Mohon tunggu...
Yosef FelixSitorus
Yosef FelixSitorus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Seorang pelajar yang sedang berusaha memahami keuangan negara.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kenaikan Tarif PPN, Upaya Peningkatan Rasio Pajak Indonesia

2 Januari 2024   20:32 Diperbarui: 2 Januari 2024   20:35 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kehidupan sehari-hari, kita pastinya sering membaca atau mendengar kata "Pajak". Baik itu di dunia maya yang bersifat formal atau non-formal serta di dunia nyata seperti pada koran, majalah, buku, hingga spanduk reklame.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pajak yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 semestinya memiliki fungsi. Mardiasmo (2016:4) menyebutkan 2 fungsi pajak yaitu Fungsi Budgetair dan Fungsi Regulerend. Fungsi Budgetair maksudnya adalah pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengelurannya, sedangkan Fungsi Regulerend maksudnya adalah pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

Indonesia memberlakukan dan memungut beberapa jenis pajak yang diatur dalam undang-undang antara lain adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Bea Meterai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Pajak Daerah. Setiap jenis pajak memiliki karakteristiknya masing-masing seperti subjek pajak, objek pajak, sifat pemungutannya, dan sebagainya.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia

PPN aadalah pajak atas pajak atas konsumsi barang dan jasa di dalam Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat dalam setiap jalur produksi dan distribusi.

Pemungutan atas PPN secara spesifik berdasarkan payung hukum Undang-Undang yang telah diubah beberapa kali. Undang-Undang yang pertama kali mengatur tentang PPN adalah UU Nomor 11 Tahun 1994, UU Nomor 18 Tahun 2000, UU Nomor 42 Tahun 2009, UU Nomor 11 Tahun 2020, dan terakhir adalah UU Nomor 7 Tahun 2021.

Tarif PPN yang berlaku di Indonesia adalah sebesar 11 persen yang berlaku sejak tanggal 1 April 2022 dengan disahkannya UU tentang PPN terakhir. Karateristik dari PPN adalah sebagai berikut :

1. Pajak Tidak Langsung yang artinya pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

2. Pajak Objektif yang artinya pajak yang berpangkal pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.

3. Pajak Pusat ya artinya pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

Selain itu PPN merupakan pajak yang tidak menimbulkan efek pajak berganda dan dikenakan bertahap.

Kenaikan tarif PPN menjadi hal yang menggemparkan di Indonesia. Meski hanya naik sebesar 1 persen namun dalam transaksi skala besar tentu akan berdampak signifikan pada berbagai sektor di Indonesia secara umum. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa alasan utama dinaikannya tarif PPN 11 persen yaitu menambah pemasukan penerimaan negara guna memperbaiki kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang secara berturut-turut mengalami defisit selama pandemi. UU Nomor 7 Tahun 2021 juga mengamatkan bahwa tarif PPN akan dinaikkan menjadi sebesar 12 persen paling lambar pada 1 Januari 2025.

Pajak Pertambahan Nilai di Internasional

PPN atau dalam bahasa Inggrisnya Value Added Tax yang kemudian di singkat sebagai VAT juga diberlakukan dan dipungut oleh banyak negara di dunia, namun juga terdapat beberapa negara yang tidak memberlakukan dan memungut PPN di negaranya.

Salah satu negara yang tidak menerapkan kebijakan PPN adalah Brunei Darusallam. Negara ini dilimpahi sumber daya alam yang sangat baik terutama energi dalam bentuk minyak dan gas alam cair beserta turunannya. Kekayaan alam dapat menjadi suatu alasan mengapa suatu negara tidak memungut pajak di negaranya.

Sampai dengan Oktober 2023, negara dengan PPN tertinggi adalah Hungaria dengan tarif sebesar 27 persen. Tarif ini berlaku sejak awal tahun 2012 dalam rangka menutupi kebolongan anggaran dan untuk mengatasi krisis ekonomi di masyarakat Hungaria. Pada saat itu, Hungaria ingin mengurangi defisit anggaran sebesar 2,5 persen dari PDB mereka.

Negara dengan yang menerapkan kebijakan PPN dengan tarif terendah saat ini salah satunya adalah Bahrain dengan tarif sebesar 5 persen.

Rasio Pajak

Dr. Adinur Prasetyo dalam bukunya yang berjudul Konsep dan Analisis Rasio Pajak mendefenisikan rasio pajak sebagai angka perbandingan antara penerimaan pajak yang dihimpun oleh suatu negara dan PDB. Dalam penghitungannya, negara-negara dapat memiliki konsep yang berbeda untuk menghitung variabel penerimaan pajaknya. Ada negara yang hanya menghitung pajak pusat, ada negara yang menghitung pajak pusat dan daerah, serta negara yang memungkinkan memasukkan penerimaan sumber daya alam. Indonesia sendiri dalam menghitung rasio pajak hanya memasukkan unsur pajak pusat, yakni pajak-pajak yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

Angka rasio pajak berguna sebagai pengukur optimalisasi kapasitas administrasi perpajakan pada suatu negara. Dalam hal ini terdiri dari kebijakan, personil, dan instrumen perpajakan.

Sekilas membandingkan Penerimaan Perpajakan dan PDB Indonesia per Triwulan sejak 2021 s.d Juni 2023. Sumber data realisasi penerimaan perpajakan dan PDB di Indonesia diperoleh dari media di dunia maya yang terbuka untuk diakses ataupun diunduh.

Percobaan kecil ini merupakan penelitian yang masih sangat kasar dan jauh dari kata akurat dikarenakan keterbatasan data. Namun dari sejumlah data pada tabel di atas, terdapat 12 triwulan dengan 6 triwulan disaat masih menggunakan tarif PPN 10 persen dan 6 triwulan setelah penetapan tarif PPN 11 persen. Tidak begitu terlihat perbedaan yang signfikan pada besaran-besaran perbandingannya, namun ketika besaran tersebut dihitung rata-ratanya ternyata rata-rata perbandingan 6 triwulan setelah penetapan tarif PPN 11 persen adalah lebih tinggi dari rata-rata perbandingan 6 triwulan saat masih menggunakan tarif PPN 10 persen.

Opini Pribadi

Pajak Pertambahan Nilai sebagai salah satu komponen untuk meningkatkan rasio pajak di Indonesia memang sepatutnya dioptimalkan. Indonesia memang harus terus berbenah dan meningkatkan administrasi perpajakannya sebagai salah satu dari banyaknya aspek penunjang demi cita-cita Indonesia Emas di tahun 2045. Pembebanan perpajakan yang adil yang dirangkai dengan pengelolaan dana hasil perpajakan yang baik harus terus diusahakan dan didukung oleh setiap pihak di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun