Mohon tunggu...
Yanto Musthofa
Yanto Musthofa Mohon Tunggu... lainnya -

Musafir dalam perjalanan pulang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Minat dan Daya Baca Orang Indonesia Rendah?

6 Februari 2015   12:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:44 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[DISCLAIMER: Pertanyaan pada judul di atas adalah sebuah pertanyaan tentang masalah besar bangsa ini. Untuk menjawabnya dibutuhkan riset dan kajian akademis yang mendalam. Maka pertama-tama saya harus memaklumkan bahwa saya tidak memiliki kapasitas untuk itu. Namun, pertanyaan itu saya gunakan sebagai judul untuk mengajak pembaca yang memiliki kegelisahan yang sama untuk berbagi gagasan dan bertukar pikiran.] Meskipun anak-anak usia dini Indonesia berhasil digenjot menjadi anak-anak yang tercepat di dunia dalam urusan bisa baca-tulis-hitung, tapi minat baca buku, koran atau majalah orang Indonesia bisa dibilang tetap berada di level dasar jurang. Di negeri berpenduduk 250 juta jiwa ini, sebuah penerbit buku sudah berani berkoar-koar tentang “best-seller” untuk buku yang hanya laku 10 ribu eksemplar saja. Padahal, di sono bandingannya, satu juta copy itu masih terhitung biasa saja. Saya tidak tahu apakah di Indonesia ada koran yang bertiras riil satu juta. Di Jepang yang penduduknya hanya 127-an juta, satu koran, Yomiuri Shimbun dibeli dan dibaca (bukan hanya dibaca berjamaah) oleh 14 juta orang. Di bawahnya masih ada Asahi dan Mainichi yang bertiras 11 dan 10 jutaan per hari. Nah, sebelum koran-koran Indonesia berhasil mencapai tiras satu juta, atau buku-buku “best-seller” terjual satu juta copy, masyarakat Indonesia malah keburu kenal dengan “media sosial” yang serba mudah dan instan. Akibatnya, dalam konteks tingkat minat dan daya baca, kegandrungan pada teknologi informasi yang “prematur” itu tak membawa banyak manfaat. Bahasa alay dan perusakan bahasa tumbuh semakin perkasa, yang tak akan pernah tertandingi oleh tangan mungil Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang semakin kesepian. Makalah, tugas akhir, skripsi, tesis, sampai disertasi memang tidak lagi menjadi momok para pelajar dan mahasiswa, bukan karena kemampuan berbahasa yang tinggi, tapi karena bisnis joki serta industri plagiarisme sudah siap menyambut dengan penuh sukacita. Bahasa adalah representasi kemampuan berpikir logis. Maka, ketidakberdayaan membuat karya tulis, yang berhubungan sangat erat dengan rendahnya daya baca, sejatinya bukan semata-mata problem kemalasan. Ada tahapan-tahapan perkembangan elementer di usia dini yang kosong tak terisi. Salah satunya adalah kekosongan pada seputar fase peranjakan dari kemampuan berpikir konkret ke abstrak. Dengan kata lain, kemampuan berpikir abstrak tidak memiliki pijakan atau pondasi berpikir konkret yang kokoh. Anak-anak diajak belajar matematika sejak dini dengan melongkapi tahapan konkret, langsung ke kemahiran prosedural (procedural fluency) yang abstrak. Anak-anak diajak belajar keaksaraan langsung ke huruf dan suku kata tak bermakna, mengabaikan proses kemunculan keaksaraan internal-personal yang alamiah dan menggairahkan, juga mengabaikan proses kemampuan klasifikasi bentuk-warna-ukuran. Manifestasi kekosongan tahap konkret ini tergambar sangat berlimpah di jalan raya. Orang berlomba-lomba cepat sempai di tempat kerja (mungkin karena di sekolah terbiasa dipacu menjadi ranking-1 dan juara), tapi cara yang ditempuh justru menghambat dirinya, dengan mengambil alih jalur orang lain. Padahal, dengan logika berpikir yang sangat sederhana, perilaku itu jelas-jelas menimbulkan keruwetan lalu-lintas di suatu tempat yang pasti menghalangi dirinya sendiri. Orang perlu melihat palang pintu konkret untuk memahami bahwa kendaraannya tidak boleh masuk jalur busway, karena rambu forbidden saja adalah tanda abstrak. Yang lebih parah lagi, orang perlu ditangkap KPK untuk menyadari bahwa korupsi itu berdosa. Marginalisasi pembangunan kemampuan berpikir konkret semakin melembaga dalam dunia pendidikan karena terdorong oleh perburuan label prestasi artifisial dalam bentuk angka-angka. Sehingga, sekolah-sekolah semakin jauh bergeser dari tempat pembelajaran kehidupan, menjadi tempat latihan mengerjakan soal-soal ujian (test taking). Peserta ujian atau test taker terbaik akan terjamin masuk sekolah lanjutan terbaik, sampai ke perguruan tinggi terbaik. Kelak, lulusan perguruan tinggi terbaik akan terjamin menjadi pekerja terbaik. Begitulah logika yang telah menguasai dunia pendidikan dan telah mengakar kuat di alam bawah sadar orangtua, walaupun kian terang benderang bahwa mayoritas output persekolahan adalah limbah pendidikan yang berdesak-desakan berebut lowongan tempat kerja. Kesuksesan hidup diburu sepanjang rentang usia sekolah melalui saringan-saringan penyeragaman yang didefinisikan dengan angka-angka rapor dan ijazah. Saringan-saringan sempit itu sekaligus memilah anak-anak ke dalam kasta-kasta nasib masa depan berdasarkan bidang-bidang yang diyakini sebagai hirarkhi keunggulan. Kemampuan berbahasa, yang sejatinya memiliki ikatan yang sangat erat dengan kemampuan matematika dan sains, diterima sebagai bumbu pelengkap. Jurusan Bahasa Indonesia atau Jurusan Sosial diterima sebagai kantong buangan limbah penyaringan “anak-anak cerdas” di bidang eksakta. Lalu, kenapa pula mengharapkan tumbuhnya minat dan daya baca? Saya tidak akan pernah berhenti berharap otoritas pendidikan di negeri ini segera menemukan jalan yang benar untuk membenahi kekeliruan itu. Sekali lagi, saya bukan seorang akademisi, apalagi ahli pendidikan. Saya hanya orangtua biasa yang gelisah mengamati dunia persekolahan. Pun, tulisan ini tidak akan memberikan jawaban memuaskan untuk pertanyaan pada judul di atas. Namun, tak ada salahnya saya berbagi pengalaman dalam belajar mencerna kegelisahan itu. Foto-foto yang diunggah di laman Komunitas Metode Sentra Indonesia ini memperlihatkan hasil jurnal anak-anak kelompok TK-B Sekolah Batutis Al-Ilmi, Pekayon, Bekasi. Jurnal adalah kegiatan dua kali sehari, yakni pagi setibanya anak di sekolah dan siang sebelum anak-anak pulang ke rumah. Dalam kegiatan itu guru menyediakan kertas kosong dan alat tulis (crayon, pensil warna, pensil). Di Jurnal Pagi anak-anak menuangkan isi perasaan dan pikiran sebagai bagian dari proses transisi, dari atmosfer pembelajaran rumah ke atmosfer pembelajaran sekolah. Di Jurnal Siang, anak-anak menuangkan pengalaman belajarnya di hari itu. Jurnal bukan program khusus pembelajaran keaksaraan, tapi sudah bertahun-tahun Sekolah Batutis Al-Ilmi membuktikan kegiatan itu merupakan instrumen yang, antara lain, membawa efek sangat besar pada pembangunan kemampuan keaksaraan anak. [caption id="attachment_209" align="aligncenter" width="300" caption="KEGIATAN JURNAL PAGI"][/caption] Di sekolah-sekolah dengan Metode Sentra seperti Batutis Al-Ilmi, pembelajaran keaksaraan bukanlah proses pencangkokan (installment) keterampilan baca-tulis yang terpenggal dari segenap aspek perkembangan lain pada anak. Kemampuan keaksaraan anak dipandang dan diperlakukan sebagai kemampuan yang tumbuh seiring dan berkelindan dengan kemampuan-kemampuan dasar lain, yang semuanya harus dipastikan tumbuh sehat dan lancar pada periode emas kehidupan anak. Karena itu, jangan heran jika melihat aneka alat permainan edukatif (APE) yang secara sepintas tidak berhubungan dengan kemampuan keaksaraan, tapi ada di Sentra Persiapan. Sentra Persiapan adalah sentra bermain yang menitik-beratkan pada pembangunan kesiapan memasuki fase pembelajaran sekolah, sehingga sebagian kalangan menyebutnya Literacy Center. Di situ ada puzzle, ada ronce ada tangram dan lain-lain. [caption id="attachment_210" align="aligncenter" width="288" caption="MERONCE DI SENTRA PERSIAPAN"]

[/caption] Kembali ke proses pembangunan keaksaraan, guru mengobservasi secara cermat tahap demi tahap kemampuan keaksaraan, dari playing with objects (alat tulis), scribbling (coretan-coretan tak terarah), hingga mencapai proper literacy. Secara paralel, guru juga mencermati tahap demi tahap perkembangan anak dalam hal otot motorik kasar, otot motorik halus, koordinasi motorik halus-kasar, panca indera, kemampuan klasifikasi warna-bentuk-ukuran dan kemampuan-kemampuan lain menyangkut logical-thinking, dan lain-lain. Dan, pada setiap tahap itu guru memberi pijakan-pijakan yang dibutuhkan melalui komunikasi yang intim dan personal dengan setiap anak. Sayang sekali, jika pembangunan multidimensi pada periode emas yang kritis itu direduksi menjadi pengajaran baca-tulis-hitung ekstra dini, lalu menghasilkan anak-anak yang ironisnya di usia dewasa tak suka membaca buku. Note: FOTO-FOTO KOLEKSI SEKOLAH BATUTIS AL-ILMI, PEKAYON BEKASI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun