Mohon tunggu...
Cerpen

Aku dan Anak Hilang Itu

21 Mei 2015   14:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:45 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kepalaku masih terngiang cerita Ayahku, tentang seorang anak hilang yang memiliki orangtua kaya, namun tidak tahu bersyukur…kemudian meminta warisan dari ayahnya yang masih hidup, menghamburkannya, jatuh miskin dan memutuskan untuk pulang… Ayahku sering menceritakan kisah itu. Mula-mula aku merasa iba pada anak itu, karena jatuh miskin dan harus makan makanan babi. Namun seiring dengan pertambahan usia, kita melihat segala sesuatu dengan kacamata berbeda. Semakin besar aku berpikir bahwa anak itu menanggung akibat dari perbuatannya. Kemudian aku mulai iba dengan sang ayah yang senantiasa menunggui anaknya dan merasa senang ketika anaknya pulang. Lama kelamaan aku merasa bahwa cara berpikirku sama seperti si anak sulung… tidak adil jika si anak hilang diterima begitu saja… Namun aku juga berpikir, kalau saja si anak hilang itu cukup pintar, dia mungkin malah akan jadi orang yang sukses. Kisah itu tak hanya sering diceritakan oleh ayahku, tapi sering juga dibawakan di acara gereja dengan berbagai versi. Intinya, anak ini pulang dan ayahnya memaafkannya, bahkan mengadakan pesta untuknya. Beberapa hal dalam hidup ini memang terlihat tidak adil, bukan? Seringkali kita bekerja keras namun orang lain yang menerima hasilnya… atau seringkali kita mengasihi begitu rupa, namun kemudian ditelantarkan begitu saja… Ketika ibu meninggal, duniaku hancur. Aku sangat dekat dengan Ibu. Aku tidak terima ketika Ayahku menikah lagi, dan bak kisah dalam dongeng remaja, aku merasa ibu tiriku tidak terlalu menyukaiku. Terbersit dalam pikiranku untuk melakukan apa yang dilakukan anak hilang itu. Meminta bagian warisanku dan pergi ke luar kota, atau luar negeri sekalian. Ketika ayahku tidak datang dalam acara wisuda sma ku karena mengantar istrinya ke dokter kandungan, aku membulatkan tekadku, aku akan pergi dari rumah, toh aku sudah besar, sudah punya KTP sendiri. Aku tak masalah jika harus melupakan kuliah atau melupakan impian masa kecilku. Ayahku kaya  tapi aku tak rela berbagi dengan wanita asing dan calon anaknya yang walau berat hati harus kuakui sebagai adikku. Aku menyusun rencana, dan hura-hura serta menghabiskan uang bersama teman-teman tidak ada dalam rencanaku. Aku harus menjadi sukses, tidak seperti anak hilang bodoh yang diceritakan ayahku sejak aku kecil. Jadi aku mendatangi ayahku, “aku meminta warisanku, Pa” kataku. Ayahku kaget sekali, seolah merasa menyesal karena menceritakan tentang anak hilang yang mungkin menginspirasiku. Belum sempat ayahku menjawab, aku sudah menyahut, “jangan kuatir, Pa. Aku tidak sebodoh anak hilang yang sering Papa ceritakan.” “Masalahnya bukan itu Lin …” “Pa, aku sudah 18 tahun… sudah dewasa. Aku sudah bisa mengurus hidupku” “Bagaimana dengan kuliahmu? Bukankah kita sudah mendaftar untukmu” “Itu urusanku Pa… ini hidupku. Berikan saja jatahku dan aku berjanji akan menggunakan uang dari papa sebaik mungkin” “Lin…apa kamu tidak mengerti, masalahnya bukan uang. Papa bisa memberi semua yang kamu perlukan.” “Lalu apa Pa? Begini Pa, aku tidak mau berdebat. Berikan uang warisanku, atau aku akan pergi tanpa uang itu” “Tapi bagaimana dengan kita? Bukankah kita akan…” “Pa… tidak ada lagi kita… aku bukan lagi bagian dari kita-nya papa” Kisah selanjutnya kurang lebih seperti apa yang dialami anak yang hilang. Ayahku menandatangani selembar cek dengan berat hati, menyerahkannya padaku dengan mata berlinang” Oya, aku lupa bilang, sama seperti si anak hilang, aku pun memiliki kakak. Karena kakakku laki-laki, dia tidak terlalu peduli dengan keadaan di rumah dan ibu tiri kami. Ketika dia tahu aku akan pergi, dia menatapku sinis dan berkata, “mencoba menjadi bagian dari suatu drama, ya?” Aku tidak mempedulikannya, toh ini hidupku, bukan hidupnya. Sejak kecil, aku adalah anak yang jenius. Aku selalu mendapat ranking di sekolah dan aku lulus dengan nilai terbaik, hampir sempurna… tanpa curang. Yah, kalau dipikir-pikir, sebenarnya Ayahku mendidik anak-anaknya dengan cukup baik. Kami tidak terbiasa berbohong atau melakukan tindakan lain yang melanggar hukum Aku mengemasi barang-barangku, dan pergi… meninggalkan rumah dengan mobil kecilku. Meninggalkan ayahku yang hancur hatinya dan ibu tiriku yang terlihat senang. Sebenarnya, tanpa sepengetahuan ayah aku mengusahakan beasiswa di luar kota dan aku berhasil mendapatkannya. Sebenarnya aku bisa saja beralasan kuliah di luar kota sehingga tidak perlu berada di rumah… dan bukannya menjadi anak hilang seperti sekarang. Tapi sebagian besar diriku ingin membuktikan, bahwa aku mampu menjadi anak hilang yang sukses. Sehingga kalaupun aku pulang, aku akan pulang dengan menengadahkan wajahku, mengembalikan uang warisan papaku dan tidak membutuhkan pengampunan… Aku kemudian mengambil beasiswa itu, membeli tempat tinggal sederhana, dan mencari kerja shift malam untuk membiayai hidupku. Bagaimanapun uang ayahku akan habis kalau aku tidak bekerja. Tiga tahun berlalu, dan aku lulus dengan gelar Cum Laude. Rencana tahap pertamaku berhasil, aku bisa melakukan semuanya sendiri. Rencanaku selanjutnya adalah bekerja dan mencoba melanjutkan kuliahku dan menjadi pengacara handal, cita-citaku dari dulu. Selama tiga tahun aku selalu mendapatkan surat dari ayahku. Entah darimana ayahku mengetahui tempat tinggalku. Tapi,… di jaman modern seperti sekarang, apapun bisa dilakukan, bukan? Satelit, internet, sosial media… Walau ayahku seorang yang tahu teknologi surat elektronik, ia menuliskan setiap surat untukku dengan tulisan tangannya. Aku bisa mengetahuinya tanpa perlu membukanya. Aku mendapat surat dari ayahku setiap minggu selama tiga tahun, dan aku menaruhnya di dalam sebuah dus. Suatu hari di tahun kelima tiba-tiba tidak ada lagi surat. Walau aku tidak pernah membuka surat-surat itu, aku terbiasa menerima surat ayahku setiap hari Senin atau Selasa. Seminggu, dua minggu, sebulan bahkan hingga tiga bulan aku menunggu, tak ada lagi surat. Aku sebenarnya lega karena surat-surat itu tidak muncul lagi… karena aku tersiksa setiap kali aku menerimanya. Aku buka surat ayah yang terakhir dan membacanya, “Anakku, Ini surat terakhir dari Papa. Papa tahu kau seorang gadis muda yang hebat dan Papa bangga sekali padamu. Seperti di surat-surat Papa sebelumnya, Papa ingin mengucapkan selamat padamu atas kelulusanmu dan nilai-nilaimu yang cemerlang. Papa berhenti menulis bukan karena Papa marah padamu, bukan juga karena Papa akan melupakanmu. Papa berhenti menulis juga bukan karena Papa ingin memutuskan hubungan denganmu. Sampai kapanpun kamu adalah anak papa. Papa ingat kamu pernah bertanya pada papa. Jika saja anak hilang itu tidak pulang, apa yang akan dilakukan ayahnya Dulu papa jawab bahwa jaman itu belum modern, orang belum tahu bagaimana mencari anak yang hilang. Ada satu hal yang papa lupa katakan padamu, Nak. Alasan ayah anak yang hilang menerima anaknya adalah karena ia begitu menyayangi anaknya, dengan kasih tak bersyarat. Papa ingin kamu tahu, bahwa Papa sangat mengasihimu dengan kasih seperti itu. Apapun yang terjadi, Papa tetap mengasihimu… tanpa syarat, tanpa kondisi apapun Ketika kamu siap untuk pulang, beritahu Papa dan Papa akan segera menjemputmu. Papa akan langsung membeli tiket dan menjemputmu. Tapi, papa tidak dapat memaksamu. Seperti katamu, kau sudah dewasa, dan papa menghargai setiap keputusanmu. Pulanglah Madeline, papa begitu merindukanmu…” Aku tersenyum membaca surat itu, setidaknya ayahku baik-baik saja. Tapi aku tetap tidak mau merespon. Aku tidak akan membalas surat itu, apa artinya jika sekarang aku pulang. Aku harus membuktikan bahwa aku bisa sukses. Aku bekerja di sebuah perusahaan asing ketika aku mengenal cinta. Aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya, dan jatuh cinta pada pria ini membuatku hampir gila. Kami bertemu ketika ia menolongku saat aku terperosok ke dalam lubang di tepi jalan. Dia membantuku naik dan mengambili barang-barangku. Dari tampangnya siapapun dapat melihat bahwa dia bukan tipe menantu idaman orangtua manapun. Walau dia cukup tampan, rambut gondrong, tato di sekujur tubuh, cara berpakaian dan rokok yang selalu menempel di bibirnya akan membuat ibu manapun berusaha setengah mati untuk memisahkan anak gadisnya jika sampai jatuh ke pelukannya. Tapi aku mencintainya mati-matian. Aku tidak tahu apakah aku jatuh cinta, sekedar ingin bertualang, atau kesepian. Tatapan pria itu seolah berkata bahwa dia menginginkanku, dan aku menyukainya. Tak sampai tiga bulan ketika, entah apa yang merasukiku, aku memintanya tinggal denganku. Tim seorang yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Tapi bagiku saat itu tidak masalah. Aku memiliki tabungan dan gajiku cukup besar. Kami tinggal satu rumah, tanpa ikatan. Lagipula menikah tidak ada dalam rencana jangka pendek maupun menengahku. Ketika Tim melihatku kelelahan bekerja, dia memberiku obat. Sejak itulah hidupku tak lagi sesuai rencana. Aku mulai kecanduan obat-obatan. Tubuhku semakin lama semakin kurus, dan walaupun aku memiliki Tim di sisiku aku begitu kesepian. Ketika uang gajiku habis untuk membeli obat bagiku dan Tim, aku mulai menggunakan uang warisan ayahku. Hidupku menjadi semakin buruk setiap harinya. Selain obat, aku pun mulai minum. Aku, Madeline yang kupikir hebat telah berubah menjadi seorang pecandu alkohol dan obat-obatan. Semua menjadi semakin buruk ketika kudapati diriku hamil. Tim tidak suka kabar itu dan dia meninggalkanku. Saat itulah aku ingat surat ayahku. Sudah lima tahun berlalu sejak surat terakhir Papa kuterima. Aku merangkak ke kolong tempat tidurku dan membacanya lagi. Semua berbeda sekarang. Keadaanku lebih buruk dari si anak hilang. Rencanaku berantakan…. “Ketika kamu siap untuk pulang, beritahu Papa… dan Papa akan menjemputmu” Bagaimana mungkin aku meminta Papa menjemputku… aku terlalu malu untuk pulang ke rumah… Tubuhku begitu kurus, aku hamil dan tanpa uang… Beberapa kali aku ragu hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengangkat telepon. Aku berharap mudah-mudahan papa masih hidup dan mau bicara denganku. “Halo…” terdengar suara berat papa di seberang sana. Aku tak kuasa menjawab selain menangis,… dan sepertinya papa mendengarku. “Madeline, apa itu kau?” Aku masih belum menjawab dan berusaha menahan tangisku. “Apa kau sudah siap untuk pulang? Papa jemput ya, sekarang juga Papa berangkat.” Pertahananku jebol, aku menangis sejadi-jadinya, “Pa… maafkan aku” “Kau mau pulang, Lin?” Ada kekosongan beberapa saat lamanya sebelum ku jawab “iya Pa” “Tunggu sebentar ya. Bereskan barang-barangmu, sebentar papa akan jemput kamu” lalu ayahku menutup teleponnya. Sesaat aku termangu, aku sudah pindah satu kali sejak ayahku terakhir menulis surat. Haruskah aku menelepon lagi untuk memberitahu alamatku pada ayahku. Tapi aku memutuskan untuk tidak memberitahu ayahku. Lagipula tiba-tiba saja keraguan merasukiku “bagaimana kalau Papa tidak dapat menerima keberadaanku dan calon bayiku… dan kecanduanku” Besok paginya aku terbangun oleh ketukan pintu rumahku. Ketika ku buka, aku melihat papaku, beberapa tahun lebih tua dari yang terakhir kulihat. “Papa…darimana Papa tahu…” kataku seperti melihat hantu. Belum habis aku bicara Ayahku memelukku, “Papa melacak teleponmu. Syukurlah papa menemukanmu” “Papa, aku…” “Kau begitu kurus, tapi tak apa, nanti di rumah kau akan makan enak.” “Aku hamil pa… dan aku… aku…” Aku tak dapat menghabiskan kalimatku karena tiba-tiba saja dadaku sesak dan aku menangis tersedu-sedu. “Ah… papa akan punya cucu” katanya sambil menepuk punggungku. “Tapi pa, aku tidak menikah… dan…dan..” “Kau baca surat Papa, Lin?” “Ya pa” jawabku sesenggukan. “Saat papa menulis kalau papa mengasihimu tanpa syarat… papa bersungguh-sungguh” “Papa tetap sayang padaku?’ “Tentu saja, sayang. Ayo kita pulang. Mana barang-barangmu, papa bawakan. Kita akan pulang dan berusaha memperbaiki semuanya” Dalam perjalanan pulang, aku kembali teringat kisah si anak hilang… tak heran dalam kisah itu tak disebutkan reaksinya ketika ayahnya mengadakan pesta untuknya… Tapi di akhir kisahku ini aku akan mengatakan bagaimana rasanya. Rasanya adalah seperti baru terlepas dari beban yang begitu berat… seperti terbangun dari mimpi terburuk, seperti dibebaskan dari penjara seumur hidup atau hukuman mati… dan seorang yang baru dibebaskan dari hukuman mati, tidak akan mencoba melakukan tindak kriminal lagi…iya kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun