Mohon tunggu...
Yessi SriUtami
Yessi SriUtami Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Komunikasi UNPI

Dosen Ilmu Komunikasi spesifikasi bidang komunikasi pembangunan, sosiologi komunikasi, kajian gender dan komunikasi keluarga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Resiliensi Komunitas Anak dengan Teman Sebaya sebagai Bentuk Komunikasi Partisipasi dalam Pencegahan Perkawinan Anak di Sukabumi

14 Juli 2022   15:40 Diperbarui: 14 Juli 2022   15:46 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Resiliensi yang terjadi pada remaja dipengaruhi oleh proses keluarga dan terkait dengan pemecahan masalah yang efektif. Resiliensi adalah  proses pertahanan diri yang didukung oleh keluarga dan hubungan, keterampilan dan neurobiologi. Intervensi resiliensi ini tidak hanya berdampak pada pemilihan perilaku namun juga fungsi psikologis. 

Adanya tekanan secara sosial maupun kondisi kesehatan turut mempengaruhi resiliensi. Kehidupan sehari-hari penuh dengan stres. Kondisi pandemic Covid 19 tidak jauh berbeda dengan kondisi perang atau bencana. 

Dalam kondisi ini pernikahan anak selalu meningkat (Carolyn Kabore, 2020) Selain karena adanya budaya dalam masyarakat dan faktor religiusitas, kondisi Covid 19 juga menjadi penyebab meningkatnya perkawinan anak di dunia, khususnya di Indonesia. 

Pandemi saat ini telah mengganggu kemajuan yang dibuat oleh berbagai organisasi global dalam mengurangi pernikahan anak dan menghentikan intervensi yang sangat dibutuhkan untuk menghapus praktik pernikahan anak. "Save the Children" memperkirakan bahwa 1,3 hingga 2,5 juta anak perempuan lainnya berada di bawah risiko pernikahan anak selama 5 tahun ke depan karena pandemi (Pintu Paul, 2020)

Pembatasan sosial berskala besar membuat interaksi tatap muka yang biasa digunakan untuk bersosialisasi, pendampingan, dan advokasi menjadi terbatas; Oleh karena itu, kegiatan komunitas anak melaksanakan pertemuan virtual melalui zoom sebagai bentuk resiliensi terhadap kondisi pandemic Covid-19 yang berdampak pada meningkatnya perkawinan anak. 

Kondisi ini menjadi tantangan bagi masyarakat dengan koneksi internet terbatas. Narendra dari FORBUMI mengatakan, tantangan selama pandemi adalah tidak mungkinnya semua daerah melakukan sosialisasi pertemuan virtual karena masyarakat di pelosok tidak bisa mengoperasikan pertemuan virtual. Oleh karena itu, komunitas anak mengajak sebanyak mungkin remaja untuk aktif memerangi pernikahan anak; sehingga suara mereka didengar oleh pihak-pihak terkait.

Safana, aktivis FAD mengungkapkan, "Di desa saya, 1 dari 3 anak perempuan menikah di bawah 16 tahun selama tahun 2020. Keterbatasan akibat kondisi pandemi telah diatasi dengan mengajak teman-teman untuk mengkampanyekan pencegahan pernikahan anak dengan membagikan brosur/poster, mengadakan komunikasi online, dan pemberian film pendek. Kegiatan ini dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan." 

Selain itu, dia meminta komunitasnya untuk melaporkan kasus pernikahan anak dan pelecehan pada kelompok perlindungan anak dan untuk menengahi kasus. Dia menambahkan, kampanye bahaya, risiko, dan dampak pernikahan anak pada status WhatsApp ditanggapi oleh banyak temannya. Ia menceritakan keadaan anak-anak yang rentan menikah saat sekolah ditutup.

Di masa pandemi Covid-19 media digital, seperti WhatsApp, menjadi ruang aman bagi anak-anak untuk berbagi pandangan, terutama tentang pernikahan anak. Keberadaan ruang aman diperlukan agar suara anak dan masyarakat dapat didengar, didukung, dan dipercaya untuk berargumentasi dan berbagi pengalaman dan pandangan mereka tentang pencegahan dan risiko pernikahan anak. Misalnya, Safana memposting status di WhatsApp: "Ijazah dulu, baru ijab sah (dapatkan ijazah dulu, lalu menikah)."

Setelah memposting status ini, teman-temannya menanggapi dengan mengungkapkan pendapat mereka. Melalui media digital, Safana berharap lebih banyak anak terlibat dalam rencana pembangunan desa. Selama masa pandemi, ia telah melakukan pertemuan virtual, instagram, kompetisi film pendek, kompetisi TikTok, dan kontes poster dengan tema "hentikan pernikahan anak".

FORBUMI telah mensosialisasikan pencegahan pernikahan anak bekerja sama dengan forum mahasiswa, lembaga pemberdayaan perempuan, perlindungan anak dan keluarga berencana, dan komunitas pemuda sadar hukum yang terdiri dari anak-anak 15-18 tahun dan orang tuanya. Setelah FORBUMI bertemu orang tua pada akhir tahun 2020, kasusnya menurun. Narendra, aktivis FORBUMI menjelaskan, "Selain sosialisasi di media online, kami juga melakukan advokasi interpersonal dengan mematuhi protokol kesehatan yang ketat untuk menghindari penularan Covid-19."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun