Mohon tunggu...
Yohanes Bara
Yohanes Bara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Founder TOBEMORE Learning Center Bekerja di Majalah BASIS dan Majalah UTUSAN

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepotong Kertas Audrey

23 Juli 2018   15:35 Diperbarui: 25 Juli 2018   23:05 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Audrey terdiam penuh atensi, ia terbiasa menjadi pendengar yang baik, tak setitik pun kata-kata Wilfred membuat ia salah tingkah. Meski dalam hatinya ada ketakutan, ia tak lagi menuju gelap, tapi telah bersama gelap itu sendiri.

"Dua tahun lalu aku melihat seorang perempuan yang begitu lembut memimpin bawahannya, tak pernah ia membentak-bentak sepertiku pada anak buahku. Aku anggap kelembutan itu hanya untuk pekerjaannya menjadi lancar. Aku melihat perempuan itu beberapa kali misa pagi di gereja depan kantorku, aku selalu menikmati pemandangan itu dari ruang kerjaku yang masih bertebaran bebotolan. Aku kira ia rajin karena sedang susah, tetapi ia tak henti-hentinya misa pagi.

Suatu pagi aku terkapar dan sakau, sambil memegang bong aku melihatmu di sebarang, ku banting bong itu. Dengan tubuh dan hati yang gontai aku menyeberang dari gelap ke terang. Aku tak peduli kotbah orang suci di mimbar, aku hanya berlutut di sudut paling belakang kekat patung Pieta dan menangis sejadinya, air mata membanjiriku, ia ingin membersihkan segala dosa dan karmaku.

Pada titik itu aku melihatmu, sambil membuat tanda salib dengan air suci, kau memandangku dengan senyum. Jiwa yang hampir kering ini telah tersiram air mata, namun ia bersorak kala senyummu memancar bagai mentari.

Sejak itu aku tak lagi menghisap benda terlarang itu, aku juga tak lagi menghabiskan malam dengan para perempuan. Aku hanya menghabiskan malam ke malam dengan kemerincing botol yang telah kutelan isinya. Aku menderita sebagai jiwa yang gersang, namun lebih menderita kala aku tahu aku gersang. Aku menderita menahan segala nafsu untuk memuaskanku.

Audrey, hidupku memang dari panggung ke panggung, namun dua tahun ini kujalani dengan hening, kuhabiskan waktu dengan memejamkan mata dan tarikan nafas, memunguti cinta Pencipta yang selama ini berserakan ku abaikan. Aku hampir mati Audrey, namun Pencipta mendatangkanmu pada dua detik sebelum aku mati, dan aku tak ingin melewatkan penyelamatan Pencipta yang bisa jadi kali yang terakhir bagiku.

Aku me-lobby atasanmu agar selalu menggunakan Kinara, agar aku dapat melihatmu lebih dekat. Aku selalu meminta kamar di seberang kamarmu, agar aku bisa mengetuk dan mengajakmu makan. Aku merendahkan diri serendah-rendahnya dengan menghampirimu, sebab terbiasa aku dihampiri dan memilih," ungkap Wilfred Kinara yang sudah beberapa waktu meneteskan air pada tangan bertattonya.

"Wilfred, aku bukan ahli jiwa, aku juga tak memiliki banyak cinta untuk menyirami hatimu yang tandus itu. Semua yang kau ceritakan bukanlah aku, ia adalah Pencipta sendiri yang sedang memakaiku. Jika kau datang untuk sembuh, maka bukan aku orangnya. Hanya kau sendiri yang dapat membuat sumber air di hatimu, hanya kau yang dapat menggali sedalam-dalam nya," tanggap Audrey.

Wilfred mengeluarkan selembar kertas kecil dari kantongnya, beserta sebuah pena ia menyodorkannya. "Tulislah alamat rumahmu, aku akan menemui Ayahmu," pinta Wilfred. "Wil, ayahku seorang PNS, ia orang yang tertib dan punya standar moral yang tinggi, aku takut kau ... " kata Audrey dipotong Willfred, "Biar itu menjadi urusanku. Sekalipun aku gagal, biarlah ayahmu mendapatkan sekali saja pengalaman untuk tidak memandang orang dari tampilnya," pinta Wilfred lagi.

Pada selembar kertas itu terputar tangisnya yang tumpah bersama Astu, tanpa sadar ia telah memegang pena meski tak tahu harus menuliskan apa. Ia ragu orang tuanya dapat menerima lelaki bertatto itu, ia ragu Wilfred tidak mengulang salah, ia ragu perubahan Wilfred hanya sementara dan ia menghabiskan sisa hidupnya bersama monster. Tapi, ada setitik keyakinan yang cukup mendorongnya menulis alamat rumah.

Audrey menggeser kertas itu lagi, kedua tangan Wilfred menggenggam tangan Audrey, sesekali ia mengusap air mata yang sedari tadi mengalir. Ekspresi tubuh Wil itu seolah-olah ia sedang meneriakan rasa syukur yang teramat dalam pada semesta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun