“Teh Adis, besok pagi jadwal kemo lagi, kan? Supaya tetap segar, ini saya buatkan sayur bayam. Dimakan, ya, Teh!” Adis hanya mengangguk kecil. Wiwik, adik sepupunya, yang selama ini menamani dan merawatnya, duduk di samping pembaringannya.
“Wik, Doni kok belum ngasih kabar, ya?”
“Kabar apa, Teh? Memang teteh ada janji sama Doni?”
“Enggak, sih. Biasanya dia ngasih kabar soal anak-anak. Mudah-mudahan mereka semua baik-baik saja di sana”
“Oh…, tapi kenapa sih Teteh gak terus terang saja sama keluarga Kang Dion? Padahal kalau mereka tahu, kan bisa ngasih dukungan sama Teteh”
Adis tak menyahut. Sulit baginya untuk menjelaskan jalan pikirannya kepada orang lain. Dia sangat sadar caranya dianggap tidak wajar oleh semua orang.
Adis memejamkan matanya, saat-saat menjelang kemoterapi selalu menjadi waktu-waktu yang menegangkan baginya. Membayangkan rasa kering di tenggorokan dan mual-mual bahkan rasa nyeri di sekujur tubuhnya, seringkali membuatnya ingin menyerah. Hanya satu hal yang membuatnya mampu bertahan, kedua anaknya.
Bayangan wajah kedua anaknya, tergambar jelas di benaknya. Adisti tersenyum. Pada saat yang sama dua butir cairan bening meluncur dari sudut matanya.
“Mama…” Senyum Adis semakin terkembang tetapi matanya tetap saja terpejam. Lamunannya mencipta wajah-wajah mungil yang berlarian riang saat pulang sekolah. Mereka berdua langsung mencarinya tanpa terlebih dahulu melepas baju seragam sekolah yang sudah beraroma keringat.
Mereka berdua akan meminta hadiah istimewa dari Adisti, sebuah ciuman sayang di kedua pipinya.
“Mama, bangun, Ma… Ini Della sama Dion, Ma…” Mata Adisti tetap saja terpejam. Bahkan senyumannya pun masih membayang. Adisti bahagia walaupun Dia tak sempat lagi memberi ciuman hangat di kedua pipi anak-anaknya. Tak pernah lagi.