Mohon tunggu...
Yety Ursel
Yety Ursel Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu merasa kurang banyak tau

Menulis untuk menyalurkan energi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Maukah Kau Menikah Denganku?

25 November 2015   19:28 Diperbarui: 25 November 2015   19:36 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

“Maukah kau menikah denganku?” Sebuah pertanyaan yang tak terduga terlontar dengan ringannya dari mulutmu. Bagaimana mungkin, kita baru menginjak semester tiga dan usiaku baru dua puluh satu tahun.  Usiamu memang terpaut agak jauh denganku. Katamu, kamu terlambat kuliah karena selama ini kamu bekerja agar bisa membiayai kuliahmu sendiri tanpa menyusahkan orang tuamu. Sungguh perbuatan mulia

Aku yang terkesima dengan pertanyaanmu hanya terdiam. Aku tidak bisa menerjemahkan rasa yang tengah bergejolak dan menguasai pikiranku. Bahagaikah aku?...Entahlah.

Kesepakatan kita berpacaran belumlah terlalu lama. Gencarnya usaha yang kamu lakukanlah yang  telah membuatku merasa tak enak hati dan akhirnya setuju untuk menjadi kekasihmu. Jujur, sebenarnya tak satu pun kriteria yang aku tetapkan ada pada  dirimu. Aku yang selalu mengagumi kecerdasan, kemandirian, dan bebarapa karakter ideal lainnya,  melupakan begitu saja standar-standar yang telah aku buat. Nilai-nilai ujianku selalu jauh di atas nilaimu. Dalam banyak hal aku selalu lebih baik darimu. Satu hal yang membuat aku tak bisa berpaling darimu, besarnya cintamu padaku.

Aku   terlena dengan caramu mencintaiku. Kau seakan tak pernah membiarkan ada seekor nyamuk kecil pun menyentuh kulitku. Aku tersanjung karenanya. Kau telah berhasil membuat aku selalu merasa bangga saat berada di sisimu.

“Maukah kau menikah denganku?” Pertanyaan yang sama terus kau ulangi pada setiap kesempatan yang ada.

Lagi, dengan alasan tak enak hati akhirnya aku mengangguk setuju. Aku setuju untuk menikah denganmu. Aku setuju untuk mengikatkan keindahan masa mudaku pada ikatan pernikahan yang kau janjikan penuh dengan kebahagiaan.

Tidak mulus jalan yang kita tempuh untuk mewujudkannya. Usiaku masih terlalu muda. Orang tuaku menolak keinginan kita. Mereka ingin aku menyelesaikan kuliahku dulu. Tapi, dengan berbagai dalil yang kita  utarakan serta usaha keras untuk meyakinkan mereka bahwa kita sudah sangat siap melakoninya, mereka pun akhirnya menyerah.

Satu minggu menjelang pernikahan kita, ketika persiapan yang dilakukan orang tuaku sudah nyaris sempurna. Undangan telah tersebar. Kita hanya tinggal menunggu waktu,

“Her, aku ingin berterus terang. Sebelumnya aku mohon maaf” Ucapanmu berhasil membuatku menghentikan segala aktivitas yang tengah kulakukan. Aku berpaling ke arahmu. Menatap wajahmu lekat-lekat dengan rasa ingin tau dan kecemasan yang menguasai.

“Sebenarnya…” kau menggantung kata-katamu, wajahmu tegang, helaan nafasmu terdengar sangat berat. Dadaku yang berdegup kencang membuatku hanya bisa menunggu sampai kau melanjutkan ucapanmu.

“Sebenarnya…aku…aku sudah…menikah” lanjutmu dengan suara perlahan dan terbata.

Seperti mendengar sebuah berita kematian, tubuhku tiba-tiba tak bertenaga dan terkulai lunglai pada sandaran kursi yang tengah aku duduki.

“Hera…Maafkan aku… Aku tidak mencintainya…Aku sungguh ingin menikah denganmu…” Entah kata-kata apa lagi yang keluar dari mulutmu. Aku sama sekali tak mampu mencerna.

Yang aku rasakan saat itu  seperti tikus kecil yang  terjebak dalam sebuah perangkap dalam sebuah ruang yang sangat gelap. Aku tidak tau bagaimana harus menghadapi kenyataan ini. Kamu membuatku merasa terhina.  Begitu sempurna caramu memerangkapku.

Menikah dengan laki-laki yang telah beristri bukanlah cita-citaku. Aku bahkan membencinya. Laki-laki yang menikahi wanita lain dengan alasan tak mencintai istrinya, dalam pandanganku adalah seorang pengecut. Seorang laki-laki yang gagal membuktikan perannya sebagai pemimpin keluarga.

Pernikahan ini harus aku gagalkan! Pikiran ini yang pertama muncul dalam benakku sesaat berikutnya. Tapi, mampukah aku melakukan hal ini? Bagaimana aku harus menjelaskannya kepada kedua orang tuaku? Apa yang akan terjadi kepada mereka setelah mendengar semua ini?...Aku bimbang.

Kecintaanku kepada kedua orang tuaku membuat aku berpikir lain. Aku tak ingin mempermalukan mereka. Aku tidak boleh melakukan itu. Dengan rahasia besar yang aku simpan sendiri, kita akhirnya menikah. Pernikahan yang akan membawaku pada kebahagiaan, tak lagi ada.

“Maukah kau menikah denganku?” Ketika kepalaku terangguk saat itulah aku merasakan duniaku berakhir.

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun