Mohon tunggu...
Yety Ursel
Yety Ursel Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu merasa kurang banyak tau

Menulis untuk menyalurkan energi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Benci Hari Ibu

23 Desember 2015   12:04 Diperbarui: 23 Desember 2015   13:22 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku benci hari ibu, aku benci setiap status-status facebook, tweeter, ataupun media-media social bila  sudah dipenuhi dengan tulisan-tulisan tentang cinta ibu. Bagiku semua itu sangat menyakitkan karena sejak aku tau bahwa hidupku berbeda dengan  teman-temanku yang lain, aku sungguh tak percaya pada ketulusan kasih ibu.

Sejak kecil aku tinggal bersama Bapak dan perempuan lain yang aku sebut Mama. Bukan dia perempuan yang telah melahirkanku. Bukan di kakinya terdapat surgaku. Ibuku sendiri sekarang entah di mana. Ibu meninggalkan aku dan Bapak untuk bekerja di luar  negeri sebagai TKW.

Sejak kali pertama dia pamit kepadaku, Ibu tak pernah lagi kulihat. Di awal-awal keberadaannya di luar negeri Ibu masih rajin mengirimiku kabar melalui sms, walau hanya beberapa kata saja, tapi kemudian kebiasaan Ibu itu semakin hari semakin menghilang hingga akhirnya aku tak lagi menerima kabar-kabar itu. Dari obrolan orang-orang yang sempat kudengar ternyata Ibu sudah memiliki keluarga baru di sana, dengan sesame TKW. Menurut cerita dari orang-orang juga aku mengetahui bahwa itu artinya Bapak dan Ibu  bercerai.  Ibu benar-benar melupakanku.

Sendiri Bapak membesarkanku. Tentunya ini tidak mudah karena Bapak seringkali harus meninggalkanku hingga larut malam bahkan kadang-kadang Bapak tidak pulang untuk beberapa hari. Bapak bekerja sebagai supir mobil rentalan.  Kalau Bapak tidak bisa pulang Bapak meminta Mbak Sumi, anak seorang tetangga untuk menemaniku. Inilah perempuan yang akhirnya harus kupanggil Mama.

Mbak Sumi itu perempuan baik. Usianya baru 18 tahun. Menikah dengan Bapak pastilah bukan cita-citanya, hanya  sebuah simbiosis mutualisme, Bapak merasa terbantu karena ada yang menjaagaku dan Mbak Sumi bisa lepas dari perlakuan tidak terpuji dari ayah kandungnya sendir. Meskipun Mbak Sumi baik dan aku memanggilnya Mama, kenyataan bahwa dia bukan perempuan yang melahirkanku tak dapat kupungkiri.

Bagiku, Mbak Sumi  tetap hanya seorang mbak. Perempuan yang dititipi aku oleh Bapak. Ibuku adalah dia yang telah melahirkanku walau akhirnya meninggalkan dan melupakanku. Jadi sesungguhnya siapa diantara mereka yang layak menerima persembahanku di hari ibu ini?

 

Ibu

Di lantunan doamu, kutitipkan harap...

 Gambar dari :inilahbanten.com

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun