Mau jadi golput lagi? Ingin coba jadi golput? Bosan karena labelling "cebong" dan "kampret" jadinya golput? jangan, apalagi mengajak, menyuarakan dan berkampanye untuk golput karena itu dilarang undang-undang. Golongan Putih (GOLPUT) berawal pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1971, saat itu golput disuarakan sebagai sikap politik dan protes terhadap sistem dan alternatif pilihan yang dinilai tidak kredibel. Golput pada masa itu menganjurkan datang ke bilik suara dan menusuk kertas yang berwarna putih di sekitar gambar. Dengan begitu, suara yang diberikan tidak sah tetapi pemilih tetap pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Setelah peristiwa reformasi, sejak Pemilu langsung 2004 hingga 2014, persentase angka golput semakin meningkat. Persentase golput pada Pilpres 2004 putaran 1 sebesar 21,80 persen dan putaran 2 sebesar 23,40 persen. Pada 2009, angka golput pilpres menjadi 28,30 persen dan bertambah menjadi 29,01 persen pada Pilpres 2014. Untuk pemilihan anggota legislatif (DPR, DPRD, DPD), tahun 2004, 2009, 2014 berturut-turut sebesar 15,90 persen, 29,10 persen, dan 24,89 persen.
1. Pemilu serentak (Pileg dan Pilpres dalam satu waktu) menjadi pembelajaran, satu contoh pengambilan keputusan tidak dibarengi dengan latar belakang yang kuat. Akibatnya potensi golput meningkat disebabkan atmosfer politik yang menjadi dua kali lipat lebih panas dari sebelumnya, banyak orang jengah dengan kegaduhan yang semakin besar.
2. Ambang batas untuk pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sebesar 20 persen suara partai hasil Pemilu 2014 membuat munculnya alternatif pilihan hanya sebatas mimpi. Selain itu, menilik proyeksi Bappenas (2010-2035) maka hasil pemikiran, sikap dan suara sekitar 6 juta orang yang telah meninggal dunia pada tahun 2014-2019 menjadi landasan lahirnya pemimpin pada 2019 di Indonesia (negaranya orang hidup). Semakin tidak masuk akal ketika hasil Pemilu yang lalu menjadi tolok ukur untuk menyeleksi calon pemimpin saat ini dan masa depan, bagaikan meminta harga jual smartphone bekas sama dengan harga belinya.
3. Hari pemilihan dijadikan hari libur? Terima kasih bapak ibu pemangku jabatan.
4. Info administratif untuk para calon pemilih (kita, warga negara) kalah pamor dengan perang meme "cebong" dan "kampret". Tata cara, syarat dan jadwal pengurusan formulir A5 tidak viral sehingga membuka peluang menggerus partisipasi calon pemilih.
Semoga saja empat poin diatas sudah cukup merangkum masalah yang dihadapi! Setelah uraian singkat masalah, mari gali saran sebagai peluang solusi yang paling optimal (bukan maksimal) sebagai warga negara. Bagi orang yang sudah menetapkan sikap untuk Golput, ayo bersuaralah dengan cara-cara kreatif selain menusuk kertas suara Pemilu 2019. Untuk yang belum benar-benar mantab menjadi anggota white party, usahakanlah hadir di TPS untuk menggunakan fasilitas untuk menusuk-nusuk gambar-gambar tokoh politik sepuas-puasnya. Sedangkan, bagi yang masih bimbang setidaknya hargai uang negara seharga 3.200 rupiah per suara. Kita hidup di Indonesia, di tahun 2019 pula, jangan ragu bersikap dan jangan segan bersuara. Jadilah penyerang (forward) berpengalaman yang mendapat peluang terbuka di depan gawang lawan, ya GOLin aja!
Pustaka:
1. Membaca Makna Golput
2. Gelombang Golput yang Tak Pernah Surut
3. Waspada Libur Panjang Buat Angka Golput Pemilu 2019 Meningkat
4. KPU Sebut Urus Formulir A5 Paling Lambat 18 Maret 2019
5. KPU Klaim Efisiensi Anggaran Surat Suara Pemilu Capai Rp 267 Miliar
6. Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H