Mohon tunggu...
Yety Ursel
Yety Ursel Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu merasa kurang banyak tau

Menulis untuk menyalurkan energi

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Undangan Makan Malam

17 Desember 2015   13:30 Diperbarui: 17 Desember 2015   13:58 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

Pagi ini tiba-tiba halaman rumah Kang Inin, kades terpilih Desa Rangkat,  dipenuhi warga yang berdemo “Turunkan Sekdes! Turunkan Sekdes!” teriakan-teriakan itulah yang membuat Kades Kribo terpaksa membuka matanya lebih awal dari biasanya.

“Ada apa sih rebut-ribut?” tanyanya dalam hati  sambil mengucek-ucek mata yang masih berat dengan punggung tangannya. Tanpa berusaha membasuh mukanya terlebih dahulu apalagi menggosok gigi, Kades Kribo menemui warga yang sudah semakin ramai.

“Ada apa ini? Kok datang berombongan begini?  Apa ada kampong yang kebanjiran dan mau mengungsi di rumah saya?” Kades bertanya dengan gaya yang dibuat seberwibawa mungkin, walau gagal.

“Itu sekdes gak becus kerjanya. Masa pilih-pilih kasih begitu?” teriak RT Fitri Yenti dari kampung Puisi.

“Maksud anda  tidak becus bagaimana?” Kang Kribo bertanya dengan lembut, maklum yang bertanya ini RT terbawel seantero desa apalagi sekarang sedang hamil muda jadi harus hati-hati, pikirnya.

“Kemarin itu kan  Mommy  De Rangkat mengundang warga untuk makan malam, dinner gitu, acara syukuran atas kesembuhan anaknya Jingga Rangkat. Nah saya kan ketua RT, saya juga rajin ngasih pendapat ke Mommy, rajin sowan, suka dimintai tolong mijit, kalau Mommy pusing ngurusin anak-anaknya yang bandel-bandel. Masa saya gak diundang” Fitri menjelaskan dengan berapi-api sepeti sedang membaca puisi perjuangan.

“Saya juga gak diundang, Pak Kades!” kali ini yang berteriak mantan RW Eddy Priyatna.

“Saya ini kan sesepuh desa, mantan pejabat teras, saya juga rajin bersilaturahmi dengan Mommy. Apalagi istri saya, selalu menyiapkan tumpeng besar untuk mommy kalau beliau merayakan ulang tahun. Saya juga dilewat saja. Padahal.. itu…siapa tuh…itu warga baru yang baru seminggu tinggal di sini, diundang. Satu lagi yang aneh… Warga yang sudah lama gak pernah pulang kampung, jalan pulang saja entah ingat entah tidak, diundang juga.” Pak Eddy Priyatna meski terlihat emosi tapi mengungkapkan semuanya dengan lebih tenang.

“Lho, ini urusan undangan makan malam ke rumah Mommy? Yang ngundang kan Mommy, Kok Sekdes saya yang harus turun?”

“Pak Kades, yang update dong. Jangan Kudet gitu. Yang ngundang memang Mommy, tapi yang menentukan orang-orangnya, ya, itu..Sekdes… Eike aja mantan sekprinya Kades, juga gak diundang. Pokoknya tu Kades gak professional kerjanya.” Acik ikut nimbrung.

“Oke, semua keluhan saya tampung. Sekarang silakan bubar saja karena kalau di sini terus saya tidak bisa nyuguhin minum, maklum belum punya istri, jadi tidak ada yang masakin air, Oh, ya… Kembang kok tidak ke sini, ya?” tanyanya sambil melilit-lilit rambut kribonya dengan ujung jari.

“uuuuu…” teriak warga serempak sambil bergerak meninggalkan rumah Kades.

Inin segera menutup pintu rumahnya dengan nafas lega setelah seluruh punggung warga tidak lagi terlihat.

Masih juga belum cuci muka apalagi gosok gigi, Kades menghubungi sekdes dengan telepon genggam jadulnya. Kades Elfiet yang dihubungi sedang berada di rumah Mommy, kabarnya sih akan menerima pergantian transport karena sudah membantu Mommy mengundang warga.

“Sekdes, mani  ngerakeun maneh teh.  Coba jelaskan bagaimana cara kamu memilih warga yang diundang  makan malam ke rumah Mommy?” Inin bersuara garang dan membuat Elfietri, sekdes imut itu nyaris terjengkang dari tempat duduknya.

“Itu… eh… begini Kang, Mommy kan ngasih taunya dadakan pisan jadi saya teh bingung. Terus saya minta tolong adik saya untuk mengundi seluruh nama warga yang ada di buku induk warga.” Jawab Elfietri perlahan supaya tidak terdengar oleh Mommy.

“Diundi?” Mommy teh bukan pabrik odol yang lagi promosi, kenapa diundi?”

“Kan saya tadi sudah bilang… undangannya mendadak, Pak Kades.” El Fietri mencoba membela diri.

“Semendadak apa pun, kamu seharusnya tetap professional. Di kantor desa  kan ada data base yang bisa kamu akses di rumah. Kamu bisa pilah, berdasarkan yang paling rajin bayar pajak,  misalnya  atau kamu juga bisa telepon para RT, mereka pasti lebih kenal warganya sendiri. Yang jelas harus berdasarkan kriteria tertentu, jadi tidak bikin rame” Kang Kades nyerocos memberi pengarahan.

“Satu lagi pertanyaan saya, Mengapa hanya seratus orang? Kabarnya yang diundang itu duaratus lima puluh orang?”

“Eh…eh…itu Pak Kades,  eh…begini….sebetulnya aku sudah punya 250 nama itu, tapi…tapi…waktu aku menghubungi mereka satu persatu, aku ngantuk berat..terus pas di nama yang keseratus…aku..aku  ketiduran…begitu ceritanya, Pak Kades”

Telepon jadul Inin tiba-tiba mati, pulsanya habis, padahal kemarahannya tengah berada pada puncaknya.

“El Fietriiiiiii………….” teriaknya membahana ke seluruh angkasa Desa Rangkat. Awalnya, supaya lebih ekspresif Inin akan berteriak sambil membanting telepon genggamnya, tapi untungnya segera tersadar, telepon genggam itu modal satu-satunya untuk menghubungi Kembang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun