Tentang Kelelawar
Seekor kelelawar berada di antara bangsa burung dan kawanan binatang buas yang sedang gigih berperang demi merebut kemenangan.
Ketika bangsa burng nyaris kalah, si kelelawar segera bersembunyi di balik pepohonan, berdiam diri sambil menanti peperangan mereda. Setelah itu ia merapatkan diri, menyatu dengan kawanan binantang buas. Pemimpin binatang buas itu pun menegurnya, "Bukankah kamu itu seekor burung?" Si kelelawar spontan membela diri, "Oh, tidak! Aku bukan burung, aku ini binatang buas. Apakah kamu pernah melihat seekor burung yang bergigi ganda?" Si kelelawar dengan lihai menyangkal tuduhan itu, ia "berlindung" di balik gigi gandanya yang tajam.
Perang sempat jeda, tetapi tiba-tiba bangsa burung menyerang pemukiman kawanan binatang buas. Sekali lagi si kelelawar hanya menyaksikan perang dari balik ranting pepohonan. Hasilnya, kaum burung menang dan si kelelawar pun ikut pulang ke perkampungan burung. "Hai, kamu itu binatang buas!" tuduh kaum burung. Si kelelawar mengelak, "Apakah kalian pernah melihat seekor binatang buas memiliki sayap?" Kali ini si kelelawar "berlindung" di bawah kepak kedua sayapnya.
Hari ini, tidak sedikit pemimpin yang gemar melakukan "kamuflase kelelawar" untuk menyelamatkan diri demi kekuasaan semata. Namun, betapun piawai kamuflase itu diperankan, karisma yang dipancarkan tetap saja palsu dan semu. Seperti kelelawar, pemimpin bisa saja mengesankan diri sebagai sahabat yang "baik hati", tetapi kebaikannya semu. Kamuflase kelelawar bisa saja membuat pemimpin terkesan jujur, tetapi tak akan selamanya menutupi pribadi yang fasik tanpa kehendak baik.
Kehendak baik, menurut Immanuel Kant, adalah kehendak yang mau melakukan kewajiban semata-mata karena akal budi. Kehendak baik adalah moralitas, dan moralitas itu bersifat dikotomis. Jika bukan baik, berarti jahat. Jika bukan benar, berarti salah. Ini berarti membangun kehendak baik sama halnya memperkuat diri dengan nilai-nilai moral yang baik dan benar. Namun Kant beranggapan bahwa untuk mengukur kehendak baik, moralitas seseorang, kita tidak boleh melihat pada hasil perbuatan saja. Hasil perbuatan yang baik tidak selalu membuktikan kehendak baik. Itu sebabnya mengapa Kant menolak etika sukses. Ia meyakini bahwa tidak semua keberhasilan didasari oleh kehendak baik, dan tidak setiap kemenangan lahir dari kesadaran moral yang baik dan benar.
Kehendak baik seorang pemimpin sering diuji ketika sedang menghadapi opportunity ganda. Suatu situasi (seperti yang dialami si kelelawar) yang bisa membuat pemimpin berada di ambang keraguan, gampang kompromi dan hidup di daerah abu-abu. Siapa pun bisa bersikap seperti si kelelawar yang menggunakan "gigi ganda" dan sepasang "sayap" untuk melacurkan kehendak baik.
Bukankah ada banyak pemimpin yang bersikap seperti si kelelawar, lebih memilih aman dan tidak berani berperang melawan kefasikan? Ia bukanlah koruptor, tetapi membiarkan korupsi berlangsung, tak berani melawan rasuah. Tidak pro status quo, tetapi juga bukan seorang reformis. Tidak teguh prinsip, hanya sok heroik melawan arus.
Pemimpin "kelelawar" selalu diragukan kehendak baiknya dalam membuat keputusan dan bertindak. Padahal, sejatinya berkehendak baik adalah proses menjadi diri sendiri, proses menjadi autentik. Pemimpin yang autentik akan memilih yang benar, dan bukan melanggar yang benar. Pemimpin wajib berpihak pada yang baik, dan bukan mengabdi pada yang jahat. Pemimpin itu harus bersih diri dari kefasikan, kemungkaran, dan tidak bersentuhan dengan rasuah, korupsi.
Sumber: The JOKOWI SECRETS & http://www.budayapemimpin.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H