Pasangan ganda putera Indonesia, juara All England 2022 Bagas Maulana/ Muhammad Shohibul Fikri harus tersingkir di babak 32 besar turnamen BWF World Championship di Tokyo Jepang.
Ganda putera peringkat 15 dunia itu kalah dari pasangan non unggulan asal Skotlandia Alexander Dunn/ Adam Hall. Bagas/Fikri kalah dalam pertandingan tiga set, 21-17 19-21 dan 15-21.
Ini adalah untuk kesekian kalinya, Bagas/Fikri gagal di babak awal turnamen bulutangkis pasca mereka menjuarai All England. Dikutip dari kompas.com dalam sepuluh turnamen setelah All England mereka selalu gagal. Raihan terbaik yang mereka capai adalah menembus babak semifinal pada saat Korea Open 2022.
Bagas/Fikri sempat memberikan kita harapan besar saat secara mengejutkan menjuarai turnamen yang amat bergengsi, All England. Pada All England yang berlansung di bulan Maret 2022 itu, Bagas/Fikri begitu garang menyingkirkan pasangan-pasangan ganda putera terkuat di dunia.
Di final kala itu mereka menang atas seniornya Mohammad Ahsan/ Hendra Setiawan. Di semifinal senior mereka yang lain, The Minion, Markus Gideon/Kevin Sanjaya mereka singkirkan. Pun di perempat final merek mengandaskan ganda Jepang Takuro Hoki/ Hugo Kobayashi. Tiga pasangan tersebut saat ini adalah peringkat satu, dua dan tiga dunia.
Pasangan one tournament wonder. Sepertinya untuk saat ini, gelar tersebut bisa disematkan pada Bagas/Fikri. Gelar yang tidak mengenakkan tapi untuk saat ini begitulah kenyataannya, mereka belum bisa membuktikan kedigdayaannya setelah memenangi All England.
One tournament wonder, pembuat kejutan di satu turnamen sering kita dengar di dunia sepak bola. Salah satu nama yang sering disebut adalah Salvatore Schillaci.
Schillaci adalah pemain timnas Italia yang pada tahun 1990 meraih gelar top skor Piala Dunia. Usia Schillaci saat itu baru 26 tahun, usia prime, di atas kertas masih banyak yang seharusnya bisa ia capai.
Saat itu sebenarnya, Schillaci bukan pilihan utama di timnas Italia karena sudah ada duet Roberto Mancini-Gianluca Vialli. Namun, dari bangku cadangan Schillaci berhasil mencetak gol. Di pertandingan-pertandingan berikutnya ia dipercaya sebagai starter dan mampu menjawab kepercayaan tersebut dengan lesatan enam gol selama Piala Dunia 1990. Enam gol tersebut adalah yang terbanyak dicetak oleh seorang pemain di turnamen tersebut.
Ya, dia mengungguli Marco van Basten, Diego Maradona ataupun Jurgen Klinsmann dalam hal lesatan gol di Putaran Final Piala Dunia 1990.
Bersama bintang muda Italia yang lain kala itu, yang juga tampil dari bangku cadangan, Roberto Baggio, mereka dianggap sebagai duet maut yang akan mengguncang persepakbolaan dunia. Apalagi, Baggio-Schillaci di musim berikutnya sama-sama jadi pemain Juventus.
Roberto Baggio memang mengguncang dunia sampai bisa menjadi pemain terbaik dunia dan membawa Italia sampai di final Piala Dunia 1994. Namun Salvatore Schillaci tenggelam dan benar-benar gagal menemukan performa terbaiknya seperti pada Piala Dunia 1990.
Sampai pensiun, Schillaci memainkan laga bersama timnas Italia sebanyak 16 kali dengan total mencetak tujuh gol. Menarik, dari tujuh gol yang ia cetak tersebut, enam diantaranya ia buat pada saat putaran final Piala Dunia 1990. Hanya satu gol ia cetak di luar Putaran Fina Piala Dunia 1990.
Kalau bicara tentang one tournament wonder, Salvatore Schillaci adalah orang yang tepat untuk diceritakan.
Contoh lain one tournament wonder adalah tim nasional sepakbola Yunani pada Piala Eropa 2004. Lolos ke semifinal pun tak seorang pun memperhitungkannya. Namun, sejarah mencatat Yunani akhirnya menjuarai Piala Eropa 2004. Setelah itu, prestasi timnas Yunani kembali redup seperti biasa.
Di level klub, Leicester City pernah membuat keajaiban di Liga Inggris, one season wonder menjuarai Liga Inggris musim 2015-2016. Ini istimewa karena satu musim kompetisi anda harus memainkan 38 pertandingan, jadi perlu konsistensi permainan satu tahun penuh. Dan luar biasanya, Leicester secara konsisten melakukannya. Mereka bahkan unggul sepuluh poin dari peringkat dua, Arsenal.
Mengejutkan di satu turnamen tapi lantas hilang di turnamen-turnamen berikutnya.
Mungkin ada banyak faktor yang membuat para olahragawan itu mengalami performa yang luar bisa dalam sebuah turnamen. Mungkin juga ada faktor keberuntungan. Kalau untuk Leicester City memang saat itu tim-tim besar macam City, MU dan Liverpool memang sedang mengalami penurunan. Untuk MU penurunan tersebut konsisten sampai sekarang, eh...
Tidak seperti Schillaci, Bagas/Fikri sebenarnya juga bukan sepenuhnya one tournament wonder karena sebelum All England mereka juga pernah juara di beberapa turnamen yang kurang terkenal, Hyderabad Open dan Finnish Open, keduanya di 2019. Dan jelas satu-satunya  turnamen besar yang mereka menangi ya memang All England.
Dan faktanya setelah All England mereka belum membuktikan kualitas dan mentalitas juara. Dan bahkan mereka sering tersingkir di babak-babak awal.
Apakah mereka hanya beruntung saat juata All England ataukah mereka sudah terlalu puas menjadi juara turnamen yang sangat bergengsi?
Yang jelas mereka masih punya banyak waktu untuk berbenah dan mempersiapkan diri mereka untuk bisa mengulangi lagi kejayaan yang pernah mereka dapatkan.
Lalu, apa yang harus dilakukan Bagas/Fikri untuk bisa kembali menemukan sinarnya? Ya tentu berlatih dan bermain sebaik mungkin, juga kembali fokus dan kembali menemukan rasa lapar untuk meraih gelar. Juga perlu untuk tidak terbebani dengan capaian spektakuler yang pernah mereka raih.
Usia keduanya pun masih muda, Bagas 24 dan Fikri 22 tahun. Masih panjang jalan kedepan...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H