Tiba-tiba momen lebaran datang, sekolah libur dan Zlatko Marihovic tidak bertemu dengan teman-teman badungnya yang satu frekuensi, yang sama-sama berkeyakinan bahwa melanggar aturan itu keren, kita muda dan berbahaya. Yah, semacam itulah, ketololoan remaja naif pada umumnya...
Momen lebaran adalah momen berkumpul dengan keluarga. Ada kakek, nenek, paman, bibi, sepupu dan saudara lainnya.
Zlatko Marihovic benci momen itu, tidak asyik. Orang-orang tua itu berbicara dengan bahasa yang disopan-sopankan, banyak basa-basi, terlalu moralis dan bla..bla..bla..
Intinya, ia seperti berada di tempat yang "nggak gue banget". Badannya di situ tapi enggan untuk sepenuhnya ikut terlibat dalam kegiatan "di situ saat itu". Seharian terasa begitu lama, apalagi mulut juga terasa kecut karena gak boleh merokok.
Rasa itu sangat menyebalkan karena orang-orang di sekitarnya (menurut keyakinannya) tidak ada yang sefrekuensi dengan dia. Ya, itulah rasa kesepian dalam keramaian.
Untungnya, si Zlatko Marihovic tahu betul kalau kesepian itu gak akan berlangsung lama. Besok ia bisa mengumpulkan lagi teman-temannya dan suasana "berada di tempat nyaman" itu bisa kembali ia dapatkan.
Kesepian si Zlatko Marihovic kala itu hanyalah kesepian temporer yang hanya menimbulkan keresahan psikologis sesaat karena esok harinya ia sudah bisa menemukan tempat nyaman lagi, bisa menemukan frekuensi pergaulan yang sesuai dengan yang ia kehendaki.
Kesepian sesaat, tidak terlalu menakutkan...
Masalahnya, saat tiba masa dewasa, orang lalu punya tanggung jawab sosial, juga tanggung jawab ekonomi sehingga ia tidak selalu bisa memilih tempat mana ia harus berlama-lama di sana.
Seringnya, orang lalu terlalu lama terjebak dalam lingkungan yang tidak mereka ingini dan tidak ada batas waktu sampai kapan mereka masih harus terjebak di situ.
Pertimbangan ekonomi sering membuat orang bertahan di sebuah tempat kerja semenjengkelkan apapun tempat tersebut. Risikonya adalah kesejahteraan psikologis jadi terganggu.