'Sudah benarkah aku dalam menjalani hidupku sendiri?'
'Sudah benarkah aku dalam menjalani kisah romansa bersama orang yang mau dan mampu berkompromi untuk bekerjasama dengan baik menjalani kehidupan bersama?'
Hingga akhirnya, aku menyadari bahwa "bukan dia orangnya", dia bukanlah "the one" yang ditunjuk sebagai rekanku mengarungi hidup. Kesesakan demi kesesakan aku alami karena proses penolakan dan penerimaan titik kesadaranku itu. Aku malu mengakui sudah menghabiskan waktu percuma untuk mempertahankan orang yang salah, namun disatu sisi aku belajar menerima bahwa setidaknya aku belajar dari pengalamanku bersama satu orang yang salah saja, tidak berkali-kali merasakan kegagalan dengan orang berbeda. Karena kemudian aku menyadari dari pengalaman romansaku kali ini, bahwa cinta adalah saat menemukan "seseorang yang mau mengusahakan untuk saling  menjaga komunikasi baik denganmu dan saling menjadi diri sendiri untuk saling melengkapi".
Aku, yang terluka dan kehilangan diriku setelah bersama orang yang ditakdirkan menjadi pelajaran hidupku, memutuskan untuk sendiri dulu. Istirahat dari kisah romansa, memulihkan diri dan menyelesaikan segala hal dalam diriku.
Menegakkan kembali fondasi diri yang terburai, kembali menjadi diriku yang dulu tapi dengan versi yang lebih dewasa dan apik. Menikmati tiap waktu dengan belajar untuk mencintai diri sendiri terlebih dahulu, menemukan hal-hal kecil dalam diriku yang butuh disayangi. Sambil terus berdoa, agar kelak bertemu dengan seseorang yang akan "SALING".
Hingga akhirnya, saat ini aku kembali merasakan jatuh cinta diusia yang terbilang sudah tidak muda. Dimana aku pun ingin merasakan bagaimana pengalaman dicintai dan mencintai, dilamar, menikah, memiliki anak dan memiliki keluarga besar sendiri. Aku kembali teringat keinginan masa kecilku, dan aku masih ingin mewujudkannya, walau secara usia sudah sangat lewat dari cita-citaku dulu. Aku tetap ingin memiliki satu pasangan, menikah satu kali seumur hidup dan memiliki anak cucu dengannya. Hanya saja, saat ini aku lebih rasional memikirkan bagaimana bisa mewujudkannya dengan memikirkan ekonomi, sosial masyarakat, dan juga ilmu hidup lainnya. Tidak bisa hanya sekedar mengandalkan cinta semata.
Karena cinta pun butuh hidup layak.
Sayangnya, hingga kini aku masih menanti kepastian Sang Maha, apakah perasaanku ini akan dilabuhkan padanya si pemilik hati. Apakah perasaan ini harus terombang-ambing kembali karena tidak terlabuhkan? Ingin sekali aku menolak perasaan ini, dan mencari pemilik hati lainnya yang mungkin bisa langsung menerima dan diterima perasaan ini. Tapi, sekali lagi aku tidak tahu apa kehendak Sang Maha kali ini, apakah perasaan ini akan membawaku pada pelajaran lagi atau hadiah garis hidupku yang selama ini aku impikan.
Hanya saja, sekali lagi aku memahami pada titik kesadaranku yang kesekina ini, bahwa cinta adalah "kepercayaan penuh atas segala hal yang terjadi, sejauh apapun jarak dan waktu hanyalah angka, dan akan menemukan jalannya secara ajaib untuk dapat saling".
Sehingga, walaupun keresahan tetap ada dan kerinduan membuncah hingga sesak bagaikan kupu-kupu yang terbang memenuhi torso, harapan akan selalu ada. Doa-doa baik tetap menjadi ungkapan cinta paling indah, karena kebahagiaan si pemilik hati adalah yang paling utama.
Cinta adalah cinta, dia bukanlah benci.