Mohon tunggu...
Ye Nurti
Ye Nurti Mohon Tunggu... -

Depok

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Semua Diukur dengan Uang..?

1 November 2011   07:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:12 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita ngumpul yuuk...

Ayuk aja, hari apa? dimana?  jam berapa?  Okay...hari yang ditentukan saya naik kereta api dari Depok menuju Pasar Minggu, tempat yang sudah ditentukan. Sampai di rumah teman itu, salah seorang dari teman saya nyeletuk:  "kenapa naik kereta sih...kan lo bisa naik taxi, trus sampai di sini taxi nya gw yang bayarin...".

Ohh rupanya naik kereta jadi masalah. Mereka pikir saya naik kereta karena tidak memiliki uang untuk taxi... Bisa jadi begitu...Yang jelas ongkos kereta (hanya Rp. 2000,. saja), tentu tidak seberapa jika dibandingkan dengan ongkos taxi. Saya bisa menghemat uang lebih banyak  jika menggunakan kereta untuk transportasi.

Namun, sesungguhnya apa yang kita lakukan tidak bisa melulu diukur dengan uang. Tahukah teman, bahwa dengan menumpang kereta (kereta rakyat) itu, saya bisa melihat cerminan bangsa ini. Dalam kereta itulah saya bisa melihat langsung bagaimana anak-anak mencari sesuap nasi dengan mengemis, dalam kereta itu saya bisa melihat bagaimana si buta atau si cacat mencari sesuap nasi dengan mengemis, dalam kereta itu juga saya bisa melihat ada manusia-manusia yang sengaja membuat simbol-simbol tertentu pada dirinya, sedikit memanipulasi atibut-atribut yang melekat dalam dirinya, sehingga orang lain akan merasa iba lalu akan memberikan uang kepadanya. Dalam kereta itupun saya bisa melihat bagaimana orang-orang berjuang untuk sesuap nasi dengan berjualan dan ngamen.

Sepanjang jalan yang dilalui kereta, saya dapat melihat pemukiman kumuh, rumah-rumah yang hanya berlantaikan tanah, becek jika hujan sebentar saja. Saya dapat melihat anak-anak yang berlarian tanpa baju, dengan kulit dan rambut yang kumal, bermain di tanah sekitar rumah mereka. Saya juga dapat melihat orang-orang yang tinggal di pinggiran rel kereta dengan hanya bermodalkan beberapa kardus sebagai alas tidur atau sebagai penutup tubuh jika hujan. Satu pandangan yang amat kontras jika kita melihat sinetron-sinetron di Indonesia.  Satu potret...yah inilah potret bangsaku...potret anak-anak bangsa yang barangkali setiap hari hanya berfikir untuk bisa makan pada hari itu...

Bagaimana mungkin kita bisa memahami seperti apa kemiskinan, jika kita tidak pernah melihat langsung seperti apa yang saya lihat ketika naik kereta (kereta rakyat, non AC, tentunya). Apalagi jika yang kita tonton sehari-hari adalah sinetron Indonesia, atau orang-orang di mall, di Plaza Indonesia, atau di tempat-tempat yang seringkali hanya mempertontonkan kemewahan dan gemerlapnya ibukota.

Kompleksitas potret anak bangsa ini menurut saya hanya bisa dilihat dari dalam kereta...jika di tempat lain barangkali kita hanya akan menjumpai potret sepotong-sepotong saja. Oleh sebab itu, pengalaman naik kereta rakyat itu sangat berharga bagi saya.

Salam...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun