Lebaran sudah berlalu walau sekarang masih bulan Syawal. Hari kerja juga sudah mulai normal lagi.
Selain kenangan, ada juga sisa-sisa lebaran yang masih ada di rumah. Kue-kue lebaran masih belum semua habis sehingga suasana lebaran masih agak terasa.
Satu lagi sisa lebaran adalah: sebuah balon yang terlihat loyo dan keriput karena memang sudah kempes.
Balon yang sudah kempes itu teronggok begitu saja di dalam rumah. Itu adalah balon yang dibeli buat ponakan saya yang usianya satu setengah tahun. Dibelikan oleh bapak dan ibunya sepulang Sholat Idul Fitri di lokasi Sholat Ied, gak dibawa pulang.
Ya, penjual balon dan mainan anak memang biasanya selalu ada di tempat dan waktu yang tepat. Di lokasi Sholat Ied, di berbagai keramaian bahkan di acara hajatan sekalipun.
Waktu anak-anak saya masih seumuran ponakan tadi atau lebih besar sedikit, sepulang Sholat Ied juga saya selalu membawa dua biji balon. Pun saat hadir di kondangan resepsi pernikahan, kadang balon atau mainan harus saya bawa pulang, setelah menukarnya dengan sejumlah uang tentunya.
Saya kok jadi ingat dengan kalimat legendaris: "banyak anak banyak rejeki..."
Dalam konteks perekonomian, penjualan balon dan mainan yang pasti laku saat penjual memajang dagangannya di keramaian, adalah bukti bahwa anak-anak bisa menjadi penggerak perekonomian.
Ekonomi bergerak, maka rejeki banyak orang akan meningkat. Banyak anak, banyak rejeki...
"Wo ya gak gitu konsepnya, bro.." seorang temen protes ketika saya menceritakan pemikiran tentang konsep banyak anak banyak rejeki hasil dari perenungan terhadap balon kempes tadi.
"Maksudnya banyak anak banyak rejeki itu, setiap anak punya rejekinya masing-masing.. Jadi, semakin banyak anak, ya rejeki orang tua makin banyak juga. Ini konteksnya mikro ekonomi bro, dalam keluarga saja, nek yang kamu bilang tadi kan makro.., Makro van Basten.." temen saya melanjutkan menjelaskan konsep konvensional tentang "banyak anak banyak rejeki", tak lupa diakhiri plesetan yang melibatkan nama striker legenda timnas Belanda.
"Lha kamu sudah pernah kuliah ekonomi brapa semester, sok-sokan ngomong mikro makro ekonomi.." saya tahu betul temen saya ini juga gak paham banyak tentang teori ekonomi, sama kek saya.
Karena sama-sama gak jago teori ekonomi kami memilih untuk lanjut ngobrolin Arsenal saja...
Temen saya lalu pulang dan saya masuk ke rumah, menemukan kembali balon kempes sisa lebaran.
Saya lalu teringat dengan artikel-artikel tentang penurunan populasi di negara-negara maju seperti Jepang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H