Dari kecil aku percaya yang namanya cinta sejati.
Terlalu banyak cerita dongeng tentang kebahagiaan cinta yang aku baca dan juga aku tonton sepanjang masa kanakku. Aku terlarut dan mempercayainya sebagai tujuan hidupku kelak.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai merencanakan keinginanku mengenai pernikahan saat dewasa nanti. Aku ingin menikah muda diusia 20 tahun.
Memiliki anak segera, sehingga saat usia anakku 10 tahun aku sedang berusia 30 tahun, dan jika anakku juga menikah diusia 20 tahun, aku masih berusia 40 tahun.
Aku juga kegirangan membayangkan memiliki cucu diusia emasku, yaitu umur 50 tahun. Betapa aku merasa, sudah melewati hidup dengan sangat baik dan bahagia.
Saat itu aku meyakini, cinta adalah saat ada "seseorang yang kamu sukai secara fisik dan membuat jantungmu berdebar tidak karuan"
Aku kemudian menjalani usia remajaku, merasakan debaran untuk memiliki orang yang ditaksir. Saat itu jamannya surat-suratan, dimana buku tulis untuk belajar habis bukan karena untuk mencatat pelajaran, tapi habis karena disobek berkali-kali untuk menulis surat. Karena orang yang aku suka adalah kakak kelas, aku menitipkan surat pada temanku. Ternyata perasaanku ditolak, dia tidak memiliki perasaan yang sama. Padahal, aku sudah memimpikan menikah dengannya. Dunia serasa runtuh, patah hatiku sangat besar. Aku menangis berhari-hari dan menyalahkan diri sendiri, merasa kurang rupawan.
Begitulah terus terulang hingga pada saatnya, aku sudah cukup dewasa. Aku memiliki hubungan yang berbeda pada saat peralihan masa remajaku menjadi dewasa. Aku bahagia, akhirnya ada yang aku rasa satu cita-cita dalam menjalankan romansa. Orang yang hanya untukku dan aku hanya untuknya.
Aku menganggap saat itu, bahwa cinta adalah saat menemukan "seseorang yang selalu ada untukmu, kamu dan dia selalu bersama sepanjang waktu dan menuntutmu untuk menjadi pribadi yang lebih baik".
Namun ternyata, semakin dewasa kita pun akan semakin menyadari hidup tidak hanya berkutat dengan diri sendiri dan percintaan. Ada banyak faktor yang saling berkaitan yang juga memberi dampak dalam hal kehidupan asmara, apalagi jika tujuannya adalah pernikahan. Saat itu, aku merasakan bahwa orang yang bersamaku, semakin lama semakin menunjukkan diri sebagai orang yang tidak memiliki cita-cita sama dalam hidup. Semakin terbuka pula pikiranku, bahwa tujuanku itu bukan hanya romansa tapi hidup seutuhnya. Pikiranku terbuka bahwa romansa adalah salah satu pelengkap dalam hidup, dan bukan adalah tujuan akhir.Â
Kesadaran itu membuatku berpikir ulang, 'Sudah benarkah aku untuk menjadi diriku sendiri?'