“Maukah kau menikah denganku?” Sebuah pertanyaan yang tak terduga terlontar dengan ringannya dari mulutmu. Bagaimana mungkin, kita baru menginjak semester tiga dan usiaku baru dua puluh satu tahun. Usiamu memang terpaut agak jauh denganku. Katamu, kamu terlambat kuliah karena selama ini kamu bekerja agar bisa membiayai kuliahmu sendiri tanpa menyusahkan orang tuamu. Sungguh perbuatan mulia
Aku yang terkesima dengan pertanyaanmu hanya terdiam. Aku tidak bisa menerjemahkan rasa yang tengah bergejolak dan menguasai pikiranku. Bahagaikah aku?...Entahlah.
Kesepakatan kita berpacaran belumlah terlalu lama. Gencarnya usaha yang kamu lakukanlah yang telah membuatku merasa tak enak hati dan akhirnya setuju untuk menjadi kekasihmu. Jujur, sebenarnya tak satu pun kriteria yang aku tetapkan ada pada dirimu. Aku yang selalu mengagumi kecerdasan, kemandirian, dan bebarapa karakter ideal lainnya, melupakan begitu saja standar-standar yang telah aku buat. Nilai-nilai ujianku selalu jauh di atas nilaimu. Dalam banyak hal aku selalu lebih baik darimu. Satu hal yang membuat aku tak bisa berpaling darimu, besarnya cintamu padaku.
Aku terlena dengan caramu mencintaiku. Kau seakan tak pernah membiarkan ada seekor nyamuk kecil pun menyentuh kulitku. Aku tersanjung karenanya. Kau telah berhasil membuat aku selalu merasa bangga saat berada di sisimu.
“Maukah kau menikah denganku?” Pertanyaan yang sama terus kau ulangi pada setiap kesempatan yang ada.
Lagi, dengan alasan tak enak hati akhirnya aku mengangguk setuju. Aku setuju untuk menikah denganmu. Aku setuju untuk mengikatkan keindahan masa mudaku pada ikatan pernikahan yang kau janjikan penuh dengan kebahagiaan.
Tidak mulus jalan yang kita tempuh untuk mewujudkannya. Usiaku masih terlalu muda. Orang tuaku menolak keinginan kita. Mereka ingin aku menyelesaikan kuliahku dulu. Tapi, dengan berbagai dalil yang kita utarakan serta usaha keras untuk meyakinkan mereka bahwa kita sudah sangat siap melakoninya, mereka pun akhirnya menyerah.
Satu minggu menjelang pernikahan kita, ketika persiapan yang dilakukan orang tuaku sudah nyaris sempurna. Undangan telah tersebar. Kita hanya tinggal menunggu waktu,
“Her, aku ingin berterus terang. Sebelumnya aku mohon maaf” Ucapanmu berhasil membuatku menghentikan segala aktivitas yang tengah kulakukan. Aku berpaling ke arahmu. Menatap wajahmu lekat-lekat dengan rasa ingin tau dan kecemasan yang menguasai.
“Sebenarnya…” kau menggantung kata-katamu, wajahmu tegang, helaan nafasmu terdengar sangat berat. Dadaku yang berdegup kencang membuatku hanya bisa menunggu sampai kau melanjutkan ucapanmu.
“Sebenarnya…aku…aku sudah…menikah” lanjutmu dengan suara perlahan dan terbata.