Sumi masih terisak sambil duduk dengan memeluk kaki yang terlipat di depan dadanya. Sampai sebuah taksi yang melintasinya berhenti tidak jauh dari tempatnya duduk. Taksi itu berhenti secara mendadak kemudian mundur, mendekat. Taksi berhenti tepat di hadapan Sumi. Dari bagian belakang muncul sebuah wajah, perempuan kira-kira berusia lima puluh lima tahunan. dari belakang wajah itu muncul pula dua sosok wajah kanak-kanak, laki-laki dan perempuan.
“Siapa, itu Oma?” Si kecil yang duduk di ujung sebelah kanan bertanya dengan wajah heran.
“Kita pulang saja, Oma. aku belum buat PR nih,” bocah perempuan memberi saran, sambil memandang ke arah Sumi dengan ekspresi curiga.
“Tunggu sebentar, ya,” ujar perempuan yang dipanggil oma itu ke arah supir taksi. Dia lalu turun sambil mengusap lengan si gadis kecil dan bocah laki-laki yang memberengut.
Perlahan perempuan paruh baya bertubuh langsing itu mendekat ke arah sumi.
“Neng, kamu penjaga es krim di Mall itu, kan? Mengapa malam-malam duduk di sini, sendirian lagi. Apa yang terjadi, Neng?”
Sumi tersentak dari kesendirian dan sepi yang diciptakannya sendiri. Tergagap dia mengangkat wajah yang sedari tadi tertunduk memandang tanah. Dia hanya memandangi wajah perempuan yang kini ikut duduk disampingnya. Senyuman perempuan itu mencairkan keterkejutan Sumi.
“Neng, bahaya berada di sini sendirian. Hari sudah malam. Pulanglah! atau…kamu mau kami antar? sebaiknya memang begitu. Keadaan kamu sangat mengkhawatirkan. Oke, kami akan antar kamu.” Perempuan itu membuat keputusan sendiri tanpa perduli dengan ekspresi wajah Sumi yang terbengong-bengong. Dia berdiri dan agak memaksa menarik lengan Sumi.
Sumi yang masih bingung dengan sikap perempuan itu, seperti kerbau dicucuk hidung, mengikuti naik ke atas taksi.
“Oma, kakak ini siapa?” si gadis kecil mencari jawaban atas rasa ingin tahunya
“Kamu lupa, ya? Ini kakak yang tadi berjualan es krim.” Si gadis kecil memandangi Sumi, mencoba lagi mengingat wajah si penjaga es krim yang tadi mengejarnya karena kembalian yang kurang.
“Oh, ya! Aku ingat. Kakak ketinggalan bis, ya? gak usah sedih, Kak. Oma, Kak Della, sama aku mau anterin Kakak. Iya, kan, Oma?” bocah lelaki yang sedari tadi diam, ikut menghibur Sumi.
Perhatian dan celoteh anak-anak itu berhasil melumerkan kekakuan yang dirasakan Sumi. Dia berusaha mengukir sebuah senyum, walau hanya seulas. Setidaknya dia tidak mau menjadi orang yang tidak tahu berterima kasih.
“Rumah kamu dimana?” Perempuan itu bertanya saat taksi sudah hampir sampai di perempatan pertama.
“Saya turun di perempatan itu saja, Tante. Rumah saya masuk gang. Saya lanjutkan naik ojeg”
“Kamu benar-benar tidak apa-apa?”
“Ya, Tante…” Sumi menggantung nada suaranya, Dia memang belum tahu nama perempuan itu, tapi juga sungkan untuk bertanya.
“Lili, Panggil saya Tante Lili. Ini cucu saya, yang ini Della, dan yang jagoan ini, Ikmal. Ayo salaman sama Kakak, oh, ya. Namamu siapa?”
“Sumi tante” Sumi menerima uluran tangan keduda bocah itu.
Kurang lebih 50 meter sebelum lampu merah, taksi berhenti. Sumi turun diirngi lambai tangan tiga orang baik hati itu.
“Kakak, minggu depan kita ketemu lagi, ya? aku mau beli es krim kakak lagi” teriak kedua anak itu dari dalam taksi. Sumi hanya tersenyum kecil sambil membalas lambaian tangan mereka. Tidak harus berdiri lama di sisi jalan karena sekejap saja sebuah motor ojeg sudah menghampirinya.
“Tumben, Mbak, kemaleman?” sapa pengemudi ojeg setelah Sumi duduk dengan nyaman di boncengannya. Sumi tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan itu. Dia pura-pura tidak mendengar.
Hari ini sangat melelahkan. Bukan lelah fisik yang merasuki dirinya, itu sudah biasa. Tetapi rasa lelah di jiwanya.
@@@
Taksi terus melaju melanjutkan perjalanan. Perempuan bernama Lili bersama kedua cucunya itu kini telah sampai di depan sebuah rumah bercat hijau. Rumah yang tidak terlalu besar tetapi mencirikan bahwa keluarga pemiliknya cukup mapan.
Dua bocah itu sudah berhamburan masuk ke dalam halaman rumah berpagar stainlis saat Oma mereka membayar taksi.
“Ayaaaah…” teriakan kedua bocah itu membuat perempuan yang mereka panggil dengan sebutan oma itu melirik ke garasi. Garasi yang sehari-hari kosong kini terisi. sebuah Pajerro berwarna hitam metalik berada di situ.
Lili bergegas melangkah menyusul kedua cucunya. Di ruang tamu didapatinya, Riyan tengah sibuk mendengar celoteh kedua anaknya. Saat Lili masuk dia bangkit dan menyalaminya.
“Oh, kamu pulang, Yan?” Lili bertanya dengan suara datar.
“Ma, maafkan saya. Mama tentu kerepotan mengurus mereka berdua”
“Anak-anak, kalian ke kamar dulu, ya. Papa mau bicara sama Oma” Riyan menggiring kedua bocahnya ke kamar mereka masing-masing. Wajah kecewa terlihat pada keduanya, tetapi mereka tak membantah.
Riyan kembali ke ruang keluarga, tempat ibunya masih duduk menunggu.
“Maafkan saya, Ma. Memang tidak seharusnya saya masih merepotkan Mama, tapi saya tak punya pilihan. Saya tidak bisa mempercayakan mereka pada mamanya, apa lagi pada orang lain. Lagi pula sekolah mereka di sini.”
“Bukan, bukan itu masalahnya. Semua nenek sangat bahagia bila ditemani cucu-cucunya. Mereka anak baik. Mama tidak repot dengan kehadiran mereka.”
“Lalu…?”
“Ini tentang kamu. tentang rumah tangga kamu”
Riyan terdiam. Dia sebetulnya sangat enggan membahas masalah ini. Sudah hampir setengah tahun istrinya pergi meninggalkannya. Dia tidak ingin memikirkan hal itu. Yang penting baginya anak-anaknya tetap terurus dengan baik bersama neneknya, ibunya sendiri.
“Sebaiknya, kamu ajak istrimu pulang. Itu yang terbaik bagi anak-anak kamu.”
“Ma, itu tidak mungkin lagi, Ma. Saya pernah mencobanya. Dia menolak. Dan saya tidak ingin harus melakukannya dua kali. Dia bisa besar kepala.”
“Yang kecewa itu kamu, bukan anakmu. Tidak inginkah kamu sedikit berkorban untuk anak-anakmu?”
Riyan terdiam. Pikirannya bertarung. Dia tidak ingin harga dirinya terinjak-injak, tetapi anak-anak itu membutuhkan ibunya.
Rumah tangga yang mereka bangun dulu begitu indah. Cinta yang mereka jadikan landasan untuk membangun rumah tangga itu telah terbina dan menjadi sangat kuat. Tak pernah terpikirkan semua akan hancur begitu saja bahkan tanpa alasan yang dapat dimengerti.
Hingga hari ini, Riyan tak pernah tahu alasan sebenarnya kepergian Adisti, istrinya. Suatu hari, Adisti meminta ijin padanya untuk pulang ke Bandung, ke rumah orang tuanya. Dia mengabulkan permintaan itu, tanpa rasa curiga. Entah apa sebetulnya yang luput dari pengetahuannya, sejak saat itu Adisti tidak kembali kepadanya bahkan saat dia menyusul pun Adisti menolak untuk ikut. Riyan kecewa, dia terluka.
bersambung
Mampir yuk, ke desa kami... klik gambar di bawah ini, anda akan sampai di pintu gerbangnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H