Saya pernah tersinggung dalam masa pemilihan presiden tempo hari kepada seorang sahabat yang memberi saya label Jokowi lovers. Label itu dia sematkan gara-gara komentar-komentar saya memperlihatkan preferensi ke Joko Widodo ketimbang Prabowo Subianto. Saya tersinggung karena buat saya label adalah agresi, sementara yang saya lakukan adalah menyatakan pendapat sebagai pemilih (voter). Sepertinya, sahabat saya memang mengalami kesulitan membedakan aantara pemilih (voter) dan pendukung (supporter).
Sekarang, pemilihan presiden sudah dua bulan lebih berlalu, dan kian hari kian jelas bahwa gejala ketidakmampuan warga terdidik untuk membedakan antara voter dan supporter ternyata memang terstruktur, sistematis dan masif. Secara sukarela, banyak warga terdidik yang menikmati status sebagai supporter dan tak keberatan menukar persahabatan dengan status itu. Buat orang-orang seperti itu, voter yang berbeda pilihan harus diposisikan dengan timbangan "Kami atau Mereka". Orang-orang seperti itu pasti kesulitan membayangkan voter yang berbeda pilihan sejatinya adalah mitra sinergis dalam upaya mencapai sebuah keputusan milik bersama.
Ketika voter yang berbeda pilihan mengritik, misalnya, tokoh yang dipilihnya, maka reaksi otomatis jenis supporter yang digambarkan di atas adalah , "tuh, kan, aku bilang juga apa?" Padahal, bagi seorang voter, menggunakan hak pilih sebagai warga negara tidak sama dengan memberi tokoh pilihannya blank check. Selain itu, tokoh politik yang sudah terpilih pasti akan menghadapi pilihan-pilihan politik saat sampai pada tahap menjalankan mandatnya. Dan dalam hal ini, bagi seorang voter yang peduli, adalah normal belaka untuk melakukan pengawalan agar pilihan-pilihan politik yang diambil sang tokoh tetap pada garis yang benar. Sesederhana itu.
Sepertinya energi bangsa ini masih akan terkuras banyak untuk perpanjangan permusuhan. Ibarat perang sudah lama berlalu, tapi begitu banyak serdadu relawan yang berkeliaran mengenakan baju perangnya, tidak mampu dan tidak tahu bagaimana cara menanggalkan baju perang itu. Dan bagi para politisi lancung yang tidak kapabel, perpanjangan permusuhan ini tak ubahnya logistik gratis yang akan membuat mereka bisa berleha-leha tanpa susah payah menjalankan tanggungjawab riil mereka sebagai politisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H