Di tengah jalan berdebu, kulihat sandal jepit, Â
Melangkah tanpa arah, menjejak tanah yang sempit. Â
Simbol sederhana, rakyat jelata yang gigih, Â
Namun tak terdengar, di istana nan megah
Sandal jepit lusuh, menginjak jalan berlubang, Â
Seperti janji manis, yang kini kosong dan hilang. Â
Mereka berkoar, berjanji langit dan bumi, Â
Namun rakyat tetap susah, mengais remah mimpi.
Di meja-meja megah, mereka berpesta ria, Â
Sandal jepit hanya tertawa, dalam derita tanpa suara. Â
Panggung politik gemerlap, penuh dengan topeng hampa, Â
Sandal jepit mencibir, dengan senyum sinis tanpa kata.
Kursi-kursi empuk, mereka duduki dengan bangga, Â
Sementara sandal jepit terinjak, oleh janji-janji yang fana. Â
Kami terus melangkah, dengan kaki penuh luka, Â
Menghadapi kenyataan, yang semakin tak bersahaja.
Angin malam membawa kabar, tentang korupsi yang merajalela, Â
Sandal jepit tersenyum kecut, menahan tawa yang gila. Â
Mereka sibuk berkampanye, dengan retorika nan palsu, Â
Sandal jepit mengingatkan, bahwa rakyat tak sebodoh itu.
Kita terjebak dalam labirin, janji manis yang meleset, Â
Sandal jepit tetap setia, menjejak tanah dengan keset. Â
Mereka mungkin lupa, bahwa sandal jepit ini saksi, Â
Setiap kebohongan mereka, terekam dalam langkah pasti.
Dalam malam yang sunyi, sandal jepit berbisik pelan, Â
Mengkritik pemerintah, dalam bahasa yang diam. Â
Di bawah langit yang sama, rakyat dan sandal jepit berdoa, Â
Semoga keadilan datang, meski harus menunggu lama.
Jakarta 09/07/24
YM.Lapu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H