Sebagai aktivitas olah tubuh, yoga, memiliki banyak manfaat baik bagi fisik maupun mental. Olah tubuh yang berasal dari India ini memiliki gerakan-gerakan yang memaksimalkan gerak tubuh, sehingga pelakunya dapat menghindarkan diri dari penyakit persendian dan tentu membantu mendapatkan tubuh yang bugar.
Yoga hingga kini masih diartikan sebagai miliknya para wanita, mungkin karena jauh dari alat-alat latihan beban seperti di studio gym atau terik matahari kala bermain sepak bola. Namun sebenarnya, yoga taklah semudah nampaknya, meski terlihat dengan gerakan perlahan tetapi olah tubuh ini bisa menguras tenaga pelakunya, bahkan bagi pria kekar sekalipun.
Yoga adalah salah satu oleh tubuh yang berdekatan dengan olah pernapasan dan meditasi, sehingga tak hanya baik untuk kebugaran tubuh, yoga juga baik bagi kesehatan mental dan ketenangan batin. Meditasi dalam yoga membantu pelakunya mengalirkan oksigen dengan baik menuju seluruh bagian tubuh dan utamanya ke otak, sehingga pelakunya terhindar dari sakit kepala. Olah nafas juga membantu pelaku yoga memiliki jiwa yang semeleh, tenang, tak grusa-grusu.
Salah satu praktisi yoga profesional yang kita kenal adalah artis peran, Anjasmara. Menurut kanal brilio.net, pria yang terkenal dengan peran Si Cecep itu telah mengenal yoga sejak 1994. Namanya pun belakangan ini kerap terliput media setelah ia menuntut permohonan maaf dari pemilik akun Instagram @corrisa.putrie yang melakukan perundungan terhadap Dian Nitami, istrinya.
Berawal dari @corrisa.putrie yang meninggalkan pesan menghina di salah satu foto akun Instagram Dian Ditami, Anjasmara menuntut pemilik akun tersebut untuk melakukan permohonan maaf yang dimuat pada sehalaman Harian Kompas dalam waktu kurang dari 2 x 24 jam. Tak lebih dari sehari, pemilik akun penghina itu mengirimkan pesan langsung yang berisi permohonan maaf dan menyatakan tak memiliki biaya memasang sehalaman permohonan maaf di harian nasional.
Bui untuk Pembully
Alih-alih luluh, melalui live Instagram sehari setalah kejadian, Anjasmara menambah hukuman bagi penghina istrinya dengan memintanya membuat permohonan maaf dalam bentuk video. "Saya mau lihat raut muka kamu," begitu ucap Anjasmara.
Beragam komentar warganet menanggapi ucap demi ucap Anjasmara di siaran langsung Instagram itu, kebanyakan mendukungnya untuk melanjutkan tindakan pada pemidanaan atau permohonan maaf di harian nasional. Warganet dan Anjasmara kompak beralasan agar pengguna media sosial tak sesukanya melakukan perundungan dan penghinaan.
Dari penelitian yang dilakukan We Are Social dan Hootsuite, sebanyak 130 juta masyarakat Indonesia menggunakan media sosial, jumlah itu adalah setengah dari jumlah penduduk Indonesia, jumlah yang tak sedikit. Padahal berdasarkan studi Most Literred Nation in the world 2016, minat baca Indonesia berada pada peringkat 60 dari 61 negara. Lalu kita dapat menerka, kira-kira, apa yang ditulis oleh warga yang tak pernah membaca?
Kasus penghinaan melalui media sosial menimpa orang biasa, artis, hingga presiden. Kemudian lahirlah UU ITE pada 2008 untuk menghukum pelakunya. Meski begitu, pelanggaran, utamanya kasus perundungan tak juga surut, karena kuncinya bukan pada penindakan melainkan mentalitas kebanyakan orang yang tak memiliki kepercayaan diri dan solidaritas.
Mentalitas Setipis Smartphone
Simon Sinek, seorang penulis dan motivator dari Amerika, menyatakan dalam sebuah seminarnya bahwa media sosial menghasilkan dopamin, zat serupa yang menyebabkan ketagihan minuman keras, rokok, dan judi. Dopamin menyebabkan pengguna media sosial ketagihan, mengecek jumlah like setiap lima menit, memposting hal-hal yang disukai bayak orang.
Dopamin media sosial itu membuat setiap orang menunduk, melihat pada smartphone, membuat penggunanya memasang standar hidup sesuai yang ada di media sosial. Standar hidup itu berupa pakaian, gadget, liburan, makanan, dan tubuh yang "ideal".
Hal itulah yang sering memicu tindakan perundungan. "Kok kamu gemuk", "Kok kamu nggak liburan kesana", "Kok pakaianmu murahan", dan lain sebagainya. Setiap orang penempelkan sebanyak mungkin merk di seluruh tubuhnya dari rambut hingga jempol kaki. Dan akhirnya setiap orang semakin sulit memiliki rasa syukur atas apa yang dimiliki. Semua orang berlomba-lomba menjadi ngetren untuk dapat diterima orang lain.
Jika saja standar hidup tak berdasarkan dari apa yang nampak di sekotak layar itu, jika saja setiap orang memiliki rasa syukur atas segala yang berlimpah yang telah dimiliki, maka tak ada lagi pelaku bully. Sekalipun ada, kita bisa menjawab, "Ucapanmu tak pengaruhi hidupku."***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H