Bersama bintang muda Italia yang lain kala itu, yang juga tampil dari bangku cadangan, Roberto Baggio, mereka dianggap sebagai duet maut yang akan mengguncang persepakbolaan dunia. Apalagi, Baggio-Schillaci di musim berikutnya sama-sama jadi pemain Juventus.
Roberto Baggio memang mengguncang dunia sampai bisa menjadi pemain terbaik dunia dan membawa Italia sampai di final Piala Dunia 1994. Namun Salvatore Schillaci tenggelam dan benar-benar gagal menemukan performa terbaiknya seperti pada Piala Dunia 1990.
Sampai pensiun, Schillaci memainkan laga bersama timnas Italia sebanyak 16 kali dengan total mencetak tujuh gol. Menarik, dari tujuh gol yang ia cetak tersebut, enam diantaranya ia buat pada saat putaran final Piala Dunia 1990. Hanya satu gol ia cetak di luar Putaran Fina Piala Dunia 1990.
Kalau bicara tentang one tournament wonder, Salvatore Schillaci adalah orang yang tepat untuk diceritakan.
Contoh lain one tournament wonder adalah tim nasional sepakbola Yunani pada Piala Eropa 2004. Lolos ke semifinal pun tak seorang pun memperhitungkannya. Namun, sejarah mencatat Yunani akhirnya menjuarai Piala Eropa 2004. Setelah itu, prestasi timnas Yunani kembali redup seperti biasa.
Di level klub, Leicester City pernah membuat keajaiban di Liga Inggris, one season wonder menjuarai Liga Inggris musim 2015-2016. Ini istimewa karena satu musim kompetisi anda harus memainkan 38 pertandingan, jadi perlu konsistensi permainan satu tahun penuh. Dan luar biasanya, Leicester secara konsisten melakukannya. Mereka bahkan unggul sepuluh poin dari peringkat dua, Arsenal.
Mengejutkan di satu turnamen tapi lantas hilang di turnamen-turnamen berikutnya.
Mungkin ada banyak faktor yang membuat para olahragawan itu mengalami performa yang luar bisa dalam sebuah turnamen. Mungkin juga ada faktor keberuntungan. Kalau untuk Leicester City memang saat itu tim-tim besar macam City, MU dan Liverpool memang sedang mengalami penurunan. Untuk MU penurunan tersebut konsisten sampai sekarang, eh...
Tidak seperti Schillaci, Bagas/Fikri sebenarnya juga bukan sepenuhnya one tournament wonder karena sebelum All England mereka juga pernah juara di beberapa turnamen yang kurang terkenal, Hyderabad Open dan Finnish Open, keduanya di 2019. Dan jelas satu-satunya  turnamen besar yang mereka menangi ya memang All England.
Dan faktanya setelah All England mereka belum membuktikan kualitas dan mentalitas juara. Dan bahkan mereka sering tersingkir di babak-babak awal.
Apakah mereka hanya beruntung saat juata All England ataukah mereka sudah terlalu puas menjadi juara turnamen yang sangat bergengsi?