Mohon tunggu...
Yohannes Krishna Fajar Nugroho
Yohannes Krishna Fajar Nugroho Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Video Editor dan Junior Public Relations

It's ok to be different.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pencalonan Gibran Rakabuming Raka, Dari Perspektif Ilmu Komunikasi

12 Juni 2024   08:01 Diperbarui: 12 Juni 2024   08:01 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi

Lalu apa hubungannya dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka? 

Jika kita melihat dari kacamata Psikoanalisis, maka Gibran mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Presiden atas keinginan diri sendiri untuk memiliki kuasa sama seperti ayahnya, sehingga dia melakukan segala cara agar dirinya dapat masuk dalam kontestasi pemilihan presiden tahun 2024 kemarin, tentu dengan melibatkan bapak, dan pamannya. Sementara itu, apabila kita melihat dari kacamata Diskursif Foucault, ada wacana tentang “nepotisme” dan “dinasti politik” untuk membentuk persepsi massa terhadap pencalonan Gibran. Diskursus ini tidak hanya mempengaruhi bagaimana media massa dan masyarakat berbicara tentang Gibran, tetapi juga bagaimana legitimasi politik dibangun dan dipertahankan. Selama dua periode pemerintahan Joko Widodo, terdapat sebuah pewacanaan yang dibangun oleh media massa tentang Gibran yang dapat mewakili generasi muda untuk mencapai Indonesia Emas di tahun 2045 mendatang. Ada pembangunan diskursus lokal tentang kepemimpinan yang baik dan memiliki kedekatan dengan warga, sebagai walikota. Sementara itu, di tingkat nasional diskursus tentang kinerja pemerintah pusat menjadi bagian yang lebih besar dalam hal ini. Media massa, tanpa kita sadari telah mewacanakan bahwa Gibran adalah indivodu yang layak untuk menggantikan kepemimpinan ayahnya. Praktik politik yang melibatkan keluarga besar memang sudah menjadi hal yang lumrah di Indonesia, namun seiring berjalannya waktu, bentuk dan justifikasi praktik ini telah berubah. Jika kita melihat dari kacamata ini, maka pencalonan Gibran tidak akan bisa lepas dari kekuasaan si ayah. Sementara itu dalam pandangan Anthony Giddens, struktur sosial menyediakan kerangka kerja yang memungkinkan sekaligus membatasi tindakan individu, sedangkan individu melalui tindakan mereka dapat mereproduksi atau mengubah struktur tersebut. Giddens menolak dikotomi antara struktur dan agensi, sebaliknya ia menekankan bahwa keduanya saling berinteraksi dalam proses yang berkelanjutan. 

Gibran, sebagai bagian dari keluarga Presiden Joko Widodo, mendapatkan keuntungan dari struktur sosial yang memberikan akses dan peluang lebih besar dibandingkan dengan individu lainnya. Tindakan Gibran dapat dilihat sebagai upaya untuk memanfaatkan sumber daya dan posisi yang diberikan oleh struktur sosial, sambil juga berkontribusi pada reproduksi struktur tersebut dengan mempertahankan dan memperkuat dinasti politik keluarganya. Lebih lanjut, teori strukturasi juga menyoroti bagaimana inovasi dan perubahan dapat terjadi dalam konteks ini. Meskipun tindakan individu seperti Gibran dibentuk oleh struktur yang ada, mereka juga memiliki kapasitas untuk membawa perubahan melalui keputusan dan tindakan mereka. Secara keseluruhan, pendekatan strukturasi Giddens memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk menganalisis bagaimana struktur sosial dan tindakan individu saling membentuk dan mempengaruhi dalam konteks politik, seperti dalam kasus pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.

Mengacu dari beberapa kacamata teoritis di atas, sejak menjadi Walikota Solo Gibran merupakan Agen yang tunduk pada kekuasaan yang lebih besar daripada dirinya sendiri yaitu kekuasaan ayahnya, karena secara konstitusional Gibran tidak mampu mengubah peraturan perundang-undangan tentang ambang batas usia calon wakil presiden. Semua dilakukan oleh sistem yang dibentuk oleh hegemoni kekuasaan presiden yang adalah ayahnya. Sementara itu, terkait dengan media massa dan bagaimana media massa mewacanakan Gibran. Bagi media massa yang berkoalisi dengan Gibran, tentu akan menggambarkan Gibran sebagai sosok muda berbakat yang memiliki karir sebagai pimpinan daerah dan anak dari presiden, juga memiliki kemampuan yang sama dengan ayahnya untuk dapat melanjutkan kepemimpinan, namun bagi media massa oposisi, Gibran digambarkan sebagai sosok yang menentang sistem, serta tidak kompatibel karena pencalonannya sebagai calon wakil presiden melibatkan pihak-pihak yang memiliki hubungan keluarga dan memiliki tempat di lingkup kekuasaan, tidak hanya itu bagi kelompok oposisi, Gibran dikonstruksikan sebagai bagian dari orang yang mencederai demokrasi di Indonesia. 

Lalu, bagaimana sebenarnya posisi Gibran dari perspektif ilmu komunikasi? 

Pencalonan Gibran tidak akan pernah lepas dari kekuasaan yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, Gibran merupakan agen dari sistem kekuasaan yang ada saat ini karena dia tidak dapat menentukan segala hal sesuai kehendaknya sendiri. Ada banyak hal yang harus dilalui oleh Gibran jika dia ingin maju sebagai cawapres dengan menggunakan namanya sendiri. Sekalipun dia dapat melakukan itu, Gibran tidak akan pernah lepas dari cap yang dikonstruksi oleh media massa selama dua periode pemerintahan Joko Widodo sebagai “Anak Presiden Jokowi”. Konstruksi seperti ini merupakan bentuk dari settingan media massa yang ada di Indonesia.  Anda sependapat? Atau tidak sependapat? mari kita berdiskusi di kolom komentar. Semoga sehat selalu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun