Mohon tunggu...
Yoan SabiliAmra
Yoan SabiliAmra Mohon Tunggu... Penulis - Filsafat

Saya hanya ingin menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kematian Marxisme?

1 Desember 2024   08:55 Diperbarui: 1 Desember 2024   08:57 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Yoan Sabili Amra

Secara literatur, teori umum mengenai "kematian Marxisme" telah menyudutkan sebilah pandangan bahwa esensial dan juga relevansi Marxisme telah anjlok secara signifikan dalam konteks sosial, ekonomi, dan juga irisan politik modern. Hal demikian ini juga tentu memiliki alasan utama yang mencakup kegagalan praktis Marxisme dalam penerapan negara (katakanlah, seperti Uni Soviet dan negara-negara blok Timur), timbulnya berbagai teori alternatif seperti postmodernisme dan neo-liberal, serta dampak akan globalisasi yang telah mendestabilisasi struktur ekonomi yang sudah selayaknya menjadi titik pijak utama Marxisme. Para pemikir, katakanlah seperti Daniel Bell dalam The End of Ideology  berkata bahwa Marxisme, beriringan dengan ideologi besar kainnya, telah kehilangan daya erotis nya sebab tantangan moderintas[1]. Sementara itu, Anthony Giddens dalam The Consequensces Of Modernity memfokuskan pandangan bagaimana perubahan secara struktural terhadap masayarakat global telah  melewati arus relevansi ideologi besar termasuk Marxisme. [2]

 

Sebagai sebuah gerakan ideologi yang besar, Marxisme tentu telah menyebar ke berbagai penjuru setiap bagian dunia, dan juga tentunya telah menjadi sebuah kedisiplinan ideologi dalam fokus ilmu dan subjek, dalam hal ini tentu juga sudah berpengaruh terhadap nuansa panorama politik khususnya tatanan bekas Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok yang juga harus dicantumkan sebagai area dampak yang cukup signifikan. Tentu hal ini masih bisa diperbicangkan seberapa benar-benar Marxis, atau lebih tepatnya, seberapa benar gagasan Marx dari salah satu negara-negara tertentu, dan seperti yang sudah menjadi polemik bahwa teori revolusi Marx tidak menunjuk pada salah satu fokus dari berbagai tempat sebagai kandidat yang niscaya untuk revolusi Marxis. Namun demikian, keduanya telah mengkalim bertindak atas dasar gejolak prinsip-prinsip Marxis, dan bagi kalangan cendekiawan kegagalan negara-negara ini menunjukan kegagalan dalam Marxisme itu sendiri, sementara praktik negara-negara yang tercantum itu dan negara-negara lainnya yang mengaku sebagai marxisme tampaknya justru bertentangan dengan banyak dari apa yang ditulis oleh Marx, misalnya katakanlah tentang kebebasan dan masyarakat komunis tanpa kewarganegaraan dan tanpa kelas di masa depan, akan secara mudah untuk bisa mengabaikan koneksi antara Marxisme dalam teori dan praktik komunis. [3]Misalnya, ada sebuah kasus yang harus dibuat hanya untuk menyarankan bahwa Marx dan Marxis berikutnya telah mengabaikan individu, hak-hak individu, pemeriksaan dan kesinabungan konstitusional terhadap susunan kekuasaan, dan juga lembaga dan prosedur demokratis, ini mungkin berasal dari sebagain pandangan yang terlalu optimis tentang sifat manusia dan kegagalanya dalam mematuhi diktum bahwa "kekuasaan merusak; kekuasaan absolut benar-benar korup", sehingga kelalaian dalam teori ini akan menunjukkan alasan untuk kecendrungan totaliter yang ditampilkan dalam praktik komunis[4]. Bagi kaum Marxis "kesatuan teori dan praktik" adalah prinsip iman, sehingga praktik negara-negara komunis yang diakui telah banyak dilakukan. Sejarah intelektual Marxisme telah dipenuhi dengan sifat tindakan refleksif diri, sebab Marxis telah berupaya untuk memahami sesuatu dari kondisi historis kemungkinan doktrin mereka sendiri.[5] 

 

Lenin memiliki kritik khusus dalam gerakan Marxis, seperti Menshevik, yang telah melihatnya dalam mengabaikan hukun sejarah ("stagisme"), dan Rosa Luxemburg, yang telah mengkritiknya karena menempatkan partai di atas rakyat, distorsi dan juga kebiasaan lain dalam kengerian komunisme dalam praktiknya telah membuat Marxis lainnya hanya mengejar "Marxis otentik" yang hanya ingin memulihkan "Marxisme sejati" dengan mengikis Marxisme lalu dikuliti habis-habisan, sebagai gambaran misalnya Cyril Smith, seorang Marxis yang telah berkomitmen menulis Marx dalam Marx at the Millennium, bahwa dia ingin menepatkan apa gagasan Marx yang sebetulnya, berbeda dengan pemaknaan atau interpretasi yang cukup merendahkan dari tatanan Marxisme berikutnya. Diragukan bahwa sebuah proyek untuk menguak Marxisme otentik tunggal dapat dicapai secara definitif, sehingga sejarah Marxisme telah memunculkan pluralitas Marxisme yang tidak dapat direduksi, semuanya telah terikat dengan tulisan-tulisan dan gagasan Marx, tetapi tidak ada satu pun interpretasi tunggal yang menjadi satu-satunya secara sentral dalam Marxisme sejati, secara mungkin bahwa lebih dari cabang pemikiran lainnya, kecuali mungkin konservaatisme, Marxisme dalam praktiknya adalah sebuah komponen utama dari teori Marxis, dan setiap ideologi yang hidup harus seraya berubah sendiri sebagai bentuk respons terhadap perubahan kondisi dan pelajaran praktik.

 

Sekitar pada tahun 1989, Tembok Berlin dilanggar, dan menjadi berakhrinya rezim Marxis di jerman Timur, sehingga pada tahun 1991, rezim Marxis di Uni Soviet runtuh, kekaisaran komunisnya di Eropa sudah tumbang, dan pada tahun 1992, Francis Fukuyama telah menerbitkan sebuah buku, The End of History and the Last Man, diman Fukuyama berpendapat bahwa Marxismee telah dikalahkan dan bahwa kapitalisme telah unggul atas musuh ideologisnya. Fukuyama menggambarkan doktrin Marxis sebagai "didiskreditkan" dan "benar-benar kelelahan"[6]. Pada tahun 1999, Andrew Gamble, yang tidak seutuhnya non-bersimpati terhadap Marxisme, akan tetapi Fukuyama sendiri membuat sebuah bab dalam bukunya yang berkata bahwa "Mengapa Repot-repot dengan Marxisme?", dimana ia mencantumkan "Marxisme secara luas dianggap berada dalam krisi, dan banyakyang percaya krisis itu sudah final". Marxisme dikatakan telah berjalan lama, dan sekarang energinya dihabiskan dan kegunaannya sudah lama berlalu, sudah waktunya untuk mengembalikan Marx ke abad kesembilan belas dimana dia berada. Dengan kata lain, bagi banyak kalangan orang bahwa kehancuran terakhir Uni Soviet menandai juga kematian Marxisme. Tesis kematian Marxisme menunjukkan bahwa kisah Marxisme telah berakhir dan bahwa keraguan yang tersisa teentang kesia-siaan dan kepalsuan Marxisme sekarang telah dihilangkan, dan juga teori dan praktik Marx telah didiskreditkan.[7]

 

Selain itu, Marx telah wafat lebih dari 100 tahun yang lampau, dan dia menulis Manifesto Komunis lebih dari 150 tahun yang lalu, dunia Marx cukup berbeda dari dunia saat ini, sehingga tidak ada sedikit pun harapan minat yang cukup besar pada Marxisme didunia dewasa ini. Manifesto Komonuid harus ditinjau apa adanya, hanya sebuah dokumen sejarah, dan kebenaran apapun yang secara pasti ada dalam gagasam Marx tidak lagi berlaku didunia yang sangat melesat berubah saat ini. Para pendukung akan argumen kematian Marxisme telah mengabaikan beberapa poin, misalnya pemerintahan Marxis terus ada, khususnya pada saat esensial dari Cina dan Kuba, dan juga partai-partai Marxis dan organisasi yang dipengaruhi Marxis terus aktif di penjuru dunia. Selanjutnya, di banyak negara bekas komunis, ada nostalgia yang berkembang untuk hari-hari pemerintahan komunis ketika ada nilai stabilitas, keamanan, pekerjaan penuh, kesejahteraan dan juga otoritas pusat yang cukup kental. Hal ini tentu akan memanifestasikan dirinya dalam kemakmuran dalam dukungan untuk partai-partai komunis lama seperti partai Sosialisme Demokratischen Sozialismus (PDS), penerus Partai Komunis Jerman Timur (SED) yang memerintah di Republik Demokratik Jerman. Selanjutnya, Marxisme adalah tradisi hidup yang telah terlampau berubah dan menyebar ke arah yang berbeda, sehingga meskipun Marxisme abad ke-19 dapat bertanggal, sama seperti liberalisme abad ke-19, Marxisme abad ke -21 tidak begitu mudah dianggap tidak relevan. Kemudian pengaruh gagasan Marxis dalam berbagai bidang juga tidak boleh diremehkan, seperti geografi. antropologi, sastra, seni, kriminologi, dan ekologi, hanyalah beberapa bidang yang kurang jelas dimana Marxisme telah membuat, dan terus membuat, dampak. Dengan kata lain, baik secara politik maupun ideologis Marxisme belum menghembuskan nafas terakhirnya. Akhirnya, ada berbagai problem mendiskreditkan Marxisme pleh praktik rezim komunis, artinya mereka yang telah menyuarakan kematian Marxisme berspekulasi bahwa kegagalan dan kejatuhan Uni Sovier telah menunjukkan akan kepalsuan Marxisme. Sekurang-kurangnya bahwa para pendukung pandangan ini perlu menunjukkan bahwa teori Marxis memerlukan praktik yang tercantum di Uni Soviet, dan juga bahwa kegagalan dan juga keruntuhan akhir Uni Soviet disebabkan oleh gejolak Marxisme-nya dan bukan disebabkan oleh faktor-faktor lain.

 

Akan tetapi adil untuk mengatakan bahwa Marxis kontemporer akan menghadapi tantangan yang lebih besar daripada yang dihadapi oleh para pendahulu mereka. Untuk dewasa ini, mereka akan dihadang dengan membeka atau menerangkan perbuatan yang dilakukan atas nama Marxisme: Teror Besar dari pembersihan Stalin, kebrutalan Revolusi Kebudayaan Mao, dan Ladang Pembunuhan Pol Pot. Sekarang tidak adanya revolusi Marxis yang sukses dan berkelanjutan dan kehadiran kapitalisme yang berkelanjutan harus dijelaskan. Jadi pengumuman kematian Marxisme mungkin terlalu dini. Sejarah mungkin tidak membenarkan Marx, tetapi juga belum menyangkal dengan jelas. Poin yang dibuat di sini bukanlah bahwa Marx benar dan bahwa Marxisme benar, tetapi bahwa Marxisme tetap signifikan secara politik dan sebagai sumber ide. Marxisme, seperti yang telah dicatat, memiliki tantangan-tantangan tersendiri yang harus dihadapi, tetapi juga masih merupakan salah satu tantangan besar bagi kapitalisme dan ide-ide liberal dan akan terus melakukannya untuk beberapa waktu yang akan datang.

 

Terakhir, dalam buku Terry Eagleton yaitu Why Marx Was Right menjelaskan bahwa Marxisme telah usai akan menjadi panorama ditelinga kaum Marxis dimana-mana. Mereka dapat berkemas dalam pawai dan piket mereka, sehingga kembali ke dalam pangkuan keluarha mereka yang berduka dan menikmati malam dirumah alih-alih pertemuan komite yang membosankan lainnya. Hal ini menunjukan bahwa dalam artian Marxis tidak menginginkan apa pun selain berhenti menjadi Marxis, dalam hal ini pun demikian, didalam buku itu juga dijelaskan bahwa "menjadi seorang Marxis tidak seperti menjadi seorang Buddhis atau miliarder, Ini lebih seperti menjadi petugas medis. Petugas medis adalah makhluk sesat dan menggagalkan diri sendiri yang melakukan pekerjaan sendiri dengan menyembuhkan pasien yang kemudian tidak lagi membutuhkannya. Tugas radikal politik, demikian pula, adalah untuk mencapai titik di mana mereka tidak lagi diperlukan karena tujuan mereka akan tercapai. Mereka kemudian akan bebas untuk membungkuk, membakar poster Guevara mereka, mengambil cello yang telah lama diabaikan itu lagi dan berbicara tentang sesuatu yang lebih menarik daripada mode produksi Asia".[8]

 

Dalam hal ini, menjelaskan bahwa Marxisme dimaksudkan untuk menjadi urusan sementara yang begitu ciamik dan ketat, itulah sebabnya siapa oun yang menginvestasikan seluruh identitas mereka didalamnya tentu akan melewatkan pijakan intinya. Bahwa ada kehidupan setelah Marxisme adalah inti dari Marxisme, sekarang, hanya ada satu problem dengan satu visi yang memikat ini, yaitu bahwa Marxisme adalah kritik terhadap kapitalisme ---kritik yang paling mencari, ketat, dan komprehensif dari jenisnya yang pernah diluncurkan. Ini juga satu-satunya kritik yang telah mengubah sektor-sektor besar di dunia. Maka, selama kapitalisme masih dalam bisnis, Marxisme juga harus demikian.

 

 

Daftar Pustaka

 

Anthony Giddens. The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press, (1990).

 

Daniel Bell. The End of Ideology: On the Exhaustion of Political Ideas in the Fifties. Harvard University Press, (1962)

 

David Walker, Daniel Gray. Historical Dictionary of Marxism. The Scarecrow Press, Inc. Lanham. (2007)

 

Francis Fukuyama. The End Of History And The Last Man. T HE FREE PRESS A Division of Macmillan, Inc. NEW YORK (1992)

 

Terry Eagleton. The Illusions of Postmodernism. Blackwell Publishing Ltd, (1996)

 

Terry Eagleton. Why Marx Was Right. Yale University PRESS London, (2018)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun