"Menjiwai sekali kamu bernyanyi..." begitu kata seorang teman saat saya berdendang di mobil. Playlist yang saya putar waktu itu adalah album "Dosa, Kota, & Kenangan" dari Silampukau.
Lagu yang sedang terdengar dan saya ikut mendendangkannya saat itu adalah "Sang Pelanggan". Sebuah lagu yang bercerita tentang lokalisasi Dolly di Surabaya yang sudah ditutup. Itulah mengapa teman tadi meledek ketika saya cukup hafal lagu tersebut. Ya, urusan esek-esek memang sering jadi umpan lambung dalam bercandaan bapak-bapak.
"Ini lagu genrenya apa bro?" tanya teman saya kemudian.
"Genre Surabaya..." jawab saya yang membuat temen saya langsung tidak percaya lalu menjelaskan bahwa genre itu ya pop atau rock atau keroncong atau hip hop atau dangdut, tidak ada genre Surabaya, Jakarta.
"Surabaya-Jakarta ya jurusan bis antar kota antar provinsi" teman saya melanjutkan.
Lha tapi memang, di album Dosa, Kota, & Kenangan yang rilis pada tahun 2015 ini memang seluruhnya bercerita tentang kota Surabaya ataupun penceritaan yang berlatarbelakang kota Surabaya. Boleh dong kalau saya bilang genrenya Surabaya.
Dan, memang Silampukau adalah sebauh band atau lebih tepatnya duo yang berasal dari Surabaya.
Konon nama silampukau berasal dari Bahasa Melayu lama yang artinya burung kepodang. Setidaknya itu informasi yang saya dapat ketika tadi googling.
Duo Silampukau terdiri dari Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening. Keduanya berperan sebagai vokais dan memainkan gitar dengan dua karakter suara yang berbeda.
Orang banyak menyebut genre musik mereka adalah folk, dan baik Kharis maupun Eki juga mengiyakann alias setuju dengan hal tersebut.
Mereka sengaja memilih genre tersebut karena menganggap bahwa musik folk itu simpel dan irit karena bisa dimainkan cukup dengan gitar bolong saja, tak perlu beraneka macam efek seperti musik rock misalnya. Folk juga diangggap lebih bisa dipakai buat bercerita tentang segala hal yang layak untuk diceritakan, termasuk bercerita tentang Surabaya dan segala hal dengan latar belakang kota Surabaya.
Hmm.., folk lebih cocok untuk eksplorasi dalam penulisan lagu yang bercerita. Ya lagu yang bercerita tentang fenomena sosial, tentang kehidupan, tentang rasa.
Dalam beberapa lagunya, Iwan Fals bisa disebut penyanyi folk, juga Ebiet G Ade.
Bob Dylan adalah contoh penyanyi yang banyak dibilang punya genre musik folk. Komposisi musik cenderung sederhana, alat musik dan sound yang juga sederhana dengan lirik yang bercerita tentang bermacam fenomena.
Cukup masuk akal kalau dikatakan bahwa folk cocok untuk lagu yang bercerita tentang berbagai fenomena. Dan Silampukau memilih untuk bercerita tentang Surabaya ataupun fenomena yang berlatar Surabaya.
Lagu pertama yang saya tahu adalah "Puan Kelana", saya lupa darimana dulu pertama tahu lagu ini. Mungkin dari rekomendasi youtube.
Lagu "Puan Kelana" bercerita tentang seorang lelaki yang merindukan teman wanitanya yang sedang pergi ke Perancis. Mempertanyakan si puan yang suka berkelana, kenapa harus jauh-jauh ke Paris padahal di Surabaya juga semua ada. Mempertanyakan kenapa mesti jauh-jauh mengembara padahal dunia punya luka yang sama.
"Toh anggur sama memabukkannya, entah Merlot, entah Cap Orang Tua" begitu salah satu penggalan syair lagunya yang lalu mengingatkan saya pada komentar: "Ngapain main ke pantai, kalau mau lihat air di bak mandi juga banyak"
Ya, orang yang sedang rindu kan memang begitu. Hal terpenting adalah orang yang dirindukannya itu agar cepat balik lagi. Segala hal yang merintangi orang yang dirindukan untuk segera kembali maka hal tersebut merupakan hal yang harus dipersoalkan...
Album Dosa, Kota, & Kenangan rilis di tahun 2015 dan sampai sekarang belum ada lagi album yang muncul. Yah, mungkin mereka memang mengutamakan kualitas bukan kuantitas. Lagian mereka kan memang lebih suka bercerita tentang fenomena-fenomena disekitar mereka. Bisa dibilang pendekatan mereka fenomenologis, memang sangat kualitatif. Ahai...
Konon, album baru masih dalam pengerjaan. Meski belum meluncurkan album, setidaknya ada single yang sudah mereka luncurkan.
Single mereka "Dendang Sangsi" dirilis tahun 2021. Lagu ini bukan tentang Surabaya dan memiliki lirik yang agak "galak", sedikit beda dengan lagu mereka sebelum-sebelumnya. Lagu ini kental dengan unsur dangdut. Konon ini adalah karya mereka yang paling reaksioner, menceritakan ketidakpercayaan pada kekuasaan. Dangdut dipilih karena selama ini kekuasaan juga sering memakai dangdut untuk kepentingannya, misal untuk kampanye.
Single terakhir yang diluncurkan berjudul "Lantun Mustahil", diupload di youtube Orkes Silampukau bulan Juni 2022. Lagu ini tidak bercerita tentang Surabaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H