Jakarta, 3 Mei 2024Â
Pembukaan
Sudah lama rasanya tidak menuangkan pikiran saya dalam sebuah tulisan, sebenarnya bukan karena sibuk, tapi karena memang saya jarang mikir beberapa bulan belakangan ini, jadi saya bingung ingin menuangkan apa. Baru di minggu terakhir bulan April 2024 kemarin saya baru terpikirkan oleh satu hal yang memiliki hubungan erat dengan kesetaraan gender, terlebih ketika saya beraktifitas dengan menggunakan KRL, kadang saya bertemu dengan mbak-mbak kantoran yang memiliki fighting spirit mengejar kereta transit di Manggarai. Saya terpikirkan bagaimana kaum wanita mampu memiliki kesetaraan dengan kaum pria, mengingat banyak suku di Indonesia ini masih menganut sistem Patrilineal.Â
Artikel ini tidak untuk menyalahkan atau membenarkan tradisi Jawa yang sudah ada sejak jaman sebelum R.A. Kartini. Artikel ini lebih membahas bagaimana tradisi Jawa dan konsepsi tentang perempuan masih bercokol dalam kehidupan di masyarakat di Indonesia dan tidak jarang menempatkan wanita atau perempuan di posisi kedua setelah laki-laki.Â
Kembali ke permasalahan, yang akan saya bahas mengenai Raden Ajeng Kartini, seorang yang berjuang agar kaum wanita pada masanya mampu mendapat pendidikan yang setara dengan kaum pria, tidak hanya itu upaya R.A Kartini itu merupakan sebuah langkah untuk merombak nilai-nilai tradisi yang ada di keluarganya pada saat itu. Apa yang dilakukan oleh Kartini merupakan sebuah langkah yang berani, karena tindakan tersebut bukan hanya 'melawan' kehendak orang tuanya yang adalah pejabat pemerintah di Kabupaten Jepara, tapi apa yang dilakukan oleh Kartini tidak hanya menentang penjajahan kolonial Belanda saat itu, tapi lebih dari itu dia melawan budaya tempat dia dilahirkan dan berupaya untuk merombak sistem kultur patrilineal di suku Jawa saat itu, dan mungkin masih terjadi di pelosok Jawa, belakangan ini. Saya yakin bahwa apa yang dialami oleh Kartini saat itu tidak semudah dan seindah yang diceritakan oleh artikel-artikel yang ditulis di era media saat ini. Seperti biasa, saya akan mencoba untuk memberikan perspektif baru tentang perjuangan Raden Ajeng Kartini.Â
Perempuan Jawa di Masa Lalu
Seperti sudah sedikit saya paparkan di atas, tidak mudah bagi R.A. Kartini untuk mengubah struktur nilai-nilai budaya yang sudah bercokol dalam kehidupan masyarakat di Jawa saat itu. Sejarah mencatat, bahwa hingga detik ini perempuan berada di urutan kedua setelah laki-laki. Pada masa sebelum kelompok feminisme dikenal di Indonesia, ada beberapa kalimat di Jawa yang jika dikaji lebih dalam, akan menempatkan wanita pada level dibawah kaum pria; Kanca Wingking; Surga nunut neraka katut; Dapur, Sumur, Kasur; dan Manak, Macak, Masak.Â
Kanca Wingking merupakan kalimat yang menempatkan perempuan ada di belakang rumah seperti memasak, merawat anak, dan mencuci. Tentu hal ini merupakan suatu kriteria yang wajib dimiliki oleh banyak wanita jawa untuk menjadi istri yang baik. Pernyataan selanjutnya adalah Surga nunut, Neraka Katut; banyak orang Jawa pada saat itu percaya bahwa kehidupan akhir si perempuan tergantung bagaimana kehidupan si suami. Jika suami hidupnya baik dan masuk surga maka si istri akan mengikuti. Demikian jika si suami masuk neraka. Selanjutnya ada istilah Manak, Macak, Masak istilah ini mewajibkan kelompok perempuan agar memiliki kemampuan untuk hamil dan memberikan banyak keturunan bagi si Suami. Jika seorang perempuan tidak dapat memberikan keturunan maka si suami akan mencari istri yang lain. Â Berdandan, ya seorang istri harus rajin dan pintar berdandan bagi suaminya dengan harapan agar suaminya tidak berpaling ke wanita lain. Masak, tradisi Jawa mewajibkan perempuan harus memiliki kemampuan untuk memasak makanan bagi keluarganya. Istilah terakhir adalah Dapur, Sumur, Kasur. Istilah ini hampir sama seperti Kanca Wingking yang telah saya paparkan diatas tapi aplikasi dari kalimat ini sangat merendahkan wanita karena menempatkan mereka hanya untuk mengurus dapur termasuk mengelola uang belanja, urusan bersih-bersih dan cuci mencuci, dan yang terakhir adalah urusan sex dengan si Suami.Â
Dari beberapa kalimat di atas, orang Jawa pada saat itu tidak memberikan akses pendidikan formal dan peran sosial yang strategis kepada wanita. Orang Jawa menganggap perempuan hanya sebagai objek yang hanya menyediakan kebutuhan hidup bagi suami dan anak-anaknya, dan juga sebagai objek pemuas kebutuhan seksual si Suami, juga sebagai 'pabrik' anak. Jika si perempuan dapat melahirkan banyak anak, maka dia akan cenderung disayang oleh mertuanya, jika hanya sedikit, atau bahkan tidak punya anak maka memiliki kecenderungan akan menjadi omongan keluarga besar.
Selanjutnya adalah kesempatan untuk mendapat pendidikan setara dengan kaum pria. Saya akan coba flashback ke jaman Raden Ajeng Kartini. Ketika itu R.A Kartini berupaya agar kaum perempuan memiliki akses yang sama dengan kaum pria dalam hal memperoleh pendidikan dan peran sosial untuk menjadi decision maker dalam bidang-bidang strategis. Seperti yang telah saya paparkan di atas, R.A Kartini tidak hanya melawan kedua orang tuanya, tapi dia menentang budaya Jawa kuno yang menempatkan wanita di posisi subordinat.Â
Tidak hanya itu, perjodohan menjadi realitas yang sudah terjadi sejak dahulu. Orang Tua si perempuan berharap agar anaknya memperoleh jodoh atau suami yang memiliki darah biru, punya jabatan strategis untuk meningkatkan harkat dan martabat keluarga, tidak peduli si pria sudah beristri lima, yang penting dapat meningkatkan derajat keluarga. R.A Kartini adalah orang yang dijodohkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Perempuan Jawa saat itu tidak boleh memilih jodohnya sendiri. Semua sudah disiapkan oleh kedua orang tuanya agar si perempuan mendapatkan hidup yang layak, dan kedua orang tua dapat meningkatkan status sosial di kalangan masyarakat. Melihat realitas yang ada di negara berkembang, lebih spesifik ke Indonesia, apa yang diupayakan oleh R.A Kartini belum sepenuhnya terlaksana. Secara kualitatif, hanya sedikit manusia dengan tingkat pendidikan tinggi di Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa rata-rata tingkat pendidikan di Indonesia adalah selama 9,4 tahun yang mana hanya sampai tingkat pendidikan menengah pertama. Melihat realitas tersebut, tidak heran jika masih banyak orang yang menganggap bahwa pendidikan bagi kaum perempuan bukanlah hal yang memiliki urgensi nya sendiri.Â
Sering terdengar kalimat yang mengucapkan "Anak perempuan ngapain sekolah tinggi-tinggi? toh ujung ujungnya jadi ibu dan punya anak?" Sangat miris bukan, di era milenial masih ada kalimat seperti itu, kalimat yang pada waktu itu ditentang oleh R.A. Kartini. Memang, di Indonesia sendiri sudah banyak perempuan yang duduk di bangku perguruan tinggi, menduduki jabatan-jabatan strategis, bahkan negara ini pernah punya presiden perempuan. Jelas ini merupakan satu contoh emansipasi yang sudah diterapkan di era modern, namun tidak banyak perempuan-perempuan yang menduduki posisi itu. Secara normatif hal hal tersebut merupakan satu hal yang diglorifikasi oleh banyak pihak, namun secara aplikatif masih banyak kelompok wanita di daerah yang terisolir oleh nilai-nilai budaya seperti yang sudah dibahas di atas.Â
Perempuan Jawa di Era Modern.Â
Bahas perempuan Jawa di era modern, sudah banyak mengalami perubahan dibandingkan zaman R.A Kartini dahulu. Banyak perempuan yang sudah mengenyam pendidikan tinggi dan menjalani kuliah di universitas-universitas ternama. Tidak jarang perempuan ditempatkan di posisi-posisi strategis profesional, dan tidak sedikit juga kaum perempuan menjadi dosen di perguruan tinggi, serta menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan, bahkan kementerian.Â
Meskipun perempuan Jawa semakin terlibat dalam kehidupan profesional dan publik, mereka masih memegang peran penting dalam menjaga harmoni keluarga dan membesarkan anak-anak. Namun, konsep tentang peran gender dalam keluarga juga berubah seiring dengan perkembangan nilai-nilai modern. Namun seperti saya sudah dijelaskan di atas, nilai-nilai kultur di Indonesia masih mewajibkan perempuan untuk menikah, hamil, dan punya anak.Â
Praktek perjodohan juga tidak jarang masih terjadi di era modern ini dengan embel-embel dikenalkan. Bahkan, hal itu kadang masih dilakukan oleh orangtua yang masih memegang tradisi budaya Jawa. Tidak hanya praktek perjodohan 'tuntutan' untuk segera menikah juga menjadi momok bagi banyak wanita di era modern ini. Orang Tua dari kultur Jawa masih memiliki pandangan jika seorang anak gadis sudah punya pacar maka harus segera dinikahkan, kalau bisa tidak perlu pacaran dalam waktu yang lama, jika tidak punya jodoh hingga tenggat waktu yang ditentukan maka orangtua akan 'mencarikan' pasangan untuk anaknya. Juga masih banyak orangtua yang khawatir kalau anak perempuannya 'jauh jodoh' dengan alasan supaya cepat menikah, punya anak dan tidak usah khawatir di hari tua.Â
R.A. Kartini menekankan bahwa pernikahan adalah hak bagi si anak perempuan untuk memilih pasangannya sendiri, namun tidak sedikit cerita bahwa ada orangtua yang melakukan intervensi dalam keputusan si anak. Seperti yang sudah saya bahas di atas ada kekhawatiran orang tua supaya anaknya segera menikah dan punya anak. Saya pernah mempertanyakan di artikel sebelumnya, apakah Pernikahan itu merupakan sebuah tuntutan budaya?. Tidak jarang bahwa pernikahan anak menjadi sebuah 'kebanggaan' dari orang tua karena banyak orang tua menganggap bahwa pernikahan si anak merupakan pencapaian mereka sehingga akan ada 'publikasi' ke teman-teman si orang tua.Â
Dari faktor internal si perempuan sendiri tidak sedikit ada yang menempatkan dirinya di bawah laki-laki dengan memilih menjadi ibu rumah tangga, mengurus anak, dan mengurus suami. Jika hal itu merupakan pilihan si perempuan dan si laki-laki mau menerima hal itu, selama tidak ada paksaan ya berarti aman-aman saja. Hal itu merupakan bentuk hak prerogatif si wanita untuk memutuskan akan menjalani peran yang bagaimana. Kasus lain adalah fenomena di transportasi umum.Â
Dapat dipahami bahwa emansipasi wanita merupakan upaya-upaya untuk kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam segala aspek kehidupan. Apakah pemberlakuan Kereta Khusus Wanita di rangkaian KRL dan Ruang Khusus Wanita di Bus Trans Jakarta bertujuan untuk menyetarakan kelompok perempuan atau malah menempatkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan harus dilindungi di satu tempat khusus?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H