan mengonsolidasikan kekayaan di pusat kapitalisme global.

Teori Internalisasi, yang berasal dari gagasan Ronald Coase dan diperluas oleh Oliver Williamson, menjelaskan mengapa perusahaan memilih untuk menginternalisasi transaksi tertentu daripada mengandalkan pasar eksternal. Fokus teori ini adalah pada efisiensi dan pengelolaan biaya transaksi. Teori ini memberikan penjelasan mendalam tentang bagaimana dan mengapa perusahaan multinasional (MNC) menggunakan transfer pricing dalam operasi lintas negara mereka. Teori ini berfokus pada efisiensi internal perusahaan dalam mengelola transaksi dan mengurangi biaya, terutama dalam lingkungan global yang kompleks. Transfer pricing adalah salah satu mekanisme utama yang digunakan oleh MNC untuk mengelola transaksi internal antar-entitas perusahaan. Transfer pricing dalam konteks internalisasi dapat dilihat pada pengurangan biaya transaksi dan pengendalian operasi internal. Dengan menetapkan harga transfer sendiri, perusahaan menghindari biaya negosiasi, pencarian harga, dan risiko fluktuasi pasar eksternal. Transfer pricing memungkinkan perusahaan untuk mengoordinasikan aktivitas antar-cabang, seperti pasokan bahan baku, produksi, dan distribusi, dengan lebih efisien.

Teori Etika Bisnis dalam konteks transfer pricing mengacu pada pendekatan moral dan tanggung jawab sosial yang diambil oleh perusahaan dalam menentukan harga transfer antara entitas yang berafiliasi dalam grup multinasional. Transfer pricing, yang mengatur bagaimana perusahaan multinasional mengalokasikan pendapatan dan biaya antar anak perusahaan di berbagai negara, dapat menimbulkan pertanyaan etis seputar keadilan, transparansi, dan tanggung jawab sosial. Transfer pricing harus dilakukan dengan prinsip keadilan, yang berarti harga yang dikenakan dalam transaksi antar entitas multinasional harus wajar dan setara dengan harga pasar yang berlaku untuk pihak independen. Menggunakan harga transfer yang tidak wajar untuk memindahkan keuntungan dari negara dengan pajak tinggi ke negara dengan pajak rendah, demi mengurangi kewajiban pajak, bisa dianggap sebagai tindakan yang tidak adil bagi negara yang kehilangan pajak. Dalam konteks etika bisnis, hal ini berpotensi melanggar prinsip keadilan yang menuntut agar setiap negara mendapatkan kontribusi yang adil dari perusahaan yang beroperasi di wilayah mereka.

Dalam etika bisnis, transparansi sangat penting. Perusahaan harus mengungkapkan dengan jelas bagaimana mereka menetapkan harga transfer dan memastikan bahwa proses tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Penyembunyian atau penipuan dalam pengaturan harga transfer, seperti menggunakan harga transfer yang tidak realistis untuk tujuan menghindari pajak, dapat merusak integritas perusahaan dan merugikan banyak pihak, termasuk pemerintah, pemangku kepentingan, dan masyarakat. Dari perspektif etika, perusahaan juga diharapkan untuk mematuhi peraturan perpajakan internasional yang ada, seperti OECD Transfer Pricing Guidelines dan BEPS (Base Erosion and Profit Shifting), yang bertujuan untuk mencegah praktik penghindaran pajak melalui manipulasi harga transfer. Kepatuhan terhadap peraturan ini tidak hanya tentang mematuhi hukum tetapi juga tentang bertindak secara etis dalam hubungan antar negara dan pemangku kepentingan.

Hat Rabbits
Hat Rabbits

Konsep Transfer Pricing sebagai Ketidaksadaran yang Menjadi Kesadaran adalah sebuah pendekatan filosofis atau psikologis yang dapat digunakan untuk memahami bagaimana praktik transfer pricing, meskipun awalnya dilakukan tanpa pemikiran kritis atau kesadaran penuh akan dampaknya, akhirnya menjadi suatu praktek yang disadari, dipahami, dan diatur dalam konteks yang lebih luas. Pendekatan ini dapat dilihat melalui lensa teori psikoanalisis atau bahkan sebagai evolusi dalam cara pandang perusahaan terhadap praktik transfer pricing, dari yang sekadar strategi tak terlihat (ketidaksadaran) menjadi sesuatu yang diterima dan dianalisis secara sadar dalam kerangka etika dan regulasi. Pada awalnya, banyak perusahaan multinasional (MNC) mengimplementasikan transfer pricing hanya sebagai cara untuk mengelola biaya internal, memindahkan keuntungan, atau menciptakan efisiensi dalam operasi mereka lintas negara tanpa benar-benar memahami atau menyadari sepenuhnya dampaknya terhadap perpajakan global, ketidakadilan sosial, dan ekonomi. Dalam hal ini, transfer pricing dapat dianggap sebagai praktik yang "tidak disadari" oleh banyak pihak (baik itu perusahaan itu sendiri maupun negara-negara tempat mereka beroperasi). Seiring berjalannya waktu, perusahaan dan masyarakat global mulai menyadari dampak negatif dari transfer pricing yang tidak terkontrol, terutama dalam konteks penghindaran pajak, ketidakadilan ekonomi global, dan ketidakseimbangan antara negara maju dan berkembang. Namun pada saat semua pihak mulai menyadari apa itu transfer pricing, transfer pricing tidak hanya dipahami sebagai alat efisiensi atau penghindaran pajak, tetapi juga sebagai praktik yang memerlukan tanggung jawab sosial dan moral.

Genealogi transfer pricing dibutuhkan karena memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai asal-usul, evolusi, dan dampak praktik transfer pricing dalam konteks ekonomi global. Ini adalah pendekatan yang memungkinkan kita untuk menelusuri bagaimana transfer pricing berkembang dari konsep sederhana menjadi instrumen yang sangat kompleks dengan implikasi sosial, politik, dan ekonomi yang luas.

Genealogi transfer pricing membantu kita memahami bagaimana dan mengapa praktik ini muncul, serta bagaimana praktik tersebut berkembang seiring waktu. Dengan menelusuri sejarahnya, kita dapat melihat perubahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan transfer pricing, seperti:

  • Kemunculan Perusahaan Multinasional: Transfer pricing pertama kali menjadi isu penting seiring dengan ekspansi perusahaan multinasional pada abad ke-20.
  • Peningkatan Globalisasi: Dengan semakin terbukanya perdagangan internasional, perusahaan mulai mengadopsi transfer pricing sebagai strategi untuk mengoptimalkan pajak dan laba mereka.
  • Perubahan Kebijakan Pajak: Negara-negara mulai merespons perubahan ini dengan menetapkan kebijakan dan regulasi untuk mengontrol transfer pricing, seperti prinsip arm's length yang diterapkan oleh OECD.

Dengan mempelajari genealoginya, kita dapat mengetahui seberapa besar pengaruh regulasi internasional terhadap praktik transfer pricing, serta bagaimana regulasi tersebut berkembang dan diterapkan. Hal ini penting karena:

  • Mendukung Transparansi Pajak: Pemahaman mengenai asal-usul dan perkembangan transfer pricing memberikan wawasan yang lebih baik bagi pengawasan dan penegakan regulasi pajak yang transparan.
  • Memfasilitasi Penyesuaian Kebijakan: Pemerintah dan lembaga internasional seperti OECD bisa lebih efektif merancang kebijakan perpajakan dengan memahami bagaimana transfer pricing berkembang dan digunakan oleh perusahaan.

Genealogi transfer pricing dapat memberikan perusahaan wawasan tentang praktik etis dalam penggunaan strategi transfer pricing mereka. Ketika perusahaan menyadari sejarah dan dampak dari praktik ini, mereka dapat lebih memahami:

  • Tanggung Jawab Sosial: Perusahaan dapat menyadari pentingnya berkontribusi pada pembangunan negara tempat mereka beroperasi, bukan hanya mengejar penghindaran pajak melalui manipulasi transfer pricing.
  • Prinsip Arm’s Length: Pemahaman genealogis dapat mendorong perusahaan untuk lebih mematuhi prinsip arm’s length, yaitu menetapkan harga transfer yang sebanding dengan harga pasar untuk menghindari penyalahgunaan harga transfer dalam penghindaran pajak.

Genealogi transfer pricing juga penting untuk mendorong reformasi sistem perpajakan global. Studi tentang bagaimana transfer pricing berevolusi dan digunakan membantu:

  • Menyoroti Ketimpangan dan Masalah Regulasi: Membantu mengidentifikasi masalah yang ada dalam sistem perpajakan internasional yang memungkinkan penghindaran pajak dan ketidakadilan ekonomi.
  • Mendorong Kerjasama Internasional: Negara-negara dapat bekerja sama lebih baik untuk merumuskan kebijakan yang lebih adil dan menyeluruh dengan memahami sejarah transfer pricing dan pengaruhnya.

Referensi:

https://ortax.org/apa-itu-transfer-pricing

https://www.averroes.or.id/jaques-lacan-dan-psikoanalisa.html

https://business-law.binus.ac.id/2016/06/30/utilitarianisme-dan-tujuan-perkembangan-hukum-multimedia-di-indonesia/#:~:text=Teori%20utilitarianisme%20yang%20digagas%20oleh,tidak%20kabur%20dan%20tidak%20tetap.

Fathurrahman, Rezki Amalia, 2021. "Kritik Karl Marx terhadap Kapitalisme dan Pengertian Sosialisme," OSF Preprints tjqba, Center for Open Science.

https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-imperialisme/

https://binus.ac.id/character-building/pancasila/teori-kebebasan-isaiah-berlin/

https://info.populix.co/articles/etika-bisnis/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun