Jepang selalu menarik diperbincangkan, dari sisi teknologi, tradisi hingga bunuh diri. Harian Kompas (11/5) menuliskan setengah halaman Upaya Jepang Tekan Angka Bunuh Diri, bagaimana tidak menjadi perhatian, di tahun 2003 angka bunuh diri di Jepang mencapai 34.427 atau kurang lebih dari 90 orang sehari.
Di Jepang bahkan ada salah satu kawasan yang terkenal sebagai lokasi bunuh diri bernama Hutan Aokigahara, di lereng Gunung Fuji. Di hutan ini, Logan Paul, youtuber asal Amerika, dikecam pelanggannya di seantero dunia karena menayangkan video kejadian bunuh diri di kanalnya, hingga kemudia video dari kanal berpelanggan 15 juta itu diblokir Youtube.
Mengapa angka bunuh diri di Jepang sangat tinggi? Ingatlah film-film tentang pejuang samurai atau kerajaan-kerajaan Jepang, mungkin kamu pernah melihat adegan seorang pejuang dengan rela hati dipenggal atau melakukan seppuku (merobek perut dengan pedangnya). Mati dengan cara demikian dipercaya sebagai pemulihan nama baik setelah melakukan kegagalan. Sama halnya para pejabat Jepang yang langsung mengundurkan diri ketika terkuak melakukan kejahatan, skandan, atau korupsi.
Pertentangan Moral dan Zaman
Sebagai negara yang taat pada tradisi, terlebih tradisi perang yang sangat kental kedisiplinan dan tanggungjawab, orang Jepang saat patuh pada tatanan moral. Hal ini sangat tepat pada zaman perang yang memang membutuhkan standar disiplin yang ketat.
Namun zaman modern dengan penguasaan teknologi yang mutakhir, bayi Jepang lahir pada suasana segalanya telah tercukupi dan mau tidak mau harus bersaing mati-matian untuk menjadi orang yang diperhitungkan dalam tatanan sosial.
Di Indonesia, kita masih punya kesempatan yang lebar untuk mengambangkan potensi dan karir. Di Jepang, siapa saja bersaing dengan kemajuan zaman yang melebihi kehidupan orang normal. Jika mengejarnya, maka akan menjadi manusia robot yang hanya menjalankan rutinitas seperti program robot. Ujungnya juga sama, akan merasakan kesepian yang mendalam.
Kesepian yang mendalam ini bahkan menjadi bisnis di Jepang, salah satunya adalah jasa persewaan orang seperti Japan's Ossan Rental yang berbayar Rp 120.000 per jam, untuk menemani makan, nonton baseball, atau sekedar becerita.
Kekuatan Percakapan
Dalam retret yang dibuat oleh Tobemore Learning Center, beberapa kali mendapati peserta remaja yang mengaku pernah ingin bunuh diri. Bahkan ketika diajukan pertanyaan "Siapa yang pernah ingin bunuh diri?" pada peserta dan dijawab dengan menunduk dan memejamkan mata, agar sesama teman tak mengetahui, hampir pada setiap retret lebih dari setengah peserta mengacungkan jari.
Retret Tobemore Learning Center selalu membuka kesempatan bagi peserta yang ingin curhat pada pendamping. Alasan yang paling sering muncul adalah keterasingan dalam keluarga, entah karena orang tua sibuk bekerja, orang tua sering ribut, sudah bercerai, atau tidak tinggal dengan keluarga.
Persoalan menjadi lebih rumit kala tak memiliki kemendalaman dalam persahabatan, atau bahkan malah menjadi korban bully di sekolah.
Namun jika seseorang masih memiliki relasi percakapan, meskipun tidak mendalam, setidaknya seseorang punya tempat untuk didengarkan.
Percakapan adalah kunci sebuah relasi, semakin mendalam sebuah percakapan, semakin mendalam pula hubungan keduanya. Baca: Seni Mendengarkan. ***
Bilik Literasi, 11 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H