Mohon tunggu...
Yint
Yint Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Admiral

Exercitus Scientiae

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memetik Buah Heterogenitas

14 Februari 2022   12:00 Diperbarui: 14 Februari 2022   12:02 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Toleransi berasal dari bahasa Latin yang berarti sabar dan menahan diri, toleransi juga dapar diartikan sikap menghormati atau menghargai antar-individu atau antar-kelompok. Jadi, meskipun berada di lingkungan yang memiliki kelompok yang berbeda-beda, tetap terjalin suasana yang damai. Di negeri ini, patut disyukuri bahwa kita memiliki keberagaman, suku; agama; ras; dan golongan. Hal ini tentu menjadi kekayaan bagi Indonesia, yang tentunya perlu dijaga, sehingga bisa menjadi kekuatan tersendiri. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kekayaan, yang berupa keberagaman itu malah tidak dijaga, atau bahkan dikhianati.

Banyak kasus intoleransi yang tentunya membuat keberagaman itu seperti disia-siakan. Hal yang bisa menjadi suatu fenomena yang mampu menghancurkan keberagaman itu sendiri. Contoh, jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Kota Serang Baru yang diganggu saat beribadah pada 13 September 2020, sekelompok warga Graha Prima Jonggol menolak ibadah jemaat Gereja Pantekosta Bogor pada 20 September 2020, umat Kristen di Desa Ngastemi dilarang beribadah oleh sekelompok orang pada 21 September 2020, dan larangan beribadah terhadap jemaat Rumah Doa Gereja GSJA Kanaan di Kabupaten Nganjuk pada 2 Oktober 2020. 

Bukan hanya dilarang beribadah, terdapat pula kasus surat edaran dari Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memberikan instruksi seluruh siswa-siswi SMA/SMK untuk wajib membaca buku Muhammad Al-Fatih 1453 karya Felix Siauw. Meskipun akhirnya surat edaran tersebut dibatalkan satu hari setelahnya.

Hal ini jelas sangat disayangkan, ketika melihat kekayaan yang tidak dimanfaatkan dengan baik, keberagaman adalah sesuatu yang indah, keberagaman mampu membuat masyarakat berpikir lagi dalam bertindak, misalnya, dalam mengatur waktu suatu acara yang dihadiri oleh masyarakat heterogen. Jika terdapat agenda yang dilaksanakan pada hari Sabtu, sebaiknya jamnya disesuaikan, untuk memberikan waktu pada umat Katolik yang akan pergi ke gereja. 

Mungkin juga, terdapat agenda yang melewati jam 15.00, mungkin waktu tersebut dipakai untuk waktu istirahat bukan waktu untuk sesi yang penting, sebab memberikan waktu untuk umat muslim dalam menunaikan ibadahnya. Memang, ribet atau mungkin mengacaukan seluruh acara. Hal ini perlu dilakukan supaya semua orang mendapat haknya secara adil. Sehingga tidak terjadi diskriminasi. Makna yang dapat diambil adalah kedewasaan berpikir, tidak hanya berpikir untuk kalangan sendiri (bonum privatum), tetapi untuk sesama (bonum commune). Terutama bagi mereka yang memiliki ras, agama, dan suku yang berbeda.

Keberagaman, terkadang mendorong untuk bekerja lebih keras, karena penyesuaian itu tadi. Malahan, lebih mudah jika semua sama (homogen), tetapi apakah dengan hidup di lingkungan homogen akan mendapat hasil yang baik? Mungkin, dengan hidup di lingkungan homogen akan mengurangi terjadinya pertikaian. Berbeda dengan hidup di lingkungan heterogen, lebih-lebih terdapat kaum radikal di situ, pastinya tidak sedamai saat berada di lingkungan homogen. 

Namun, jika dilihat kembali, dengan hidup di lingkungan homogen, hanya akan menghambat kedewasaan berpikir, karena tidak dilatih menghadapi budaya atau kebiasaan yang berbeda. Sedangkan, jika hidup di tengah keanekaragaman, mampu mendorong masyarakat untuk lebih dewasa dalam berpikir, yaitu dengan saling memertimbangakan dan menghargai satu sama lain. 

Meski tidak jarang terjadi crash yang disebabkan dari keanekaragaman tersebut. Namun, dengan terjadinya crash, bisa memicu kedua belah pihak untuk menjalin hubungan yang lebih baik, bahkan boundingnya menjadi jauh lebih kuat. Tentunya memerlukan peran aktif dari kedua belah pihak juga, untuk mau mendalami lagi, agar bisa saling memahami satu sama lain. Juga, tetap perlu kedewasaan dalam berpikir, misalnya, rela untuk rekonsiliasi.

Meski terdapat kasus-kasus intoleran yang terjadi, tetap ada kejadian yang menyejukkan hati, contohnya, tanggal 9 Maret 2015, umat Hindu dan Muslim Bali berkumpul bersama-sama dalam satu tempat untuk beribadah secara tertib dan khidmat tanpa adanya sedikitpun gangguan atau provokasi. Sebab, pada hari itu, dua hari penting jatuh pada tanggal yang sama, yaitu Hari Nyepi dan gerhana matahari. Umat Hindu merayakan Nyepi dengan hening, lalu bergantian dengan kaum Muslim yang pergi untuk beribadah salat sunnah gerhana matahari setelahnya. 

Kemudian, pada 25 sampai 27 Maret 2016 lalu di Pamekasan, Jawa Timur, sejumlah warga beragama Islam beramai-ramai menuju Vihara Avalokitesvara untuk membantu umat Budha merayakan Kirab Laut. Sekitar 40 orang bediri di depan vihara untuk berjaga-jaga selagi perayaan Kirab Laut berlangsung, dan sisanya menjaga kendaraan bermotor di depan vihara sampai ritual agama selesai. Lalu terdapat, Tradisi Talin, yaitu tradisi membawa barang-barang yang disayangi untuk diberikan kepada orang lain yang merayakan perayaan atau peringatan tersebut. 

Tradisi ini berasal dari Lamaholot dan sudah berlangsung selama ratusan tahun. Di hari yang sama, seluruh masyarakat mulai dari yang beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, sampai Budha berkumpul di alun-alun Kabupaten Flores Timur, NTT untuk merayakan tradisi Talin. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun