“Mah, kenapa sih harus pakai software bajakan!” Anak semata wayang saya yang sejak tadi rebahan sambil pegang HP misuh-misuh. Spontan saja saya yang sedang nyeruput kopi pagi hari itu langsung batuk-batuk. Kenapa bocah ini?
Duh gusti, kali ini saya mengaku salah, karena saya keceplosan mau beli laptop baru, namun karena budgetnya pas-pasan saya berfikir untuk mencari software yang tidak original alias bajakan. Apa mungkin itu sebab mengapa anak saya misuh. Entah apa yang merasuki pikiran ini?
Padahal, seringkali saya bercerita pada anak saya yang tahun ini sudah menjadi mahasiswa semester tiga, bahwa di Luar Negeri seperti di Jerman, jika kita tertangkap membeli barang bajakan harus mengeluarkan uang hingga 1500 euro. Uang ini digunakan untuk menanggung biaya pengacara serta menanggung biaya penghancuran barang bajakan dan juga harus menandatangani perjanjian untuk tidak membeli barang-barang bajakan.
Sultan anak saya memiliki angan-angan yang tinggi. Dia selalu berharap suatu saat Indonesia akan menjadi negara yang keren dan maju seperti Jepang, Jerman, Korea dan China. Saya hanya bisa mengAamiini angan-angan itu.
Kini sudah saatnya kita tingkatkan pengetahuan tentang kekayaan intelektual dan juga meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Memang agak terlambat jika kita berbicara tentang kesadaran akan Kekayaan Intelektual sekarang ini, seharusnya kesadaran itu kita pupuk sejak dahulu. Saat ini kita hidup di abad ke 21 (dua puluh satu) milenium ke 3 (tiga), dimana negara, perusahan dan individunya harus berlomba-lomba untuk berjuang mati-matian memenangi persaingan di era baru terhadap negara-negara lain di dunia.
Jadi untuk saat ini, yang dibutuhkan suatu bangsa agar siap menyambut tantangan dan persaingan global yang semakin kompetitif adalah selalu terus belajar, menggali potensi yang ada pada diri berani berinovasi, berkreativitas dan memiliki kemauan yang keras.
Kekayaan Intelektual memang memiliki peranan penting dalam pembangunan suatu bangsa. Kita dapat melihat Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat dan Jerman negara-negara tersebut berkembang dengan cepat karena mereka kuat di bidang Kekayaan Intelektual. Negara-negara maju sudah sejak lama mengandalkan kekayaan intelektual sebagai tulang punggung perekonomian negaranya. Aset dunia 70% didominasi oleh aset tak berwujud.
Ternyata anak saya pun telah menyadari bahwa negara kita tidak mungkin mampu bertahan hanya mengandalkan kekayaan alamnya saja.
Sesaat kemudian, Sultan anak saya mulai membuka pembahasan, mulai dari maraknya pelanggaran hak cipta sampai menyinggung soal paten, meski pembahasannya hanya tipis-tipis.
Kamu tau nak? di Asia, Indonesia terbilang negara yang permisif pada pelanggaran hak cipta. Merujuk data Political and Economic Risk Consultacy (PERC) Indonesia berada di urutan teratas sebagai nagara dengan catatan paling buruk dalam perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
“Hmmmm…Sebutkan apa yang tidak ada di negeri kita tercinta ini?” Mulai dari bahasa, kesenian, kekayaan alam yang belum tentu di miliki oleh negara lain, hampir semuanya kita miliki. Salah satu contoh adalah tanaman obat. Tumbuhan obat banyak menyebar di kawasan hutan Kalimantan Tengah, ada yang berkhasiat sebagai obat pusing, demam, sakit perut, sakit gigi, dan ramuan jamu. Masyarakat setempat memanfaatkan tumbuhan obat tersebut untuk keperluan sendiri dan masih sedikit yang didaftarkan hingga dikomersialkan. Jadi kamu harus tau nak, bahwa untuk perlindungan hukum pendaftaran dan/atau pencatatan kekayaan intelektual itu sangat penting.