Gondangdia, 29 Mei 2023
Impor KRL Bekas dari Jepang.
Sudah agak lama saya mencoba melihat permasalahan impor KRL bekas yang masuk di berita-berita tingkat nasional. Secara garis besar yang saya tangkap adalah pihak PT KAI Commuter Indonesia meminta supaya pemerintah membeli KRL bekas dari Jepang untuk menambah jumlah pemberangkatan KRL di daerah aglomerasi dan sekitarnya.Â
Namun, upaya tersebut ditolak oleh pemerintah, bahkan BPKP lebih menyarankan untuk melakukan pemesanan KRL di PT. INKA, Madiun untuk mendukung industri dalam negeri. Artikel ini tidak akan membahas mengenai pemerintah yang belum mau mengabulkan permintaan PT. KCI untuk impor KRL bekas dari Jepang.
Pertumbuhan jumlah pengguna KRL dua tahun belakangan memang sudah naik secara signifikan, karena PT.KCI sudah memberikan pelayanan yang sangat baik dengan memberikan tarif murah, dan pelayanan pelanggan yang sangat humanis.Â
Masalah antrian KRL di stasiun Manggarai dan kepadatan KRL sudah menjadi sebuah keniscayaan dalam pola transportasi massa. Transportasi yang mengangkut banyak orang yang saling tidak mengenal dan cara menanganinya diperlukan suatu perencanaan yang matang dan tidak bisa sembarangan.Â
Hingga saat ini, Pihak PT KAI Commuter Indonesia menjadi satu-satunya pihak yang paling mengetahui segala sesuatu tentang operasional perjalanan KRL, setiap data mulai dari jumlah perjalanan KRL, sampai intensitas seseorang menggunakan KRL sudah dimiliki oleh PT.KAI Commuter Indonesia.Â
Jelas ini menjadi satu nilai lebih yang dimiliki oleh PT.KCI. Dengan kelebihan ini, PT.KCI memiliki kekuatan untuk mengatur pola operasional KRL di jabodetabek. Seperti seorang pengrajin tembikar. PT.KCI sudah memiliki kekuatan untuk membentuk opini.Â
Saya coba melihat kasus ini dengan kacamata teori komunikasi massa yang telah saya pelajari bertahun-tahun. Dalam teori komunikasi massa, ada teori yang sangat terkenal dari Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw.Â
Teori ini dikenal dengan nama Agenda Setting. Sedikit berbicara tentang teori ini, Â lebih tepat digunakan untuk penelitian media massa yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi agenda publik.Â
Media massa seperti yang dijelaskan dalam teori jarum suntik memiliki kekuatan yang sangat besar untuk mempengaruhi orang banyak melalui pemberitaan yang terus menerus. Karena pengaruh yang sangat besar itu, Para ‘Baron’ yang berkuasa diatas media massa memiliki agenda-agenda nya sendiri untuk mempengaruhi agenda publik dengan pemberitaan mengenai satu isu.Â
Hingga pada akhirnya,  isu-isu yang tidak penting bagi khalayak akan dianggap penting karena terpaan berita di media massa yang berulang-ulang ‘disuntikkan’ ke dalam otak khalayak ramai sampai menjadi agenda publik, hingga pada akhirnya akan berpengaruh dalam pembuatan kebijakan bagi isu tersebut.Â
Singkatnya, isu yang penting hanya untuk segelintir orang, disampaikan ke khalayak ramai dan menjadi penting bagi khalayak ramai itu, sehingga mempengaruhi pembuatan kebijakan terkait isu tersebut, dan yang akan merasakan adalah segelintir orang yang tadi menganggap suatu isu penting.Â
Kembali ke pokok masalah impor KRL bekas yang diusulkan oleh Commuter Indonesia dan dikaitkan dengan teori agenda setting. Bagi yang sering menggunakan KRL niscaya akan mengetahui bahwa ada banyak jenis KRL yang beroperasi di jabodetabek ini, mulai dari 8SF, 10 SF, 12 SF, kemudian ada yang 4SF. Â
Dalam satu  kereta mampu mengangkut sebanyak 250 pengguna. Untuk rangkaian KRL 8SF mampu mengangkut 8 (SF) x 250 (Penumpang) = 2000 penumpang, 10 SF mampu mengangkut 10x250= 2500 penumpang, dan 12 SF mampu mengangkut sejumlah 12x250= 3000 penumpang.Â
Sebagai informasi tambahan, semakin banyak jumlah SF, maka akan semakin banyak pengguna jasa angkutan yang akan terangkut oleh rangkaian kereta itu. Bahkan anggota DPR belum tentu tahu kalau ada perbedaan jumlah SF dalam satu rangkaian perjalanan KRL, dan berapa banyak orang yang akan terangkut dalam satu perjalanan KA.Â
Seperti yang telah dipaparkan dalam paragraf sebelumnya, banyak pihak yang menolak untuk impor KRL bekas dari Jepang, namun Commuter Indonesia punya power untuk mengatur operasional KRL jabodetabek, dan power ini dimanfaatkan dengan baik untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan oleh regulator atau pembuat kebijakan publik dalam hal ini pihak pemerintah pusat.Â
Lalu Bagaimana Melihat Kasus Ini Dengan Teori Agenda Setting?Â
PT.KAI Commuter Indonesia pasti sudah memahami dengan jelas bahwa jumlah pengguna akan lebih banyak di peak hour yaitu jam masuk kerja dan pulang kerja. Akan terjadi penurunan di jam-jam makan siang.Â
Sebelum adanya isu impor KRL yang diusulkan oleh PT. KAI Commuter Indonesia, masih banyak rangkaian KRL 12 SF yang beroperasi di jam-jam sibuk mulai dari 04:00 sampai dengan 10:00 dan jam sibuk sore mulai jam 15:00 sampai dengan 20:00.Â
Tentu, kondisi normal seperti biasa. Tidak ada kepadatan penumpang kereta di setiap rangkaian. Namun saat banyak pihak menentang usulan impor KRL, disini PT.KCI memainkan isu yang untuk mengubah kebijakan pemerintah supaya mau melakukan impor KRL bekas.Â
Rangkaian KRL 8SF banyak beredar di peak hour dan menggantikan rangkain KRL 12 SF, karena banyak yang mengalami stamformasi yaitu pemotongan jumlah rangkaian dari 12 SF menjadi 10 SF, dan 10 SF menjadi 8 SF dengan alasan faktor keamanan, karena roda tipis, kampas rem nya tipis sehingga harus di-depo kan.Â
Tentu saja, pengguna KRL akan merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut, sehingga dengan rasa ketidaknyamanan itu membangun opini pengguna jasa angkutan KRL supaya pemerintah melakukan impor KRL bekas dari Jepang.
Lebih memilukan adalah saat-saat libur lebaran beberapa waktu lalu, memang sudah agak lama, tapi saya rasa kasus itu masih relevan untuk dibahas dalam artikel ini.Â
Saat banyak penumpang musiman yang berlibur di Bogor, saat terjadi penumpukan penumpang di Stasiun Besar Bogor, rangkaian KRL 12 SF yang seharusnya beroperasi di rute Jakarta-Bogor mengalami potong relasi hanya sampai stasiun Depok, kira-kira dua rangkaian KRL berjumlah 12 SF yang seharusnya mengangkut penumpang dari Stasiun Bogor pulang ke Dipo Depok, rangkaian KRL 8SF melanjutkan perjalanan sampai ke Bogor untuk mengangkut ribuan penumpang di stasiun Bogor dan terjadi suatu ‘chaos’ di stasiun Bogor.Â
Dalam hari normal yang bukan musim liburan, PT.KCI mengoperasikan rangkaian KRL 8 SF di jam-jam sibuk dan rangkaian KRL 12 SF dioperasikan di jam-jam lengang mulai dari jam 11 siang hingga jam 2 siang. Tidak hanya itu, ada beberapa rangkaian KRL yang AC nya sudah tidak berfungsi masih dioperasikan melayani perjalanan rute Jakarta Bogor.Â
Jika dilihat menggunakan kacamata teori Agenda Setting, apa yang dilakukan oleh KCI adalah salah satu upaya untuk membentuk opini pengguna jasa angkutan KRL supaya mengubah kebijakan pemerintah yang tadinya tidak mau melakukan impor KRL Bekas, ditambah pemberitaan media massa tentang penumpukan penumpang KRL, sehingga bukan PT.KCI lagi yang mengusulkan import KRL ke pemerintah, tetapi khalayak atau pengguna jasa angkutan KRL yang ‘berteriak’ untuk menambah jumlah KRL.  Vox Populi Vox Dei PT.KCI sudah membuat pengguna jasa angkutan KRL berteriak supaya pembuat kebijakan menganggap bahwa Tuhan sedang berbicara melalui pengguna jasa angkutan.Â
Terbukti, hal ini mampu mengundang Andre Rosiade, anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk berangkat kerja naik KRL dari Stasiun Rawa Buntu ke Stasiun Palmerah, namun sekali lagi, penumpang KRL berteriak melalui media sosial bahwa jalur yang dilalui Andre Rosiade tidak lewat stasiun Manggarai, sehingga Andre melakukan sidak ke Stasiun Manggarai di jam sibuk. Pada akhirnya, Andre Rosiade yang tadinya menolak impor KRL mendorong pemerintah untuk mempercepat solusi impor KRL Bekas.Â
Apakah Andre Rosiade yang sudah melakukan sidak di stasiun Manggarai itu memahami istilah istilah 8 SF, 10 SF, 12 SF bahkan stamformasi rangkaian? Â Sekali lagi, hanya PT.KCI yang mengetahui detail seluk beluk operasionalisasi setiap bagian-bagian dalam perjalanan KRL Commuter Line, part apa yang harus diganti, atau part apa yang masih layak.Â
Melihat fakta fakta tersebut bisa dibilang bahwa PT.KCI berkuasa penuh untuk menciptakan kondisi dan membangun opini pengguna jasa KRL,  Andre sebagai pembuat kebijakan menganggap bahwa apa yang menjadi ‘jeritan’ dari kelompok pengguna jasa angkutan KRL adalah suara rakyat.Â
Kesimpulan
Seperti yang sudah saya bahas diatas, dalam kacamata Agenda Setting, Baron atau pemilik media menghembuskan isu yang menjadi kepentingan pribadi supaya menjadi kepentingan massa dan akan menjadi agenda kebijakan di kelompok regulator atau pembuat kebijakan publik.Â
Dalam kasus ini saya berasumsi bahwa PT.KCI sebagai Baron tidak bisa mengubah kebijakan pemerintah secara langsung, tapi PT.KCI mampu membentuk opini publik di kalangan pengguna jasa angkutan KRL dan mempengaruhi kebijakan pemerintah, seperti Andre Rosiade yang tadinya menolak impor KRL, jadi mendukung percepatan impor KRL bekas. Entah apa yang didapat oleh PT.KCI jika impor KRL bekas dari Jepang ini benar-benar terjadi?Â
Demikian saya coba melihat upaya impor KRL ini dari kacamata Teori Agenda Setting. Saya akan sangat senang sekali jika Bapak, Ibu, Abang, Mas, Mbak, Rekan-Rekan, dan Adik-Adik bisa memberikan sedikit komentar dibawah. Saya menerima setiap kritik, saran dan masukan melalui komentar di kolom komentar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H