Mohon tunggu...
YETY LAILATUROHMAH
YETY LAILATUROHMAH Mohon Tunggu... Penulis - Seorang figuran yang ingin terlihat menonjol

Pengamat sosial belanja ke pasar; Tidak lupa membawa keranjang; Jangan risau, jangan pula gusar; Menulis saja supaya jiwamu dapat dikenang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tikus Parlemen dalam Udara Fiksi Modern karya M. Shoim Anwar

15 Agustus 2024   18:18 Diperbarui: 15 Agustus 2024   18:23 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

REMINISENSI PAGEBLUK SAMPAR DALAM CERPEN "TIKUS PARLEMEN" KARYA M. SHOIM ANWAR (SEBUAH KAJIAN POSKOLONIAL)

Cerpen "Tikus Parlemen" merupakan cerminan produk budaya yang kreatif yang ditulis oleh novelis handal, M.shoim anwar. M. Shoim selalu berhasil menciptakan dan memberikan kesan yang sangat berharga bagi pembaca untuk mencerna makna kehidupan melalui amanat yang diselipkan di setiap karya-karyanya. Dengan menangkap amanat dalam karya sastra, pembaca akan lebih kritis dalam berpikir dan memaknai kehidupan ini.

Cerpen "Tikus Parlemen" yang ditulis pada 17 November 2002 ini bercerita tentang gejolak komplotan tikus yang memicu berbagai konflik di seluruh penjuru kota. Menciptakan huru-hara yang mampu membuat semua anggota parlemen dan seluruh masyarakat kualahan. Gedung parlemen di jadikan sebagai markas besar para komplotan tikus hingga mereka mampu membuat dan membuka delegasi Akbar yang Masyur di dalamnya. Tikus-tikus itu pun mampu membuat siapapun yang menatap menjadi geram. Hingga di akhir cerita dikisahkan jajaran parlemen hingga masyarakat sepakat untuk membakar markas besar tersebut guna memusnakan susur galur komplotan tikus congkak itu.

Seperti cerpen-cerpen sebelumnya, M. Shoim Anwar melempar sehelai benang merah yang mengulur ke visualisasi pembaca terhadap suatu peristiwa lampau yang pernah terjadi di Paris Van East Java. Suatu fenomena yang terkait dengan pandemi sampar dan berujung dengan bakar-membakar. Sehingga Cerpen "Tikus Parlemen" karya M.Shoim Anwar sangat menarik untuk dikaji dengan teori poskolonial sebagai bahan pembelajaran bagi pembaca juga sebagai bahan pengingat bagi pihak berwenang dalam menangani suatu wabah.

Sebelum melangkah lebih jauh, terlebih dahulu perlu diketahui dan dijelaskan apa itu Poskolonialisme. Kata poskolonialisme (postcolonialism) terdiri dari awalan post-, kata dasar koloni; dan akhiran -isme. Awalan post- sebagai penanda waktu yang berarti setelah; tetapi, post- bukan hanya menyangkut waktu (McHale, 1987); melainkan sebuah konsep yang menyangkal tentang wacana kolonialisme.

Penjelasan di atas, mengisyaratkan poskolonialisme menciptakan kehidupan rasisme, relasi kuasa yang timpang, budaya subaltern, hibrida, dan kreativitas melalui kesadaran dan gagasan, daripada propaganda perang dan kekerasan fisik.  tetapi didialektikakan melalui kesadaran atau gagasan. Dengan perkataan lain, postkolonialisme sebagai alat atau perangkat kritik yang melihat dengan "jelas" bagaimana masyarakat budaya, sosial dan ekonomi didorong untuk kepentingan penguasa atau kelas pusat. Postkolonial berusaha untuk membongkar mitos "mengerdilkan" kekuatan yang menentukan mendominasi hegemoni melalui gerakan budaya dan kesadaran halus. Karena itu, poskolonialisme dapat dikatakan sebagai perlawanan sehari-hari.

Ciri utama teori kritis dan postmodern adalah bahwa teori sosial membantu meningkatkan kesadaran dan wawasan yang cenderung mengubah lingkungan sosial budaya dengan cara yang lebih  rasional dan manusiawi. Kolonis, sebagai kelompok yang lebih baik, daripada yang terjajah, seperti yang digambarkan Leela Gandhi  hubungan antara terjajah (atau bekas koloni) sebagai hubungan hegemonik, lebih rendah. Dan hegemoni antara penjajah memunculkan apa yang disebut dominasi dan subordinasi. Pola hubungan  ini menciptakan citra yang tidak menyenangkan  sebagai  barbar, tidak beradab, bodoh, aneh, misterius, dan terjajah sebagai masyarakat yang irasional. Sebagai negara yang telah dijajah selama kurang lebih tiga setengah abad, jelaslah bahwa kekayaan budaya Indonesia mengandung berbagai persoalan yang perlu dipahami dari perspektif teori poskolonial.

Jika keadaan ini dikaitkan dengan peristiwa lampau, sebelum ada wabah Covid-19, Indonesia juga pernah diserang wabah yang cukup mematikan. Wabah ini membuat aktivitas masyarakat sempat lumpuh dan membuat tenaga medis kewalahan. Wabah itu bernama pes. Wabah yang disebabkan bakteri Yersinia Pestis (pes).

Penyakit ini berasal dari tikus yang terinfeksi bakteri pes. Penularan terjadi melalui kutu pada tubuh tikus yang menggigit manusia. Orang yang terkena penyakit pes dapat menyebarkan penyakit pes ke orang lain. Mirip dengan penyebaran virus Covid-19. Penyakit ini menimbulkan berbagai gejala  tergantung pada bagian tubuh yang terinfeksi. Bagian tubuh yang dapat diserang bakteri ini adalah getah bening, paru-paru, dan pembuluh darah. Oleh karena itu, penyakit ini diklasifikasikan sebagai infeksi yang mematikan. Pada tahun 1400, Eropa diserang penyakit pes. Penyakit ini disebut black death atau kematian hitam. Epidemi itu menewaskan hingga 25 juta orang, atau lebih dari sepertiga  penduduk Eropa saat itu.

Pada tahun 1910 wabah datang ke Indonesia. Dari tahun 1905 hingga 1910, Indonesia mengalami gagal panen selama pemerintahan Hindia Belanda. Akibatnya, ketersediaan  pangan terus menurun sementara masyarakat perlu makan setiap hari. Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk mengimpor beras dari Myanmar. Bahkan, masih ada peringatan bahwa wabah pes sedang terjadi di Myanmar. Namun karena kesulitan dan konsumsi yang besar, pemerintah masih mengimpor beras ini karena tikus  Myanmar berbeda dengan tikus lokal. Akhirnya beras impor dari Myanmar masuk ke Indonesia melalui pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya dan dikirim ke Malang. Ternyata karung beras impor itu berisi seekor tikus yang terjangkit penyakit pes. Ternyata tikus  bisa beradaptasi dengan Malang dan hidup. Sebulan kemudian, 17 orang dilaporkan tewas di Malang. Media komunikasi pada saat itu belum matang seperti sekarang ini, sehingga menghambat penyebaran informasi tentang wabah tersebut.

 Timbul pertanyaan mengapa bakteri ini pertama kali menyebar di Malang, bukan di Surabaya. Saat itu, Malang dikenal memiliki daerah yang lebih sejuk dibandingkan daerah lainnya. Wabah pes  bisa bertahan  lebih lama di daerah dingin. Ini memungkinkan tikus yang terinfeksi penyakit pes untuk bertahan hidup dan menyerang manusia. Pada saat wabah ini menjangkit rakyat Indonesia, termasuk Malang yang berada dalam era kolonialisme feodal dan rasisme. Saat itu, kekuasaan berada di tangan penjajah, raja, pejabat, dan bangsawan. Perorangan yang bukan termasuk golongan ini termasuk golongan "mayoritas" atau masyarakat umum. Adanya kolonialisme feodal dan rasisme mensejahterakan kehidupan kasta saat itu. Banyak ketidakadilan, kurangnya kebebasan, dan penghinaan terhadap manusia. Pada saat, mereka yang berkuasa bertindak diskriminatif dan sewenang-wenang terhadap masyarakat adat. Kalau boleh dibilang begitu, mereka hanya mencari keamanan dan kenyamanan bagi rakyatnya sendiri. Mereka segan-segan untuk mendekati masyarakat dalam kesehariannya, apalagi membantu mereka  yang terkena wabah. Bahkan, mereka membutuhkan orang-orang yang mengancam kerja kasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun