Mohon tunggu...
YETY LAILATUROHMAH
YETY LAILATUROHMAH Mohon Tunggu... Penulis - Seorang figuran yang ingin terlihat menonjol

Pengamat sosial belanja ke pasar; Tidak lupa membawa keranjang; Jangan risau, jangan pula gusar; Menulis saja supaya jiwamu dapat dikenang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tikus Parlemen dalam Udara Fiksi Modern karya M. Shoim Anwar

15 Agustus 2024   18:18 Diperbarui: 15 Agustus 2024   18:23 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat itu, tidak semua orang Indonesia bisa bersekolah di sekolah Eropa. Akibatnya, banyak orang Indonesia yang bodoh dan tertinggal. Saya tidak tahu apakah gubuk bambu Anda adalah sarang dan pertumbuhan. Semuanya jahat, orang perlu secara finansial meningkatkan rumah mereka sehingga mereka bukan sarang tikus. Pada saat itu, pemerintah mengabaikan pengobatan dan pengobatan orang-orang populer. Bahkan, penyakit ini dapat diperpanjang kepada semua orang, termasuk rakyat mereka, atau bahkan lebih menyebar ke daerah lain selain Malang.

Kebijakan Pemerintah Hindia Timur Belanda  saat itu untuk menanggapi wabah tersebut adalah dengan menutup akses jalan dan kereta api dari dan menuju Malang. Sampai merobohkan rumah berdinding bambu untuk membasmi sarang tikus. Terisolasinya kota Malang tidak berlangsung lama akibat minimnya tenaga kerja pertanian yang berimbas pada sektor ekonomi. Akibatnya, ada lonjakan kasus yang lebih tinggi. Misalnya, pada tahun 1913, jumlah kasus meningkat lima kali lipat dari 11.000 pada tahun sebelumnya. Nama dr Cipto Mangunkusumo menjadi yang paling berpengaruh pada masa wabah pes. Tak hanya itu, pemerintah Hindia Belanda telah memberlakukan kebijakan untuk meluluskan mahasiswa kedokteran  STOVIA yang mampu merawat pasien pes dengan mempertaruhkan nyawanya tanpa menulis disertasi. Lagi pula, hanya segelintir dokter, Bumiputera, yang mengobati penyakit  pes. Masalah lain yang harus diatasi adalah pengucilan oleh komunitas orang-orang dengan penyakit pes.

 Sebagai PhD, Cipto meminta  pemerintah untuk menugaskannya ke Malang. Saat itu ada beberapa dokter Eropa di Batavia, tetapi mengingat wabah yang terjadi di Eropa 500 tahun yang lalu, tidak ada yang mau turun tangan untuk membantu orang. Ironisnya, para dokter Eropa ini menghina dokter Jawa dengan menyebut mereka  pengecut. Nyatanya, bagaimanapun, tidak ada kemanusiaan untuk membantu korban pes. Pemerintah acuh tak acuh dengan kondisi rakyat, dokter enggan turun tangan, dan mereka yang kurang ilmu, ditambah lagi dengan hinaan dokter Eropa kepada dokter Jawa yang menanamkan semangat dokter. Cipto untuk membantu orang. Negara ini menjadi dokter. Cipto semakin yakin bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dari penjajah. Dokter sesampainya di Malang. Cipto segera menyisir  desa terpencil yang terkena wabah pes. Kemudian dokter. Cipto pingsan tanpa  masker. Seperti yang kita ketahui, penyakit pes bahkan bisa menyerang paru-paru. Dia menyerahkan takdirnya kepada Tuhan. Saat mengobati wabah tersebut, pemerintah Hindia Belanda meminta 20 orang dokter untuk membantu masyarakat. Hanya dua dari 20 yang menunjukkan motivasi mereka. Kedua dokter tersebut merupakan mahasiswa Indonesia. Situasi ini sangat sulit mengingat bagaimana menangani penyakit pes dengan tingkat korban yang  sebanding dengan jumlah tenaga medis saat itu. Apalagi alat kesehatan pada masa itu belum secanggih sekarang. Ketersediaan APD juga sangat minim. Mereka yang berani turun  membantu orang adalah mereka yang berhasil memenuhi panggilannya sebagai tenaga medis profesional dan memiliki derajat kemanusiaan yang tinggi. 

Empat tahun setelah wabah pes menyerang Indonesia, dalam sambutannya, Cipto memaparkan penjelasan ilmiah tentang penyakit pes. Mulai dari apa itu penyakit pes, sejarahnya, jenis penyakit pes, bagaimana bakteri ini menginfeksi manusia, dan bagaimana cara memberantasnya. Juga, dalam pidato ini, Dr. Cipto berkata: "Adalah tidak bertanggungjawab untuk membiarkan beribu-ribu orang jatuh menjadi korban pes dengan harapan wabah itu akhirnya bosan meminta korban orang Jawa. Tidak! Kita tidak boleh lengah!" Demikian penjelasan dr. Cipto membakar semangat nasionalisme. Pidatonya dalam bahasa Belanda juga membuktikan kepada Belanda bahwa orang pribumi bisa meniru intelektual kulit putih.

Pada tahun 1915, pemerintah Hindia Belanda membentuk lembaga khusus untuk memberantas penyakit pes. Lembaga ini bernama Dienst der Pestbestrijding. Tindakan pemerintah kolonial mungkin sudah terlambat. Lima tahun kemudian, sebuah epidemi pecah, menewaskan puluhan ribu orang, dan kemudian lembaga khusus ini didirikan. Tapi bukankah itu lebih baik  daripada memperlambat? Lembaga tersebut bertugas melakukan kegiatan preventif yang bersifat pencegahan dengan mengedukasi masyarakat umum tentang penyebaran dan gejala penyakit pes. Selain itu, fasilitas tersebut menerapkan tindakan penyembuhan berupa pengobatan dan perawatan bagi korban  positif wabah, dilanjutkan dengan proses pemulihan dan penyembuhan. Sejak itu,  banyak rumah sakit umum dan rumah sakit umum telah dibangun. Upaya juga dilakukan untuk membersihkan dan membangun rumah warga untuk mencegah tikus  bersarang di sana. Kemudian, pada tahun 1918, dilaporkan bahwa wabah pes telah berkurang. Pada 1930-an, kasus baru pes pes jarang dilaporkan di surat kabar. Kemudian, pada tahun 1934, seorang dokter bernama Lewis "Lou" Otten menemukan vaksin pes yang aman bagi manusia. Nama Dr. Otten pun menjadi abadi sebagai  salah satu nama jalan di Kota Bandung.

Berdasarkan penjelasan di atas, bangsa Indonesia pada hakekatnya masih dijajah oleh kekuasaan (pemerintah). Bentuk penjajahan yang dijajah oleh poskolonialisme (melawan kolonialisme) tidak hanya berupa penjajahan fisik, tetapi juga membawa berbagai kesengsaraan dan penghinaan terhadap fitrah umat manusia, melainkan juga bisa melalui bangunan wacana dan pengetahuan termasuk dalam bentuk bahasa. Postkolonial juga mengkritik pendekatan dikotomi, yang merupakan penyederhanaan yang menyesatkan: bentuk-bentuk kekuasaan yang  negatif akan mengarah pada hubungan-hubungan yang negatif. Rakyat sebagai manusia kehilangan nilai-nilai kemanusian yang bersifat negatif. Ketika rakyat diposisikan sedemikian rupa, rakyat dan kekuasaan akan menimbulkan saling beroposisi. Oposisi pertama yaitu pihak yang memposisikan sebagai kekuatan yang berhak mendominasi kekuatan lain. Oposisi kedua yaitu pihak yang diposisikan sebagai kekuatan yang tertindas akibat hubungan keduanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun