Minyak kelapa sawit dikenal sebagai produk ujung tombak dari industri kelapa sawit. Produk turunan kelapa sawit sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Seperti pada sektor makanan, terdapat minyak goreng dan margarin. Pada sektor farmasi, terdapat tocorietnol sebagai antioksidan untuk kekebalan tubuh, bahkan barang-barang kebutuhan rumah tangga lainnya, seperti kosmetik, minyak rambut, pasta gigi, sabun, sampo, dan masih banyak lagi. (Murgianto et al., 2021). Fenomena ini mengisyaratkan bagaimana komoditas kelapa sawit berperan besar menyokong kehidupan masyarakat.
Besarnya peran minyak kelapa sawit sebanding dengan sumbangsihnya terhadap pembangunan ekonomi Indonesia. Industri kelapa sawit mampu berkontribusi sekitar 88 triliun rupiah untuk APBN Indonesia tahun 2023 (Kemenkeu, 2024). APBN itu sendiri merupakan jantung perekonomian negara yang disalurkan kembali untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.
Bahkan Indonesia merupakan negara nomor satu yang mampu memproduksi minyak kelapa sawit dengan skala besar untuk didistribusikan secara global. Menurut data dari Kemenko Perekonomian, industri sawit Indonesia menjadi komoditas strategis nasional, dengan sumbangsih sekitar 42% dari suplai minyak nabati global, 60% dari pangsa pasar produsen CPO global, serta di dalam negeri sekitar 5% bagi pertumbuhan PDB sektor perkebunan pada triwulan II 2024 (Limanseto, 2024). Keberhasilan industri ini tentunya tidak lepas dari campur tangan pemerintah. Â
Inovasi dan wujud keseriusan pemerintah dalam pengembangan industri sawit salah satunya dinyatakan dengan hadirnya BPDPKS (Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit) sebagai amanat dari Undang-Undang No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. BPDPKS diberi mandat strategis untuk mengelola dana yang dihimpun dari pelaku usaha perkebunan kelapa sawit, dengan prinsip mendorong pengembangan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Prinsip ini direalisasikan melalui berbagai kegiatan strategis BPDPKS yang turut mendapatkan ragam penghargaan dari Pemerintah. Program inovatif BPDPKS antara lain SDM Beasiswa, Pungutan Sawit, Peremajaan Sawit Rakyat, Smart PSR, Grant Riset Sawit, Biodiesel, Sarpas dan ragam program lainnya.
Meskipun peran penting industri kelapa sawit mempunyai sejumlah manfaat positif, namun industri ini tidak lepas dari polemik kerusakan lingkungan hidup. Kekhawatiran global bangkit karena dalam prosesnya, budidaya industri kelapa sawit erat dengan deforestasi dan emisi gas rumah kaca, akibat dari perubahan fungsi lahan dan limbah industri kelapa sawit. Penelitian dari Murphy et al. (2021) menunjukkan bahwa sejumlah isu yang timbul dari kegiatan industri kelapa sawit adalah ancaman keanekaragaman hayati, emisi gas rumah kaca, hingga perubahan iklim. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa hanya dari dua negara, yakni Indonesia dan Malaysia telah menghasilkan 0.74% dan 0.44% dari total emisi karbon secara global dalam setahun (Ukpanah, 2024). Degradasi lingkungan akibat industri kelapa sawit menuai pro kontra pada berbagai skala, sehingga dilema industri ini mengisyaratkan antara keberlanjutan usaha atau terminasi. Hal ini menjadi tantangan besar bagi BPDPKS untuk turut menyeimbangkan bagaimana eksistensi industri kelapa sawit menekan emisi karbon, namun juga tetap produktif untuk penerimaan negara.
Indonesia telah menargetkan peniadaan emisi karbon atau net zero emission Indonesia di tahun 2060, sesuai dengan komitmen penandatangnaan Perjanjian Paris pada tahun 2016. Instrumen keuangan turut serta dimaksimalkan oleh BPDPKS dalam mengakomodir program net zero emission. Salah satu upaya pengelolaan dana oleh BPDPKS ialah penyaluran dana riset dan pengembangan. Tahun 2023, BPDSPKS berhasil mendanai 112 riset dari target 80 riset. Kinerja ini merupakan pencapaian luar biasa yang merangkul berbagai pihak akademisi, peneliti, dan lainnya.
Riset dan pengembangan menjadi peluang besar bagi industri sawit sekaligus senjata utama memerangi kerusakan lingkungan hidup dan membantu stabilitas ekonomi negara. Terlebih lagi mempertimbangkan kesiapan Indonesia dalam menyikapi UU Anti Deforestasi Uni Eropa, yang mulai membatasi masuknya minyak sawit ke kawasan Eropa. Sementara Eropa menjadi salah satu pangsa pasar Indonesia yang relatif besar untuk ekspor CPO. Menurut data dari GAPKI (2024), volume ekspor CPO Indonesia ke Eropa terus merosot turun dari 4,63 juta ton pada tahun 2021 menjadi 3,7 juta ton pada tahun 2023. Dampaknya nyata bagi penerimaan negara, khususnya bea keluar komoditas sawit. Di sinilah pentingnya riset dan pengembangan industri sawit. Ketepatan pendanaan serta relevansi riset pada isu yang dihadapi akan mengoptimalkan kinerja industri sawit Indonesia.
Metode pada gambar di atas baik untuk diimplementasikan sebagai indikator kinerja sejumlah hasil riset yang dikelola dengan menghadirkan komponen IKU, dengan praktik manajemen terbarukan mampu meminimalisir dampak buruk industri kelapa sawit. Seperti untuk pengembangan varietas pohon kelapa sawit yang lebih produktif; kawasan negara idle yang dapat dioptimalkan sebagai kawasan perkebunan kelapa sawit; atau bahkan peruntukan terhadap teknologi pemanfaatan limbah dari industri perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian, riset yang didanai menjadi lebih terarah dan keberhasilannya dapat diukur untuk meregenerasi tata kelola industri kelapa sawit.
BPDPKS pada akhirnya dapat menjadi katalis pengembangan industri komoditas strategis nasional. Melalui pendanaan riset yang berkualitas dan terarah, industri kelapa sawit Indonesia akan mampu mengurangi emisi karbon dalam prosesnya sekaligus memberikan dukungan terhadap fiskal yang signifikan bagi penerimaan negara serta dampak ekonomi lainnya, berupa penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan per kapita, dan peningkatan PDB Indonesia untuk mendukung tercapainya Indonesia Emas 2045.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H