Mohon tunggu...
Yessi febrianty
Yessi febrianty Mohon Tunggu... -

Berasal dari kota kecil di Bengkulu, mantan pekerja Jakarta dan saat ini sedang belajar dan menetap di Yogyakarta. Menyukai traveling, membaca dan menulis apa saja.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama FEATURED

Mengapa Kita Sulit Lepas dari Jerat Kantong Plastik?

9 September 2017   13:11 Diperbarui: 5 Juni 2018   10:08 14187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenyataannya, sikap dan pengetahuan tidak selalu berhasil menciptakan perubahan perilaku

Jika seseorang terutama mereka yang tinggal di perkotaan serta terpelajar ditanya tentang tahukah mereka bahwa kantong plastik itu berbahaya, nyaris jawabannya adalah 'iya, saya tahu' tapi kemudian jika ditanya apakah mereka akan berhenti menggunakan kantong plastik, maka jarang sekali yang dengan yakin menjawab untuk berhenti mengkonsumsi kantong plastik dalam kesehariannya. 

Fenomena dimana isu limbah plastik telah menjadi kekhawatiran karena mengancam kehidupan mahluk hidup di muka bumi. Berdasarkan studi Ocean Conservancy dan McKinsey Center for Business and Environment yang dirilis pada Oktober 2015, Indonesia menjadi penyumbang limbah plastik kedua terbesar ke laut di dunia.

Sampah kantong plastik merupakan produk plastik yang paling banyak digunakan dan paling sering berakhir menjadi limbah plastik. Jumlah pemakaian kantong plastik Indonesia mencapai sembilan miliar lembar per tahun, dan di kota besar rata-rata satu orang menyumbang sampah plastik 700 lembar per tahunnya ( dikutip dari Tirto.id, berita tanggal 17 Oktober 2016). 

Limbah plastik yang sulit dan membutuhkan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk terurai kemudian bertumpuk menjadi pemandangan biasa di lingkungan sekitar kita. 

Padahal dampak yang ditimbulkan sangat beresiko mengancam kehidupan manusia di antaranya mengganggu rantai makanan, mencemari tanah dan kualitas air tanah, proses pembakaran plastik menyebarkan racun dan menyebabkan polusi udara, mengancam kehidupan mahluk hidup baik hewan, tumbuhan bahkan manusia serta banyak lagi kerugian lainnya.

Studi terbaru yang cukup fenomenal juga telah dilakukan oleh Jenna R Jambeck, seorang Profesor teknik lingkungan di University of Georgia dan kawan-kawannya (publikasi di Sciencemag, 12 Februari 2015) memperkirakan bahwa pada 2025 akumulasi sampah plastik di lautan akan mencapai sekitar 170 juta ton. Itu berarti akan semakin banyak sampah plastik yang menyaingi populasi ikan di lautan dan meracuni biota laut akibat memakan potongan-potongan plastik yang belum terurai.

Meskipun menyadari begitu banyaknya dampak dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh konsumsi kantong plastik berlebihan, masyarakat sulit sekali terlepas dari kebutuhan pemakaian kantong plastik dalam kehidupan sehari-hari. 

Pemerintah bahkan pernah mengeluarkan peraturan melalui surat edaran yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor SE.8/PSLB3/PS/PLB.0/5/2016 tentang Pengurangan Sampah Plastik Melalui Penerapan Kantong Belanja Plastik Sekali Pakai Tidak Gratis di seluruh gerai pasar ritel modern di Indonesia. Peraturan yang diujicoba penerapannya mulai 21 Februari 2016 hingga 1 Oktober 2016 ini mengharuskan konsumen untuk membayar Rp 200 untuk setiap lembar kantong plastik yang selama ini diberikan secara gratis di ritel dan supermarket.

Namun demikian, berdasarkan semua hal yang telah dipaparkan di atas, baik dampak dan peraturan pemerintah tidak serta merta menghilangkan ketergantungan masyarakat terhadap kantong plastik. Memang terdapat penurunan konsumsi kantong plastik pada ritel dan supermarket di beberapa kota yang menerapkan aturan kantong plastik berbayar, namun hal ini ternyata bersifat sementara saja. 

Melihat sejarah masyarakat tradisional Indonesia sendiri sebelum kantong plastik diperkenalkan, masyarakat terbiasa membawa keranjang belanja yang terbuat dari rotan atau anyaman bambu jika pergi ke pasar, membeli daging yang dibungkus dengan daun jati atau daun pisang, ikan teri dan sayuran yang dibungkus dengan kertas koran bekas. Namun sejak kantong plastik muncul dengan harga yang relatif murah, masyarakat merasa sangat terbantu hingga akhirnya ketergantungan dengan pemakaian kantong plastik.

Pemusnahan sampah kantong plastik yang selama ini kebanyakan dibakar atau ditimbun ternyata juga berdampak bagi kesehatan udara dan kualitas tanah serta air tanah dan mengancam ekosistem baik pada masa sekarang serta dalam jangka waktu yang panjang di masa depan. Masalah pengelolaan sampah plastik ini bahkan masih belum menemukan solusi yang benar-benar tepat hingga hari ini.

Sikap dan Pengetahuan ternyata belum cukup

Tahun 2011, dua orang peneliti dari Universiti Sains Malaysia (USM) bernama Hasrina Mustafa dan Ronzi Mohd Yusoff telah melakukan penelitian terhadap efektivitas kampanye 'Say No to Plastic Bag' yang dilakukan di dalam kampus USM. 

Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pengetahuan saja tidak memadai memotivasi perubahan perilaku jangka panjang. Hal yang lebih penting untuk menjaga perubahan perilaku adalah sikap positif yang kuat terhadap isu dan kondisi lingkungan yang ikut mendukung terpeliharanya suatu perilaku.

Bagaimana dengan masyarakat di Indonesia? Pada tahun 2010 sebuah gerakan sejenis bernama Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) dibentuk oleh beberapa anak muda yang dimulai di kota Bandung dan digaungkan melalui sosial media kepada masyarakat luas. 

Gerakan ini mengkampanyekan kepada masyarakat agar mau mengurangi pemakaian kantong plastik. Mereka mengusung kata 'diet' karena sepakat bahwa kantong plastik masih sangat sulit untuk tergantikan, dengan kata lain masih sulit untuk membuat orang-orang berhenti atau sama sekali tidak memakai kantong plastik.

Adapula data dari Greeneration.org, sebuah lembaga non pemerintah yang telah mengikuti isu sampah lebih dari 10 tahun dan merupakan inisiator GIDKP, yang melakukan sebuah riset tentang perilaku masyarakat terkait konsumsi kantong plastik pada tahun 2009. 

Hasil riset yang melibatkan 419 responden tersebut memperlihatkan bahwa 94% dari total responden mengetahui dampak atau bahaya dari kantong plastik, dan 64% setuju bahwa pemakaian kantong plastik harus dikurangi. Namun dengan berbagai alasan pula mereka tetap menggunakan kantong plastik.

Beberapa alasan yang paling banyak dikemukakan antara lain adalah tidak membawa kantong atau tas belanja sendiri sebanyak 79%, alasan lupa sebanyak 63% hingga alasan malas (tidak mau repot) sebanyak 15% dari total responden. 

Data riset juga menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan adanya kebijakan yang jelas dan tegas mengenai pemakaian kantong plastik (48%) serta adanya edukasi yang lebih spesifik mengenai masalah sampah plastik (38%) (Greeneration.org).

Maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa secara umum masyarakat Indonesia memiliki sikap setuju bahwa pemakaian kantong plastik berbahaya dan harus dikurangi. Namun kemudian yang menjadi pertanyaan adalah mengapa sulit bagi masyarakat untuk berhenti melakukan hal yang mereka sadari salah dan berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka?.

Teori Disonansi Kognitif

Kondisi di mana terdapat sikap yang tidak konsisten antara pengetahuan atau keyakinan yang dimiliki atau kondisi di mana individu menemukan bahwa dirinya melakukan hal-hal yang ia tahu bertentangan dengan apa yang diyakininya. 

Hal inilah yang mendasari munculnya Cognitive Dissonance Theory atau Teori Disonansi Kognitif oleh Leon Festinger (West & Turner, 2008 : 137). Teori ini lahir sebagai sebuah kritik terhadap teori-teori konsistensi seperti Consistency Cognitive Theory (CCT).

Consistency Cognitive Theory (CCT) atau teori kognitif konsistensi dan kebanyakan ahli psikologi sosial secara umum berpendapat bahwa pada dasarnya manusia selalu mencari keseimbangan (konsistensi) dan sistem kognitif yang dimiliki manusia menjadi alat utama untuk mencapai keseimbangan ini. 

Seluruh teori konsistensi memiliki ide yang sama, yaitu bahwa manusia akan selalu merasa lebih nyaman dengan sesuatu yang tetap (konsisten) daripada hal-hal yang tidak tetap (inkonsisten), namun melalui teori disonansi kognitif yang dikemukakan Festinger ini manusia terbukti memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku yang tidak berkesesuaian dengan kognisi yang dimilikinya.

Dengan pendekatan teori Disonansi Kognitif ini, penulis melihat adanya hubungan antara ketidaksesuaian perilaku dan kognisi masyarakat dalam hal pemakaian kantong plastik dalam keseharian mereka. 

Pada level kognitif, masyarakat telah menyadari adanya dampak berbahaya dari pemakaian kantong plastik, namun berbagai alasan dan faktor lingkungan yang tidak banyak memberikan pilihan menjadikan kognisi yang dimiliki tidak dapat sepenuhnya teraplikasikan kedalam bentuk perilaku, yaitu mengurangi pemakaian kantong plastik.

Berbahayanya kaitan antara teori dan fenomena ketergantungan plastik ini adalah jika kemudian masyarakat mulai melihat adanya pembenaran dalam usaha mereka mengurangi perasaan disonansi terhadap ketidaksesuaian yang mereka sadari sebagai bentuk ketidakkonsistenan antara kognisi dan perilaku mereka.

Dengan adanya alasan atau pembenaran yang bisa jadi disepakati bersama-sama, sebuah perubahan yang baik sifatnya justru akan terhalang perwujudannya karena adanya pembelaan terhadap perilaku yang terang-terangan keliru. Jika hal tersebut terjadi, maka semakin sulit dan semakin jauh perubahan perilaku yang dalam hal ini adalah budaya hidup ramah lingkungan dapat tercapai di tanah air.

Kantong plastik yang dianggap sulit tergantikan fungsinya di masyarakat sebenarnya dapat disiasati dengan kesadaran untuk membawa kantong belanja berbahan kain yang dapat dipakai secara berulang kali. Namun sama halnya dengan kebijakan pemerintah, hal inipun seharusnya disosialisasikan secara luas dan terus menerus kepada masyarakat. Meski sulit tergantikan, setidaknya jumlah pemakaian kantong plastik dapat ditekan dengan berkurangnya pemakaian-pemakaian yang tidak perlu.

Ada pula pendapat umum mengenai penyebab seseorang sulit mengurangi konsumsi kantong plastik yaitu: bahwa keadaan atau kondisi lingkungan tidak akan jauh berbeda dengan atau tanpa ia mengurangi jumlah pemakaian kantong plastik dalam kesehariannya. Jika semua orang berpendapat yang sama bahwa partisipasi mereka dalam mengurangi pemakaian jumlah kantong plastik tidak akan berdampak banyak, tentu hal ini menjadi salah satu penyebab sulitnya masyarakat mengurangi pamakaian kantong plastik yang berujung pada meningkatnya jumlah sampah plastik di lingkungan mereka.

Demikian tulisan ini sebagai proses pembelajaran dan pengingat bagi penulis, semoga bermanfaat :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun