Kalau di dunia nyata, hal konkrit yang kami lakukan dalam rangka main hakim sendiri secara bersama-sama misalnya: memukuli pencuri, atau penjambret yang tertangkap, atau kadang juga orang yang diteriaki copet padahal gak tahu apakah dia benar-benar copet atau bukan...
Satu teriakan sudah berarti kebenaran buat kami. Soal mencari fakta itu kan kebiasaan orang yang punya banyak waktu luang, kami gak punya waktu untuk itu...
Hmmm..,
Di dunia maya, hobi kami main hakim sendiri secara bersama-sama itu sekarang mendapatkan fasilitas yang sungguh memadai. Setiap hari selalu saja bisa menampung hasrat kami untuk menjadi hakim.
Ya, menjadi hakim adalah persoalan hasrat. Karena kami memang istimewa...
Banyak sekali platform media sosial, banyak juga forum atau kanal-kanal berita atau apalah itu di dunia maya yang menyediakan ruang buat kami bergunjing dan menghajar pihak-pihak yang kami nilai tidak bermoral, tidak beradab, tidak good looking, tidak punya selera tinggi, terlihat aneh, dan lain sengacaunya..
Yah pokoknya tidak sesuai dengan standar subyektif yang kami miliki. Kami hajar mereka, kami gerudug rame-rame, kami beri hukuman setimpal karena berani-beraninya mereka berbuat tidak sesuai dengan standar subyektif kami.
Kami selalu hadir menunggu umpan menggairahkan dari akun-akun gosip yang followernya jutaan itu. Mereka tahu benar kesukaan kami, maka umpan yang mereka buat selalu gurih adanya. Kami sukaa...
Kami sukaa...
Atas nama agama, atas nama moralitas, atas nama nasionalisme menurut subyektifitas yang kami punya, itulah dasar yang kami gunakan untuk menghukum....
Tidak ada hal remeh, karena semua hal adalah penting. Kami akan menghukum semua kejahatan yang dilakukan oleh kaum-kaum yang tidak bisa berperilaku sesuai standar subyektif kami...