Oleh
Yodi Kurniadi
Perpustakaan adalah salah satu unit di lembaga pendidikan yang memiliki peran untuk mendukung pembelajaran sepanjang hayat dengan menyediakan berbagai macam informasi sesuai dengan kebutuhan pengguna. Perpustakaan seperti halnya sebuah organisme yang selalu tumbuh dan berkembang. Ia selalu beradaptasi dengan kemajuan zaman, berupaya memahami perkembangan kebutuhan penggunanya sehingga suatu ketika dapat menjelma menjadi pilihan utama bagi pemustaka dalam menelusuri informasi. Inilah sesungguhnya yang dikatakan perpustakaan mengikuti tren, perpustakaan tidak mau ketinggalan zaman (Wiji Suwarno, 2016).
Karakteristik Generasi Z
Seiring dengan perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi, perilaku generasi muda saat ini sudah serbadigital. Mereka disebut sebagai generasi Z atau generasi digital native. Generasi ini kelahiran 1995-2010, dalam Bencsik, Csikos, dan Juhez (2016:92). Akhmad Sudrajat (2014) menjelaskan karakteristik umum dari generasi Z dan implikasinya terhadap pengembangan layanan perpustakaan di antaranya:
Pertama, Fasih Teknologi. Mereka adalah “generasi digital” yang mahir dan gandrung akan teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer. Mereka dapat mengakses berbagai informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan cepat, baik untuk kepentingan pendidikan maupun kepentingan hidup kesehariannya. Gawai dan perangkat lainnya adalah suatu alat yang bermanfaat dibandingkan buku teks.
Kedua, Sosial dan Multitasking. Mereka sangat intens berkomunikasi dan berinteraksi dengan semua kalangan, khususnya dengan teman sebaya melalui berbagai media sosial. Informasi pendidikan, game, hobi hingga media sosial yang booming seakan menjadi surga bagi generasi ini. Salah satu keunikan generasi Z adalah mereka cenderung menggunakan gaya multitasking, yakni melakukan beberapa pekerjaan sekaligus.
Ketiga, Berpikir Instan. Mereka menginginkan segala sesuatunya dapat dilakukan dan berjalan serbacepat. Mereka tidak menginginkan hal-hal yang bertele-tele dan berbelit-belit. Generasi Z lebih dominan pada alat pembelajaran secara audiovisual dibandingkan metode tradisional.
Upaya Mengakrabkan Generasi Z dengan Perpustakaan
Lalu apa yang harus dilakukan oleh pengelola perpustakaan supaya generasi Z menjadi akrab dengan perpustakaan? Bagaimana cara memikat mereka supaya mengunjungi perpustakaan atau menggunakan produk perpustakaan? Aspek-aspek apa saja yang harus diperbarui oleh pengelola perpustakaan? Jangan sampai kalimat motivasi Perpustakaan “Buku adalah jendela dunia” akan mengalami pergeseran kata dan makna menjadi “Google adalah jendela dunia.”
Aspek-aspek berikut ini mungkin sudah diperbarui dan diterapkan oleh beberapa perpustakaan di Indonesia, seperti Perpustakaan Nasional RI, beberapa perpustakaan umum daerah, dan beberapa perpustakaan universitas. Namun sebagian besar perpustakaan di daerah-daerah di Indonesia belum dan harus memperbarui pola layanan, koleksi, ruangan, dan fasilitas perpustakaan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman yang serbadigital.
Pertama, layanan perpustakaan atau referensi. Dalam pemenuhan kebutuhan informasi, generasi Z lebih banyak menyukai hal instan dan praktis, seperti internet, daripada mengunjungi perpustakaan untuk mencari dan membaca buku. Berdasarkan hal tersebut, perpustakaan harus mampu menciptakan layanan referensi yang menarik dan dibutuhkan oleh penggunanya, seperti layanan konsultasi dan literasi informasi, layanan penelusuran informasi dan partfinder, dan layanan delivery.
Layanan konsultasi dan literasi informasi. Layanan ini dapat diberikan dengan menitikberakan pada konsep research lifecycle. Pengguna akan lebih tertarik memanfaatkan layanan ini karena berhubungan dengan tugas akademik mereka. Layanan ini banyak dibutuhkan oleh generasi Z yang sangat mahir dan andal menggunakan internet dan TIK. Namun mereka memiliki keterbatasan dalam menemukan informasi secara efektif dan efisien.
Layanan penelusuran informasi dan partfinder. Layanan ini merupakan layanan bantuan pencarian informasi yang lebih akurat dan efektif. Layanan ini sesuai dengan karakteristik generasi Z yang lebih senang terhadap hal-hal yang menyenangkan daripada berburu artikel ilmiah di internet sehingga mereka membutuhkan bantuan perpustakaan dalam menyediakan sumber informasi untuk kebutuhannya.
Layanan delivery. Jenis layanan sangat menjamur pada era digital. Perpustakaan di luar negeri sudah memanfaatkan layanan delivery order untuk peminjaman buku dan dokumen. Layanan ini dapat diimplementasikan di perpustakaan sebagai bentuk jemput bola.
Kedua, layanan media online. Perpustakaan sudah seharusnya menyediakan layanan virtual melalui media online, seperti digital library, website perpustakaan, dan media sosial. Melalui penyediaan layanan online, perpustakaan dapat menjangkau pengguna tanpa harus datang ke perpustakaan. Website dan digital library harus disesuaikan dengan kebutuhan generasi Z, yakni memberikan ruang bagi pengguna untuk aktif dalam website.
Website perpustakaan juga harus menyediakan portal informasi yang memungkinkan pengguna melakukan penelusuran ke berbagai sumber informasi yang tersedia di perpustakaan dan dapat mengakses informasi tersebut. Website perpustakaan wajib terdapat menu FAQ dan help yang berfungsi memberikan bantuan secara online kepada pengguna.
Selain itu, perpustakaan saat ini wajib menggunakan media sosial dan aktif terlibat di dalamnya, serta mempunyai admin khusus dalam mengelola layanan ini. Alasannya hampir sebagian besar masyarakat memiliki akun media sosial (facebook, twitter, instagram, dsb.).
Berdasarkan hal-hal tersebut, sistem aturan perpustakaan yang terlalu ‘birokratis’ perlu diperbarui, misalnya prosedur fotokopi, prosedur menjadi anggota, prosedur membuat kartu, dan prosedur lainnya yang banyak persyaratan dan berbelit-belit. Aturan sistem perpustakaan yang sederhana akan memudahkan pemustaka dan dapat mempersuasif generasi Z untuk akses ke perpustakaan.
Ketiga, koleksi perpustakaan. Generasi Z merupakan generasi yang memiliki wawasan luas tentang dunia luar, tetapi minim wawasan tentang dunia lokalnya sendiri. Berdasarkan hal tersebut, perpustakaan sebaiknya tidak hanya berfokus pada pemenuhan koleksi buku cetak, tetapi juga harus menyediakan koleksi digital lebih banyak lagi, seperti budaya lokal, biografi tokoh nasional, dan sejarah nasional. Hal ini untuk menunjang pembelajaran di sekolah atau perkuliahan di kampus. Perpustakaan juga harus mengembangkan koleksi digital pengembangan softskill, seperti motivasi, psikologi, novel, dan olahraga. Hai ini merupakan wujud implementasi fungsi perpustakaan sebagai tempat rekreatif dan pengembangan diri.
Keempat, ruangan perpustakaan yang nyaman dan menyenangkan. Saat ini terjadi pergeseran pemanfaatan perpustakaan oleh generasi Z. Mereka datang ke perpustakaan dengan tujuan utama adalah penggunaan ruang perpustakaan untuk berdiskusi, belajar kelompok, belajar mandiri bahkan bersantai untuk bertemu dengan temannya. Untuk mengakrabkan generasi Z dengan perpustakaan, diperlukan ruangan yang nyaman dan menyenangkan supaya mereka betah dan menginspirasi dalam berkarya. Pomerantz and Marchionini (2007) menyatakan perpustakaan sebagai “library as place” merujuk kepada fungsi perpustakaan yang digunakan sebagai kegiatan pembelajaran bagi pengguna yang juga sebagai tempat inspiratif dalam menciptakan sebuah ide dan karya.
Oleh karena itu, perpustakaan sebaiknya tidak hanya tampak dengan paradigma lama yang terkesan kaku dan feodal dengan fasilitas gedung megah, perabot, rak, meja, ataupun kursi saja. Namun alangkah lebih baik jika dibuat corner-corner khusus yang mengedepankan nilai seni/artistik desain interiornya. Bentuk rak yang unik dipadu dengan furnitur serta perpaduan cat warna ruangan yang mengandung nilai seni akan membuat pemustaka (generasi Z) merasa nyaman berada di dalam corner tersebut. Karpet, sofa, meja pendek, dan lesehan busa sangat mengesankan bahwa berada di ruang perpustakaan sangat menyenangkan seperi layaknya berada di rumah.
Kelima, fasilitas colokan dan WiFi. Colokan dan WiFi merupakan fasilitas yang telah menjadi kebutuhan primer dan sangat digandrungi oleh generasi Z karena hampir sebagian besar masyarakat adalah pengguna gawai aktif. Mereka membutuhkan colokan setiap saat dan WiFi untuk terhubung dengan internet. Lebih baik jika model satu meja carrel dengan satu colokan sehingga pemustaka lebih bisa privasi.
Pastikan kecepatan akses dan sinyalnya baik sehingga memungkinkan pemustaka (generasi Z) mudah untuk mencari informasi melalui internet. Perpustakaan tidak boleh kalah dengan foodcourt, supermarket/mal, pusat kota, dan tempat lainnya yang menyediakan free hotspot area. Perpustakaan juga harus menyediakan komputer yang terhubung dengan internet khusus untuk pengguna/pemustaka. Perpustakaan sudah seharusnya tidak melarang pemustaka yang membawa laptop ke ruang perpustakaan. Semakin banyak animo pemustaka ke perpustakaan membawa laptop berarti menunjukkan tingkat melek terhadap teknologi informasi sangat tinggi.
Keenam, ruang sosial budaya. Menurut Jyoti (2014), perpustakaan harus mengembangkan sebuah aspek baru di dalam perpustakaan yang memiliki fungsi pendidikan, pengembangan, serta rekreatif. Perpustakaan dapat mengadakan kegiatan seminar dan pelatihan bagi pelajar dan mahasiswa untuk mendukung proses akademik dan pengembangan softskill-nya.
Perpustakaan juga dapat mengadakan kegiatan bazar dan pameran hasil karya pelajar dan mahasiswa. Perpustakaan dapat berfungsi sebagai community hub atau penghubung antara komunitas satu dengan yang lainnya di mana akan terjadi interaksi antara pengguna. Melalui kegiatan pameran, pelajar dan mahasiswa berkesempatan memamerkan hasil karyanya di perpustakaan dengan kurun waktu tertentu dan pengguna lain yang datang dapat berinteraksi dan memberikan feedback melalui form yang disediakan perpustakaan dan nantinya akan diberikan kepada pemilik karya sehingga terjadi pertukaran informasi untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Selain itu, perpustakaan dapat mengadakan kegiatan menonton film di perpustakaan. Kegiatan ini dapat dimanfaatkan pengguna untuk melepas kepenatan setelah melewati rutinitas sekolah/perkualihan atau ujian. Kegiatan pemutaran film ini dapat dilakukan pada periode waktu tertentu dan film yang diputar juga dapat memberikan manfaat bagi pengguna. Pengembangan aspek ini merupakan implementasi fungsi rekreatif perpustakaan.
Simpulan
Dengan diperbaruinya paradigma lama perpustakaan menjadi paradigma kekinian, selalu inovatif, dan out of the box, maka tidak mustahil generasi Z dapat menjadi akrab dengan perpustakaan. Generasi Z dapat berbondong-bondong berkunjung ke perpustakaan atau menggunakan produk perpustakaan. Aspek yang perlu diperbarui dan dikembangkan secara massif, yaitu layanan perpustakaan; koleksi perpustakaan; ruang perpustakaan yang nyaman dan menyenangkan; fasilitas pendukung yang penting seperti WiFi dan colokan; penyediaan website dan digital library yang memudahkan akses informasi dan koleksi perpustakaan di mana pun dan setiap saat; serta ruang sosial budaya yang berkaitan dengan fungsi pendidikan, pengembangan, serta rekreatif.
Daftar Pustaka
Andrea, Bencsik, Horváth- Csikós Gabriella, Juhász Tímea. Y and Z Generations at Workplaces. Journal of Competitiveness Vol. 8, Issue 3, pp. 90 - 106, September 2016. Diperoleh dari: . Di akses pada tanggal 12 Juni 2020.
Pomerantz, J., & Marchionini, G. 2007. The Digital Library as Place. Journal of Documentation, 63(4), 505-533.
Sudrajat, Akhmad. 2012. Generasi Z dan Implementasinya terhadap Pendidikan. Diperoleh dari: h. Diakses tanggal 12 Juni 2020.
Suwarno, Wiji. 2016. Ilmu Perpustakaan & Kode Etik Pustakawan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H