Resiliensi yang terjadi pada remaja dipengaruhi oleh proses keluarga dan terkait dengan pemecahan masalah yang efektif. Resiliensi adalah  proses pertahanan diri yang didukung oleh keluarga dan hubungan, keterampilan dan neurobiologi. Intervensi resiliensi ini tidak hanya berdampak pada pemilihan perilaku namun juga fungsi psikologis.Â
Adanya tekanan secara sosial maupun kondisi kesehatan turut mempengaruhi resiliensi. Kehidupan sehari-hari penuh dengan stres. Kondisi pandemic Covid 19 tidak jauh berbeda dengan kondisi perang atau bencana.Â
Dalam kondisi ini pernikahan anak selalu meningkat (Carolyn Kabore, 2020) Selain karena adanya budaya dalam masyarakat dan faktor religiusitas, kondisi Covid 19 juga menjadi penyebab meningkatnya perkawinan anak di dunia, khususnya di Indonesia.Â
Pandemi saat ini telah mengganggu kemajuan yang dibuat oleh berbagai organisasi global dalam mengurangi pernikahan anak dan menghentikan intervensi yang sangat dibutuhkan untuk menghapus praktik pernikahan anak. "Save the Children" memperkirakan bahwa 1,3 hingga 2,5 juta anak perempuan lainnya berada di bawah risiko pernikahan anak selama 5 tahun ke depan karena pandemi (Pintu Paul, 2020)
Pembatasan sosial berskala besar membuat interaksi tatap muka yang biasa digunakan untuk bersosialisasi, pendampingan, dan advokasi menjadi terbatas; Oleh karena itu, kegiatan komunitas anak melaksanakan pertemuan virtual melalui zoom sebagai bentuk resiliensi terhadap kondisi pandemic Covid-19 yang berdampak pada meningkatnya perkawinan anak.Â
Kondisi ini menjadi tantangan bagi masyarakat dengan koneksi internet terbatas. Narendra dari FORBUMI mengatakan, tantangan selama pandemi adalah tidak mungkinnya semua daerah melakukan sosialisasi pertemuan virtual karena masyarakat di pelosok tidak bisa mengoperasikan pertemuan virtual. Oleh karena itu, komunitas anak mengajak sebanyak mungkin remaja untuk aktif memerangi pernikahan anak; sehingga suara mereka didengar oleh pihak-pihak terkait.
Safana, aktivis FAD mengungkapkan, "Di desa saya, 1 dari 3 anak perempuan menikah di bawah 16 tahun selama tahun 2020. Keterbatasan akibat kondisi pandemi telah diatasi dengan mengajak teman-teman untuk mengkampanyekan pencegahan pernikahan anak dengan membagikan brosur/poster, mengadakan komunikasi online, dan pemberian film pendek. Kegiatan ini dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan."Â
Selain itu, dia meminta komunitasnya untuk melaporkan kasus pernikahan anak dan pelecehan pada kelompok perlindungan anak dan untuk menengahi kasus. Dia menambahkan, kampanye bahaya, risiko, dan dampak pernikahan anak pada status WhatsApp ditanggapi oleh banyak temannya. Ia menceritakan keadaan anak-anak yang rentan menikah saat sekolah ditutup.
Di masa pandemi Covid-19 media digital, seperti WhatsApp, menjadi ruang aman bagi anak-anak untuk berbagi pandangan, terutama tentang pernikahan anak. Keberadaan ruang aman diperlukan agar suara anak dan masyarakat dapat didengar, didukung, dan dipercaya untuk berargumentasi dan berbagi pengalaman dan pandangan mereka tentang pencegahan dan risiko pernikahan anak. Misalnya, Safana memposting status di WhatsApp: "Ijazah dulu, baru ijab sah (dapatkan ijazah dulu, lalu menikah)."
Setelah memposting status ini, teman-temannya menanggapi dengan mengungkapkan pendapat mereka. Melalui media digital, Safana berharap lebih banyak anak terlibat dalam rencana pembangunan desa. Selama masa pandemi, ia telah melakukan pertemuan virtual, instagram, kompetisi film pendek, kompetisi TikTok, dan kontes poster dengan tema "hentikan pernikahan anak".
FORBUMI telah mensosialisasikan pencegahan pernikahan anak bekerja sama dengan forum mahasiswa, lembaga pemberdayaan perempuan, perlindungan anak dan keluarga berencana, dan komunitas pemuda sadar hukum yang terdiri dari anak-anak 15-18 tahun dan orang tuanya. Setelah FORBUMI bertemu orang tua pada akhir tahun 2020, kasusnya menurun. Narendra, aktivis FORBUMI menjelaskan, "Selain sosialisasi di media online, kami juga melakukan advokasi interpersonal dengan mematuhi protokol kesehatan yang ketat untuk menghindari penularan Covid-19."
Di masa pandemi, peer mentoring dilakukan melalui seminar online, postingan Instagram, dan chat WhatsApp. Pendampingan teman sebaya yang sadar akan dampak pernikahan anak dan memiliki sikap perlu ditingkatkan mempertimbangkan hak orang lain. Akibatnya, pendampingan lebih bermanfaat. Munculnya kesadaran teman sebaya tidak berarti mengabaikan atau meremehkan orang lain yang rentan terhadap pernikahan anak. FORBUMI mengajak para remaja untuk bergabung dalam kampanye menentang pernikahan anak. Ilma, remaja difabel yang concern terhadap isu anak dan gender sejak 2018 saat menyampaikan orasi tentang dampak pernikahan anak, khususnya bagi anak perempuan, kepada remaja di webinar.
FORBUMI mendapat pelatihan pendampingan dari forum anak nasional, membagi ilmu dan kemampuannya ke forum anak kecamatan dan forum anak desa di Kabupaten Sukabumi. Ia mengajak teman-teman di kecamatan dan desa untuk menyadari dampak pernikahan anak dan mendorong komunitas di bawah FORBUMI untuk menjadi pendamping bagi anak-anak di daerahnya masing-masing.Â
FORBUMI memberikan pelatihan materi pencegahan perkawinan anak yang wajib disampaikan kepada anak untuk forum anak kabupaten dan desa. Jika forum anak kabupaten dan desa memiliki kapasitas yang lebih besar untuk menyampaikan pesan pencegahan perkawinan anak, maka pesan tersebut akan lebih signifikan tersampaikan. Kondisi tersebut membuat komunikasi menjadi lebih mudah dan kontekstual.
Resiliensi pada komunitas remaja merupakan periode yang penting dan mempengaruhi dasar dari masa dewasa, perubahan indivdu dan perkembangan selama hidup. Adanya agensi para anggota komunitas anak, baik FAD dan FORBUMI dalam peereducation membangun resiliensi remaja di Kabupaten khususnya remaja yang mengikuti program Yes I Do. Â
Kondisi pandemic Covid-19 tidak menyurutkan langkap komunitas anak di Kabupaten Sukabumi untuk tetap melaksanakan peran sebagai pelopor dan pelapor dalam pencegahan perkawinan anak. Resiliensi pada komunitas anak dalam konteks komunikasi partisipatif dengan teman sebaya diperoleh dengan kegiatan peereducation secara formal dan informal.
Secara formal, dengan program yang sudah direncanakan dan bekerjasama dengan pihak lain seperti sekolah atau komunitas yang lain remaja memiliki kekuatan dan ketahanan dalam menghadapi kerenatanan dalam praktek perkawinan Dini. Misalnya dengan menjadi narasumber webinar, anggota FAD mampu memberikan sikap postif bagi remaja lain untuk menghindarkan diri dari praktek perkawinan anak.Â
Secara Informal, remaja melakukan kegiatan-kegiatan kreatif untuk memupuk ketahanan diri dari situasi rentan sehingga proses resiliensi ini menyenangkan bagi remaja. Misalnya kegiatan menonton Film yang menggambarkan bagaimana dampak perkawinan anak bagi remaja itu sendiri memunculkan resilensi yang diperlukan agar tidak mudah terbujuk atau menyerah ketika situasi rentan terjadi.
Daftar Pustaka
Carolyn Kabore, E. W. (2020). COVID-19 Aftershocks: Out of time . London: World Vision International.
Pintu Paul, M. D. (2020). Child Marriage in India: A Human Rights Violance During the Covid-19 Pandemic. Asia Pacific Journal of Public Health, 1-2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H