Mohon tunggu...
Yohanes Bara
Yohanes Bara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Founder TOBEMORE Learning Center Bekerja di Majalah BASIS dan Majalah UTUSAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Salah Pendidik, Pemerintah atau Orangtua?

10 Februari 2019   20:54 Diperbarui: 10 Februari 2019   21:27 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam seminggu terakhir ini, kita digemparkan dengan ulah Adi Saputra, pria 21 tahun yang merusak motornya sebagai bentuk penolakan terhadap tilang dikenakan padanya karena tidak memakai helm, tidak membawa SIM (surat izin mengemudi) dan STNK (surat tanda nomor kendaraan). Juga ulah AA (15) siswa SMP PGRI Wringinanom, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, yang menantang dan merokok di hadapan gurunya.

Adi dibekuk polisi dan mewek karena terbukti sebagai penadah motor yang ia rusak itu, AA juga hanya tertunduk dibalik topi saat dimediasi oleh polisi setempat. Mengapa Adi dan AA sedemikian arogan tetapi lembek ketika sudah masuk pada ranah yang serius? 

Kepala Dinas Pendidikan Gresik, Mahin, dikutip dari Kompas.id, mengungkapkan bahwa kemungkinan ulah AA karena kurang perhatian keluarga dan pengaruh lingkungan pertemanan yang kurang baik. 

Pada sisi sebaliknya, banyak orang tua yang juga tak sanggup menangani ulah anaknya yang sembarangan dan berbahaya bagi diri sendiri juga orang lain, lalu menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan pada institusi sekolah.

Persoalan pertama dunia pendidikan adalah sistem yang bobrok, Anda bisa bayangkan sampai hari ini persoalan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) saja masih carut marut dengan masalah sepele, sekolah tidak memiliki perangkat pelaksanaan UNBK tersebut, di antaranya adalah komputer dan internet.

 Itu baru persoalan yang tampak, belum jika kita menelisik dana sertifikasi guru yang justru meningkatkan jumlah kredit mobil, bahan ajar yang ketinggalan jauh, bahkan kemungkinan guru masih menggunakan bahan yang ia pelajari ketika kuliah, juga tekanan guru akan jumlah laporan yang harus ia buat untuk persyaratan sertifikasi atau akreditasi sekolah.

Masih banyak guru honorer yang hanya menerima Rp 500.000 sebulan. Dikutip dari Majalah UTUSAN, seorang guru di Tepus Gunung Kidul hanya menerima Rp 400.000 sebulan, dan saat musim kemarau, guru tersebut harus menyisihkan Rp 200.000 untuk membeli air bersih. Jika ada pepatah mengatakan "tak bisa berpikir jika lapar", tentu ada pepatah pula "tak bisa mengajar jika lapar".

Namun, ada satu energi yang menggerakan para pendidik menjadi berkualitas, passion. Tak terhitung inspirator pendidikan yang tayang di layar kaca, berjibaku dengan peluh dan pengorbanan untuk mendidik manusia menjadi lebih manusia. Persoalannya, apakah guru kita hari ini menjadi guru atas dasar pilihan hati nurani? Tentu tidak semuanya dan haslinya adalah sikap "asal siswa mengerjakan PR dan tertib di sekolah", selebihnya bukan urusan guru. 

Ada yang menarik pada unggahan Deddy Corbuzier di kanal Youtube-nya pada 10 Februari 2019 berjudul SEKOLAH TIDAK MENGAJARI ANDA INI (5 Hal Yang Harusnya Di Ajarkan Di Sekolah). 

Lulusan S1 Komunikasi yang tak cakap berkomunikasi, lulusan akuntasi yang tak pandai menawar barang dan memperhitungkan keuangan, dan secara lugas ia mempertanyakan mengapa kita tetap belajar pada guru yang jelas-jelas tidak sukses dalam hidupnya, atau ilustrasi Deddy seperti Anda berlatih fitnes pada orang yang kerempeng, pasti gagal.

Prof. Rhenald Kasali dalam sebuah seminarnya juga mengatakan, pendidikan hari ini mengimplementasikan hasil-hasil penelitian 10 tahun lalu, dan masing-masing penelitian itu meneliti fenomena 10 tahun sebelumnya. Artinya, pendidikan hari ini tertinggal 20 tahun.  Bahkan hal semacam itu juga terjadi di luar dunia pendidikan, misalnya pelarangan penggunaan GPS (global positioning system) bagi pengendara, termasuk driver angkutan online. Teknologinya 2019 tapi aturan yang dipakai dari 20 tahun sebelumnya. 

Pendidikan Indonesia memang kacau balau, perlu revolusi besar-besaran untuk membenahinya, dan upaya itu tak perlu kita nantikan. Anak yang baik berasal dari keluarga yang baik, keluarga yang baik menghasilkan anak yang baik. Fokus saja pada ruang belajar terkecil, keluarga. 

Berikan perhatian dan apresiasi yang cukup pada anak, maka ia tak akan berulah. Jika anak kacau, maka tak perlu jauh-jauh menyalahkan Bapak dan Ibu guru atau temannya, sudahkah sebagai orang tua memberikan perhatian dan apresiasi?

Y. Bara
Pringgokusuman, 10 Februari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun