Surabaya, 2005.
Udara siang itu panas. Pohon-pohon hanya merindangkan dirinya sendiri karena baru saja dirapihkan dahan-dahannya yang menjulang kemana-mana.
Aku dan Bapak naik becak, kendaraan yang lama tidak kami temui pada hingar bingar ibukota karena kebijakan setempat.
"Mau pulang ya, Pak?"
Ramah pertanyaan dari Tukang Becak yang menggenjot becaknya ditengah cerah hari ini.
Bapak menoleh dan tersenyum kearah Tukang Becak.
"Saya mau mengunjungi saudara, Pak. Dulu saat muda saya memang pernah tinggal di Surabaya, daerah Sidotopo, tapi juga bukan kelahiran sini. Saya hanya ikut saudara saat itu."
"Oh- Saya kira orang sini Pak, ternyata bukan... Bapak tinggal dimana sekarang?" Â Tukang Becak itu tertarik melanjutkan percakapan dengan Bapak.
Aku hanya mendengarkan, sambil bersenandung lirih menikmati perjalanan kami.
Ada kalanya Bapak dan Tukang Becak  tertawa bersama, saling berkelakar. Tiba-tiba juga bisa sangat serius membicarakan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat maupun daerah pada saat itu, baik yang dirasa oleh beliau berdua bermanfaat bagi rakyat maupun yang dirasa memberatkan rakyat.Â
Hingga pada satu pertanyaan Tukang Becak kepada Bapak yang membuat beliau berdua merasa bahwa pertemuan itu memanglah jalan-Nya.