Mohon tunggu...
YM. Lapu
YM. Lapu Mohon Tunggu... Freelancer - Puisi, Merangkai Rasa Memeluk Jiwa

Kata-Kata Tumpah Dari Kepalaku Berceceran Dan Luber Kemana-Mana Berserakan,Kemudian menjadi kepingan di sudut ruang (yml)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Spiritualitas, Religiutas dan Psikologi Positif

17 September 2022   00:24 Diperbarui: 17 September 2022   00:27 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi:kaskus.com


Sebuah Perenungan Terhadap
Spiritualitas, Religiusitas dan Psikologi Positif

Salam hangat sahabat-sahabat kompasiner, pada tulisan kali ini saya yang sering fokus kepada konten Fiksi ingin sedikit mengajak kita untuk merenungkan tentang kehidupan 

Istilah agama dan spiritulitas sering digunakan secara bergantian. Menurut para ahli, penegrtian agama lebih jelas dan kongkrit sehingga dapat diukur dan diteliti. Berbeda dengan pengertian spiritualitas yang sifatnya lebih abstrak sehingga sulit untuk diukur dan diteliti.

Pengertian spiritulitas dan agama di atas agak sedikit berbeda, hal yang abstrak seperti perasaan rindu dan cinta kepada Nabi, kedekatan kepada Sang Pencipta. Sedangkan agama menurut penulis lebih bersifat ritual, seperti ibadah, puasa, dan ziarah. Jadi, agama sudah termsuk spiritualitas, sedangkan spirtualitas belum tentu percaya agama. Sebagaimana yang banyak terjadi di dunia sekarang ini, beberapa orang mengatakan percaya kepada Tuhan, namun tidak percaya dengan agama dalam istilah ini terkenal dengan “Spiritualuty Without Religion” atau agnoistik dan deisme

Secara tradisional, konsep beragama atau religiusitas tidak membuat nyaman para ahli karena menurutnya tidak pantas untuk diteliti. Para ahli beralasan bahwa konsep beragama tidak memiliki dimenis yang jelas sehingga dampaknya terhadap intelektualitas tidak berarti, namun ada yang beberapa psikolog kontemporer yang tertarik tentang kosep agama, karena sifatnya yang berdimensi dan komplek, apa lagi perhatian kepada religiusitas berhubungan erat dengan peningkatan kepuasan hidup dan kesejahteraan psikologi manusia.

Dalam sebuah buku dijelasakan, bahwa beberapa pakar psikologi di Amerika mengatakan, bahwa di Barat sekarang ini mulai meuncul kritik terhadap ekonnomi yang berorientasi pada akumulasi kekayaan dan keuntungan, mulai muncul teori baru ekonomi yang berorientasi pada kebahagiaan. Berdasarkan survey mereka selama 50 tahun terakhir, rata-rata penghasilan penduduk naik sampai dua atau tiga kali lipat. Ternyata, kenaikan tersebut tidak selalu berhubungan positif dengan tingkat kebahagiaan hidup terutama setelah peristiwa 11 september, bahkan masyarakat Amerika merasa dihantui kecemasan, dunia dirasakan tidak lagi ramah dan menetramkan.

Dari kalimat di atas memunculkan sebuah kesimpulan bahwa sebenarnya manusia modern menginginkan kebahagian yang imateri, seperti perasaan tenang dan sukacita batin. Karenayanya kebutuhan akan ketenangan batin bisa ditunjukkan dari kecenderungan dekatnya seseorang terhdapa sang Pencipta.

Dalam sebuah penelitian dari Universitas Sains Louis yang menyebutkan dalam bukunya Faktor-faktor yang terlupakan dalam Kesehatan Jiwa, bahwa Orang-orang yang paling tidak seminggu sekali pergi ke tempat ibadah akan paling sedikit mengelami gangguan kejiwaan , beribadah dan berdoa adalah penyembuh batin kita, ucapnya “Bila olah raga penting untuk kesehatan kita, dan jika air penting untuk disediakan di rumah, maka begitupula halnya dengan ibadah dan doa. Jika seseorang meluangkan beberapa saat dalam sehari untuk berdoa ke hadirat Allah, maka betapa hatinya akan menjadi bersih.

Bentuk atau aktualisasi dari religiusitas memang berbeda-beda, namun tokoh dan beberapa orang yang mengaitkanya dengan pengalaman religius, semaca mimpi dan pengalaman mistik.  Bahkan Abraham Maslow mengatakan bahwa pengalaman mistik adalah pengalam puncak manusia. Mereka yang merasakan dan mengalami pengalaman mistik merasa puas dengan dunia yang menurutnya memilki tatanan yang baik, mengagumkan, dan mengasyikkan. Juga tidak pernah menganggap dunia sebagai pusat kejahatan, semua terlihat menarik, menyejukkan, dan indah. 

Menurut William James membagi karakteristik pengalaman mistik kepada empat bagian; pertama, pngalaman mistik yang bersifat sementara. Kedua, pengalaman mistik itu tidak mampu diungkapkan dengan bahasa verbal. Ketiga, bahwa setelah mengelami pengalaman mistik akan merasakan benar-benar pelajaran yang berharga dari pengalaman tersebut. Keempat, pengalaman mistik terjadi tanpa kendali kesadaran.

Segala hal yang ada pada penjelasan di atas, menunjukkan adanya, pencarian kebahagiaan melalui agama, baik itu religiusitas ataupun spiritualitas sebagaimana yang dikatakan oleh Abraham Maslow. Perasaan akan kedekatan diri kepada religiusitas bisa memunculkan sebuah pengalaman mistik yang sulit untuk diungkapkan yang menurutnya sangat berbeda dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, bahkan William James mengatakan pengalaman religius adalah pencak dari segala pengalaman. 

Terakhir Dr. Zakiah Derajat mengatakan bahwa agama sangat ampuh untuk menetramkan kejiwaan manusia, terbukti dengan adanya keluhan masyarakat Barat yang banyak meninggalkan kehidupan beragama banyak mengalami kesukaran-kesukaran batin dan harus berkonsultasi pada ahli kejiwaan. Penelitaan itu juga diperkuat dengan adanya hasil penelitian yang mencengangkan, bahwa produksi obat penenang di Eropa menembus angka lima juta dus dan 160 ribu butir obat dikonsumsi, ini menunjukkan kekalutan yang tinggi dengan jiwa mereka. 

Sudah saatnya kita untuk tetap terus pada pendirian ketimuran yang dekat dengan Tuhan, dekat dengan agama. Karena agama mampu menenangkan respon jiwa yang carut marut, mampu mendekatkan kepada yang Suci, dan mendekat dengan Sang Pencipta, yaitu hakikat dari kebahagiaan.

Psikologi positif yang disebut dengan Psicology Well Being menunjukkan keterkaitanyang erat dengan spiritualitas dan religiusitas.                                                                   

Kesimpulan

Saya menyimpulkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki naluri alamiah dan kebutuhan dasar  akan agama, baik itu disebut spiritualitas atau religiusitas. Kemudian religiusitas dan spiritualitas mengandung arti yang abstrak dibanding dengan istilah agama, religiusitas dan spiritualitas lebih bersifat pengalaman beragama sedangkan istilah agama lebih kepada pandangan ritual.

Beberapa tokoh memaparkan tentang efek positif mencari kebahagiaan lewat media agama, karena sudah banyak bukti bahwa negara Barat justru kini menyadari akan kebagian yang hakiki yaitu kembali kepada jalan Tuhan, bukan kepada kepuasan materialistik. Menurut saya sebagaimana yang disampaikan di atas bahwa kebanyakan tokoh psikologi dan kesehatan mental menyimpulkan perhatian kepada religiusitas berhubungan erat dengan peningkatan kepuasan hidup dan kesejahteraan psikologi manusia.

Sumber : Berbagai sumber bacaan
Tulisan ini pernah dimuat di blog pribadi
Pada 9 September 2014 

YM.Lapu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun