(3) Adanya kejahatan
Plantinga menyebutkan bahwa ini sebagai set A; klaim dari Mackie adalah bahwa A merupakan set yang inkonsisten. Tetapi bagaimana satu dari set ini bisa di klaim sebagai set yang inkonsisten atau kontradiktif, akan mengikuti definisi kita mengenai kontradiksi eksplisit, kita bisa saja berkata bahwa satu sset proposisi adalah kontradiktif secara eksplisit jika salah satu anggota dari set itu merupakan penolakan atau negasi terhadap anggota lainnya. Tetapi tentu saja set yang kita sedang bahas ini merupakan set yang tidak kontradiktif secara eksplisit; apa yang merupakan penolakan terhadap (1), (2) dan (3) secara berurutan adalah
(1') Tuhan tidak mahakuasa  (atau adalah hal yang salah jika dikatakan bahwa Tuhan adalah mahakuasa)
(2') Tuhan tidak sepenuhnya baik
dan
 (3') Tidak ada kejahatan.[27]
tidak satu pun dari proposisi ini yang telah tercantum di dalam set A. Tentu saja banyak set yang secara jelas tampak kontradiktif didalam hal penting, tetapi bukan kontradiktif secara eksplisit. Sebagai contoh adalah set B:
(4) Jika semua manusia adalah fana, maka Socrates adalah fana
(5) Semua manusia adalah fana
(6) Socrates tidak fana
Menurut Plantinga, set ini tidak kontradiktif secara eksplsit, tetapi jelas sejumlah makna yang cukup signifikan dari istilah ini adalah bahwa dengan mempergunakan secara fungsional aturan-aturan lohika umum, hukum logika proposisional dan teori mengenai kuantifikasi yang telah ditemukan didalam semua teks pengantar subjek ini, setidaknya kita bisa mendeduksi suatu kontradiksi secara eksplisit dari set B ini. Atau dengan kata lain, kita bisa mempergunakan hulum logika untuk sekedar mendeduksi suatu proposisi dari set tersebut, uraian proposisi yang ketika akan di tambahkan, akan menghasilkan satu set baru yang inkonsistensi secara eksplisit. Karena dengan mempergunakan hukum modus ponens (jika p, maka q; p, maka q) kita mampu mendeduksi.