Radit menatap Rani, merasa bersalah. "Aku tidak ingin membuatmu khawatir. Alya hanya ingin bekerja sama untuk proyek seni. Tidak ada yang lebih dari itu."
Namun, bagi Rani, kehadiran Alya bukan hanya soal kerja sama. Ia melihat bagaimana Alya memandang Radit---dengan cara yang menunjukkan bahwa perasaannya belum sepenuhnya hilang.
Konflik memuncak ketika Rani secara tidak sengaja melihat pesan di ponsel Radit dari Alya:
"Radit, aku tahu aku salah meninggalkanmu dulu. Tapi aku ingin memperbaikinya. Aku masih mencintaimu."
Hati Rani hancur. Ia tidak ingin menjadi wanita yang memaksa seseorang untuk memilih. Ia memilih untuk menjauh sementara, memberi waktu bagi Radit untuk memutuskan apa yang sebenarnya ia inginkan.
Radit menyadari jarak yang mulai terbentuk antara dirinya dan Rani. Ia juga bingung dengan perasaannya. Alya adalah bagian dari masa lalunya yang pernah ia cintai, namun Rani adalah masa kini yang membuatnya merasa utuh.
Setelah berminggu-minggu dalam kebimbangan, Radit akhirnya menemui Alya. Mereka duduk di galeri tempat mereka dulu sering bekerja bersama.
"Alya," kata Radit dengan suara tegas. "Apa yang kita miliki dulu sudah berakhir. Aku tidak bisa kembali ke masa lalu. Aku mencintai Rani, dan aku tidak akan kehilangan dia hanya karena bayang-bayang kenangan."
Alya terdiam, matanya berkaca-kaca. "Aku mengerti," ucapnya pelan. "Aku hanya berharap aku bisa mendapatkan kesempatan kedua. Tapi jika kau sudah memutuskan, aku tidak akan memaksamu."
Radit mengangguk, merasa lega setelah akhirnya berkata jujur. Ia segera menemui Rani, yang sedang duduk di bangku taman membaca buku.
"Rani," ucap Radit sambil duduk di sebelahnya. "Aku sudah menyelesaikan semuanya dengan Alya. Aku minta maaf jika kehadirannya membuatmu merasa tidak nyaman. Tapi aku ingin kau tahu, hanya kau yang ada di hatiku."
Rani menatap Radit, mencoba mencari kejujuran di matanya. "Apa kau yakin, Radit? Aku tidak ingin menjadi pilihan kedua."