“Mama lusa mau ke Semarang. Kakakmu Risma dapat tugas ke luar kota selama dua minggu. Dia meminta Mama untuk menjaga Disa, kasian kalau tidak ada yang menemani.” Mama menyampaikan ini usai berbicara melalui telepon genggamnya dengan Kak Risma.
“Aku yang mengantar, ya Ma. Aku ingin juga main ke Semarang,” ujarku sambil mempererat tali sepatuku yang sebelah kanan.
“Gak usahlah. Kamu kan sekolah,” jawab mama sambil meneruskan menyapu rumah yang tadi sempat terhenti karena telepon dari Kak Risma.
“Mama pergi sendiri?” tanyaku lagi. Kali ini saat berpamitan untuk berangkat ke sekolah.
“Dengan Yoga. Mama kan tidak mungkin meninggalkannya,” jawaban yang ini lagi. Selalu jawaban ini yang aku dengar setiap kali dia bermaksud mengajak Yoga dan meninggalkanku.
Setiap kali kata-kata itu sudah diucapkan Mama aku akan berhenti bicara. “sabar ya, De,” lanjut Mama kemudian. Aku juga tak menanggapi ucapan Mama dan segera melangkahkan kaki meninggalkan rumah.
Usiaku dengan Yoga hanya tertaut 30 menit. Dia yang lahir lebih dahulu. Ketika masih kecil kami selalu mengenakan pakaian yang sama, sepatu yang sama, bahkan semua perlengkapan sekolah kami juga selalu sama. Tapi, sejak teman-temanku selalu mengolok-olok, aku pun menyadari bahwa aku dan dia berbeda, aku mulai menolak bila harus mengenakan pakaian atau apapun yang sama dengannya. Aku tak mau dikatakan sama dengannya.
Semakin hari perbadaan antara aku dan Yoga semakin kentara. Yoga bertubuh lebih besar, bermata lebih sipi, berbibir lebih tebal. Yoga tidak banyak bicara. Semakin jelas perbedaan itu, semakin jelas pula perbedaan perhatian yang diberikan oleh Mama kepada kami berdua.
Mama selalu saja mendahulukan keinginan Yoga dari pada keinginanku, “Yoga itu tidak seberuntung kamu, De. Dia tidak secerdas kamu. Walau badannya besar, dia tidak sekuat kamu. Kamu bisa mengisi hari-harimu bersama dengan teman-temanmu. Dia hanya punya kita. Itulah yang membuat Mama tidak sampai hati jika harus membuatnya kecewa.” Ucapan Mama yang penjang lebar ini sudah pasti tidak bisa kubantah walaupun sebenarnya tidak aku pahami apalagi aku setujui.”
Sebagai anak bungsu, seharusnya Mama memanjakan aku. Jangankan memanjakan, justru Mama selalu memintaku mengalah.
“Ma, Yoga ni, Ma,” teriakku panik. Aku dan temanku Firman tengah seru-seruan bermain badminton di halaman depan rumah. Yoga tiba-tiba datang dan meminta raketku. Dia terus berusaha merebut raket itu dariku. Dengan kesal akhirnya aku melepaskan raket yang sedang ditariknya dengan keras itu sehingga dia terjengkang ke belakang. Yoga pinsan.